
Di usia 13 tahun, Mahesa Damar Sakti berhasil mewujudkan pameran tunggal pertamanya, “I Finally Use My Own Hands,” di Orbital Dago, Bandung, 16 April-15 Mei 2022.
Karya dari tangan anak usia 13 tahun ini terlahir dari proses dengan kondisi terbatas. Mahesa Damar Sakti yang hidup dengan autisme memamerkan karya-karya cetak grafisnya sejak tahun 2018 sampai karya-karya terbarunya di tahun ini.
Sejak dikenalkan oleh sang Ibu kepada proses berkarya seni grafis, yaitu printmaking, tanpa disadari ia berkembang dalam segala aspek. Untuk mencapai teknik-teknik kekaryaannya, Mahesa mendapatkan pendampingan dari guru printmaking yang juga seniman muda, Fajar Nurhadi.
Fajar menuturkan, seni cetak bagi Mahesa awalnya difokuskan pada fungsi seni dalam ranah artistik yaitu sarana berekspresi dan aktualisasi diri. Dalam perjalanannya, celah pada proses kreatif dalam berkarya seni cetak grafis Mahesa dinilai berpotensi menyalurkan kebutuhan sensorik dan motorik untuk dikembangkan.
“Mengacu pada piramida belajar Williams dan Shellenberger, Mahesa secara bertahap memenuhi kebutuhan sensoriknya agar kemudian terlatih, selanjutnya motorik hingga perseptual motoriknya,” ujarnya.

Di awal, Mahesa dikenalkan dengan basah tekstur dari cat hingga mengontrol agar sapuan cat tidak keluar dari bidang plat secara bertahap. Sembari dilatih, Mahesa juga diberi instruksi sederhana seperti mengeringkan hasil cetakan hingga mencuci dan merapikan kembali alat yang telah digunakan.
Khusus dalam ranah kekaryaan, kata Fajar, teknik yang digunakan dalam pengerjaan cetak grafis oleh Mahesa sejauh ini adalah monoprint dan silkscreen atau cetak sablon. Selain memanfaatkan media paling umum dalam teknik cetak grafis, Mahesa juga dikenalkan media lain seperti kain dalam bentuk barang pakai seperti kaos dan masker scuba agar Mahesa lebih merasa memiliki hasil karya buatan tangannya yang selanjutnya ia bisa gunakan sehari-hari.
Fajar menjelaskan, monoprint dipilih karena tergolong pada teknik cetak grafis yang cukup mudah untuk dikerjakan. Selain mudah, batasan dalam ranah eksplorasi pun dalam teknik ini tergolong minim, artinya Mahesa dapat leluasa bermain dengan warna, bentuk, atau bahkan memanfaatkan benda temuan sehari-hari untuk digunakan saat berkreasi.
Silkscreen atau cetak sablon sejauh ini dipraktikkan oleh Mahesa dalam rangka mengasah kemampuan motorik kasarnya.
“Hingga hari ini, Mahesa terus berkarya menggunakan seni cetak ini dengan perlengkapan yang memadai di rumahnya. Aktifitas ini telah menjadi kebutuhan bagi Mahesa yang wajib untuk dipenuhi,” kata Fajar.

Ibunda Mahesa, Rini Sunarini bercerita, Mahesa terlahir prematur dengan berat badan dan tanda-tanda lahir yang normal. Semuanya terpantau sempurna hingga hari-hari berikutnya berat badan Mahesa semakin turun karena ia tidak mempunyai kemampuan menghisap.
Lalu, keterlambatan-keterlambatan dalam pencapaian kemampuan motorik dan masalah-masalah dalam pemrosesan rangsang sensori pun mulai terlihat.
Diagnosa di awal perkembangan global development delay ini mengarah ke Autistic Spectrum Disorder (ASD). Sejak saat itu hari-hari keluarga pun padat dengan terapi dan konsultasi.
“Sebagai ibu, melihat Mahesa bertumbuh tidak seperti anak-anak pada umumnya, saya harus rela meletakkan angan-angan saya. Mahesa akan mempunyai jalan kehidupan yang sangat berbeda, dan saya harus siap untuk menyertainya. Setiap kendalanya akan menjadi kendala saya. Suara saya akan menjadi suaranya, perjuangan hidupnya akan menjadi perjuangan hidup saya,” tutur Rini.

Di tengah proses beradaptasi dan menata kondisi psikologis yang lebih baik, sensitivitas sensori Mahesa mulai meningkat. Tantrum, meltdown dialami hampir setiap hari. Kebutuhannya akan asupan rangsang proprioseptif dan vestibular meningkat tajam.
Sensitivitas taktilnya menjadi berlebihan dan ia mulai tidak nyaman dengan sentuhan sekecil apapun. Mahesa mulai mengembangkan pola Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan self-injured behaviour: badannya menjadi sasaran kemarahan dan ketidaknyamannya.
“Tidak jarang pula saya yang menjadi sasaran. Pernah suatu ketika ia tantrum dan membenturkan dirinya, berakhir dengan jari-jari kakinya retak. Sesudahnya pun ia tidak menerima kakinya diobati. Setiap tengah malam setelah ia tertidur saya harus bangun untuk mengobati kakinya yang retak dan luka-luka badannya,” ucapnya.

Rini mulai mengajak Mahesa rutin bertualang demi mengimbangi kebutuhan akan asupan proproseptive dan vestibularnya yang terus meningkat. Dua-tiga hari dalam seminggu Mahesa dan Rini jalan, naik bus TransJakarta, MRT, keliling Jakarta, atau perjalanan dengan KRL ke daerah-daerah yang lebih jauh.
Cara ini rupanya cukup membuatnya tenang dan nyaman karena di samping kebutuhannya terpenuhi, kecintaannya pada bus dan kereta pun terakomodasi.
Demi mengatasi sensitivitas taktil Mahesa, Rini kemudian mencari tempat belajar seni. Kebetulan, Rini memiliki latar belakang seni rupa dan desain. Namun, terapi melukis dirasa terlalu menantang dengan keterbatasan motorik halus Mahesa.
Maka, printmaking dinilai lebih tepat karena lebih banyak menggunakan genggaman tangan bisa lebih mudah ia kendalikan.
Akan tetapi, proses adaptasi dan kesabaran Mahesa di fase ini juga hal lain. Sempat muncul penolakan di awal. Beruntung ia mendapat Fajar, guru yang sangat sabar dan kreatif.
Fajar mampu mengajak Mahesa berinteraksi dengan pendekatan bermain.
Fajar mendapat perhatian istimewa dari Mahesa. Bahkan kebiasaan Fajar memakain topi mulai diikuti meskipun Mahesa tak pernah mau memakai apapun di kepalanya karena sensitivitas taktilnya.
Perkembangan makin membaik. Motivasi belajar printmaking terus bertambah karena Mahesa merasa senang belajar dengan gurunya dan juga dapat pergi dan pulang naik bus. Bersama aktivitas printmaking itu, perilaku OCD semakin berkurang.
Ia menjadi berani kotor, tidak berkeberatan terkena cat. Mahesa juga belajar mengenal proses berkarya itu sendiri, memakai alat-alat baru juga berani memakai alat-alat yang sebelumnya selalu ia hindari.
“Kami juga mendapat masukan dari para terapis Occupation Therapy Mahesa untuk mempraktikkan postur-postur tubuh yang dapat menguatkan otot-otot Mahesa selama aktivitas printmaking. Di samping itu, di luar ekspektasi saya, Mahesa berani menaruh kepercayaan besar terhadap orang lain selain orang terdekatnya. Ia mampu menjalin relasi yang kuat dengan gurunya, Fajar,” katanya.

Rini menambahkan, selama kurang lebih 4 tahun Mahesa berkarya, banyak sekali cerita, pengalaman sedih dan bahagia yang mereka dapatkan. Pameran tunggal pertama ini merupakan perayaan ungkapan syukur dari sepenggal perjalanan hidup mereka atas apa yang telah Mahesa capai.
“Sebuah proses yang awalnya sulit, penuh perjuangan seperti tidak mungkin tetapi akhirnya membuahkan hasil. Bukan hanya untuk Mahesa, tetapi untuk saya sebagai ibunya dan tentu saja untuk Mr. Fajar sebagai hasil ketekunan dan kesabarannya. Kami bersyukur dan berterima kasih pada Allah Yang Maha Baik untuk orang-orang terdekat kami, khususnya Yangkung dan Yangti Mahesa yang selalu mencintai dan mendukung kami. Juga untuk semua teman yang selalu ada untuk kami. Dan khususnya untuk Mr. Fajar sebagai guru dan teman yang sudah mau menjadi bagian dalam perjalanan hidup kami.
Rini berharap melalui pameran ini pengalaman mereka dapat membantu para orang tua anak berkebutuhan khusus ataupun para guru dan terapis untuk terus percaya dan berjuang mencari celah di mana potensi anak berkebutuhan khusus dapat berkembang.

Psikolog, Fridiawati Sulungbudi yang ikut hadir dalam pameran tersebut mengatakan, Mahesa yang ia kenal cukup lama, membantu orang sekelilingnya belajar bagaimana bersabar, mengamati perilakunya untuk mencoba memahami pikiran dan perasaannya, serta kreatif mencari cara berkomunikasi dan berinteraksi yang nyaman baginya.
Mahesa mengajak berpetualang dan menjelajahi jalan kehidupan yang berbeda dari yang umum; walaupun berpeluh dan berurai air mata, namun membangkitkan keberanian, kegigihan, dan keteguhan bagi orang terdekatnya.
Bagaimana Mahesa menantang dirinya dengan kegiatan yang sebenarnya sulit baginya karena kepekaan berlebihannya terhadap berbagai rangsang dan kemudian justru sangat dicintainya: bermain di pantai, berjalan-jalan naik bus umum dan belajar teknik printmaking. Proses yang panjang, perjalan penuh ketekunan bukan hanya dari Mahesa, namun juga dari orang terdekat dan pembimbingnya.
“Pameran kecil karya printmaking ini merupakan pencapaian luar biasa. Salah satu bukti nyata pendapat Stanley Greenspan, MD (pelopor pendekatan DIR/Floortime) ‘Semua anak memiliki potensi di dalam dirinya untuk menjadi anak-anak yang hebat. Adalah tugas kita untuk menciptakan sebuah dunia yang hebat di mana potensi tersebut dapat berkembang’,” tutur Fridiawati.
Koleksi karya Mahesa Mahesa Damar Sakti dalam Pameran Tunggal “I Finally Use My Own Hands,” di Orbital Dago, Bandung, 16 April-15 Mei 2022, ini bisa dinikmati lewat Galeri Foto mikrofon.id melalui link berikut: Pameran I Finally Use My Own Hands.***