Goethe-Institut Bandung menyelenggarakan pameran “What the Future Wants,” 19 Mei hingga 17 Juni 2023.
Pameran ini mengingatkan kembali sejauh mana kita telah larut dalam fenomena Fear of Missing Out (F.O.M.O) dunia digital, seberapa dalam identitas diri dibawa menyelam di samudera data, dan sejauh mana kesadaran data diri dan kepercayaan pada keamanan berselancar.
Teknologi mengubah dunia di sekitar kita: Apakah kita senang dengan perkembangannya atau akankah kita bergabung dengan orang lain untuk menciptakan masa depan digital yang lebih baik?

Teknologi bisa menjadi alat untuk memahami dunia, tapi terkadang teknologi juga bisa membuat dunia terasa lebih membingungkan. Premis tersebut lah yang menjadi landasan untuk mengajak generasi muda untuk turut dan berinteraksi terhadap apa yang dipamerkan.
Melalui pameran interaktif, “What the Future Wants” yang merupakan inisiatif anak muda dari Tactical Tech menawarkan kesempatan kepada generasi muda untuk meningkatkan literasi data dan dapat berpikir kritis, serta proaktif merancang lingkungan digital yang mereka inginkan untuk hidup sekarang dan di masa depan.
Tactical Tech adalah NGO internasional yang berbasis di Berlin, yang mengeksplorasi dan memitigasi dampak teknologi digital pada masyarakat.

Misi mereka adalah memberikan sumber daya yang dibutuhkan masyarakat untuk membuat perubahan yang berkelanjutan dalam kehidupan digital, mendorong privasi online, otonomi, dan penggunaan teknologi yang kreatif.
Tactical Tech telah meluncurkan proyek The Glass Room pada tahun 2016 untuk mengatasi kesadaran publik yang semakin meningkat seputar data dan privasi, yang kemudian menjangkau lebih dari 352.000 orang di 61 negara dan menghasilkan percakapan global tentang dampak big data.
Goethe-Institut Bandung berharap pameran ini bisa menjadi wahana untuk menempatkan generasi muda di kursi kemudi masa depan digital mereka melalui pendidikan, kreasi bersama, dan pengembangan kapasitas.

Keamanan Data
Untuk melengkapi pameran, Goethe-Institut Bandung bekerjasama dengan Blanco Benz Atelier untuk membahas kemungkinan masa depan digital yang akan dihadapi.
Ada program publik sesi berbagi dan diskusi tentang nilai-nilai fundamental dari teknologi blockchain Web3, dalam kaitannya dengan seni, identitas, kepemilikan data, dan komunitas.
Blanco Benz Atelier adalah sebuah kolektif seni media baru dari Bandung yang berdiri sejak 2017. Sebagai sebuah kolektif, Blanco tidak hanya berkarya secara individu tetapi juga berkolaborasi dengan disiplin-disiplin lainnya melalui berbagai perangkat digital, instalasi fisik, dan 3D software.

Web3 adalah istilah untuk visi dan misi ekosistem digital atau internet yang aman dan privat. Ekosistem Web3 tidak hanya transparan dalam pemrosesan data dan uang penggunanya, tetapi juga memungkinkan mereka untuk memiliki kontrol penuh atas data pribadi.
“Web3 ini merupakan pengembangan di tengah ekosistem internet yang berbicara privasi data dan keamanan. Web3 memiliki visi internet lebih baik yang terbangun dari open protocol, yang mengedepankan transparansi dan inovasi lebih terbuka serta demokratis,” tutur Jeffi Manzani, dari Blanco Benz Atelier.
Ia menjelaskan, Web3 merupakan hasil pengembangan lanjutan dari ekosistem digital. Web 3 melampaui fase Web1 yang bersifat satu arah, serta Web2 yang menawarkan interaksi dan saat ini masih berlangsung terutama di ranah media sosial.

Di Web3, kata Jeffi, pengguna internet berhak atas keamanan bagi setiap identitas, konten, atau aset digital yang dimiliki. Saat membaur di dalam percakapan digital, data dan transaksi seperti keuangan akan mewujud berupa kode unik yang tercatat di jurnal penyedia data.
Meski berbentuk kode khusus, data ini akan tersimpan dengan baik pada blockchain dengan otoritas penuh ada di tangan pengguna.
Hak atas aset reward dan fitur dalam sebuah gim yang dimainkan, misalnya, jelas dimiliki pengguna, bukan pengembang gim. Bahkan ketika sebuah gim ditutup, aset tersebut tetap dipegang oleh pengguna.

Web3 menjadikan pengalaman berinternet secara holistis dan demokratis. Kemerdekaan berpikir dalam ranah digital pun menguat. Sebagai contoh, pengelola media sosial tak bisa lagi sembarangan menghukum (ban) atau mengamankan konten (take down) pengguna.
Di ranah seni, Web3 mewujudkan sumber, asal, keabsahan, dan kepemilikan karya pengguna. Blockchain yang akan menyimpan data-data tersebut agar bisa mudah ditelusuri di kemudian hari, termasuk perihal royalti.***