
Tendangan Bebas 11 Seniman Bandung dalam Pameran Free Kick
11 seniman Bandung: Eko Bambang Wisnu, Eris Lungguh Sumantri, Iwan Ismael, John Martono, Mariam Sofrina, Mufti Priyanka, Nesar Eesar, Prabu Perdana, Tommy Aditama Putra, Toni Antonius, dan Yogie A Ginanjar menggelar pameran bertajuk “Kick Off”, di Galeri Pusat Kebudayaan, Jalan Naripan No 7-9 Kota Bandung. Pameran ini berlangsung tanggal 11-19 November 2022.
Wacana dan analogi menarik tersaji dalam pameran ini, di mana para kesebelas pameris menganalogikan diri mereka sebagai kesebelasan tim sepakbola dan karya-karya mereka adalah tendangan bebas ke gawang lawan yang melakukan pelanggaran.
Dalam catatan kuratorialnya, Aa Nurjaman menyebut pameran ini tidak bermaksud menekankan kepada satu titik hasil perjuangan, tetapi paling tidak secara politis melalukan suatu peringatan, atau “free kick” terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran terhadap ekspresi idealisasi kaum seniman.
Lebih lanjut, tendangan bebas yang coba mereka tujukan ialah kepada wacana pasar. Para perupa menganggap saat ini kualitas lukisan tidak lagi dinilai dari nilai filosofisnya, tetapi lebih ditekankan pada nilai jualnya.
“Pihak pasar yang notabene kaum kapitalis demikian menguasai para seniman sampai ke hal-hal paling pribadi, yakni idealisnya. Jika idealis seniman sudah dipatahkan, lantas apa lagi yang patut diperjuangkan melalui karya-karyanya. Idealisme yang berakar pada kebudayaan dan kehidupan keseharian tidak lagi penting untuk diupayakan menjadi karya. Kebanyakan seniman akhir-akhir ini justru berjuang demi mencapai popularitas dengan berbondong-bondong meng-copy paste model karya yang lagi ngetren, sehingga terbentuklah karya-karya yang serupa,” tutur Aa tentang pameran ini.

Pameran Free Kick, di Galeri Pusat Kebudayaan, Bandung, November 2022. Foto: Rayhadi/mikrofon.id.
Para seniman menjadikan keseharian sebagai gagasan utama karya-karya mereka. Mariam Sofrina dengan karyanya, “Sudut Pasar Suniaraja”, (2017), menampilkan bangunan tua kosong dan seram dengan warna yang cenderung gelap, yang menandakan sudah lama ditinggalkan para pedagang.
Di belakangnya, tampak bangunan gedung yang lebih tinggi dan nampak bersih dengan cat berwarna krem sehingga tampak lebih menonjol. Karya ini merupakan suatu bahasa yang mengusik jiwa kita akan keberadaan pasar-pasar tradisional yang kini tergantikan oleh bangunan-bangunan mewah dan sistem perbelanjaan yang menawarkan kemudahan- kemudahan.
Namun bagi Mariam, seni murni ibarat foto statis yang hendak menangkap dan membekukan aneka peristiwa yang senantiasa berlari.
Prabu Perdana melalui karyanya “Ancient Side 1 dan 2” (2022) memperlihatkan sikap kritisnya terhadap keseimbangan alam. Dalam karya “Ancient Side 1” terlihat tanah pesawahan atau mungkin tanah rawa yang kering terpecah-pecah. Sedangkan pada karya “Ancient Side 2” terlihat tanah kering itu berair kembali tetapi dengan tumpukan sampah.
Sama halnya dengan Prabu Perdana, Eko Bambang Wisnu melalui karyanya “Smell After Rain” (2022) mengkritisi alam perkotaan yang berlimpah sampah. Dilukiskannya sebuah kolam renang yang bernuansa biru, namun berbau. Bau itu sangat mungkin berasal dari sampah-sampah dari sekeliling kolam renang yang tertimpa hujan kemudian baunya menguap.

Pameran Free Kick, di Galeri Pusat Kebudayaan, Bandung, November 2022. Foto: Rayhadi/mikrofon.id.
Lain halnya dengan alam di pedesaan yang menebarkan aroma tanah kering ketika tertimpa hujan. Aroma tanah cenderung menyegarkan, tidak menusuk hidung yang menyesakkan seperti kita rasakan ketika berada di kota-kota besar.
Toni Antonius dalam karyanya “Celebrate” (2022) memperlihatkan tokoh-tokoh populer pada saatnya. Lewat karya ini, mereka coba memperlihatkan kekuatan sistem publikasi yang dirancang oleh para ahli dari belahan dunia Barat. Di sisi lain karya ini sejalan dengan pernyataan Mandoki, yang mengkritisi seni yang dianggap sebagai wilayah khusus yang elitis dan esoteris adalah kekeliruan yang dihembuskan para filsuf Barat dalam mempersempit karakter dan fungsi seni.
Sejalan dengan karya Toni, karya Yogie A Ginanjar “Hero” (2021) mengkritisi dasar pendidikan generasi kita mengenai kepahlawanan yang telah lama terkontaminasi oleh sistem Barat dengan berkiblat kepada tokoh-tokoh Barat, terutama Yunani dan Romawi.
Dalam lukisan ini tampak kepala Dewi Aphrodite, seekor macan berkepala lensa kamera yang mengarah kepada seorang tokoh yang kepalanya tengah menjadi asap. Gambaran gagasan Yogie memperlihatkan kekuatan mitologi Barat, melalui gim-gim yang terdapat pada beragam fitur digital yang terus menerus membiaskan sejarah kepahlawanan bangsa kita.
Selanjutnya ada Mufti Priyanka dengan karyanya “Hamil Duluan Gara-gara Kumpul Kebo” (2014) memperlihatkan kekuatan hasrat dalam kehidupan keseharian.
Secara filosofis, Mufti coba menjelaskan hasrat dalam psikoanalisis disebut bertempat di otak kanan, yang merupakan bagian dasar dari jiwa manusia yang berpusat pada pemuasan keinginan.
Sementara bagian kontrol hasrat adalah “rasio” yang disebut “ego” yang bertempat di otak kiri, sedangkan sumber kontrol adalah bagian hati yang disebut “super ego.”
Hasrat yang tidak mempedulikan ego dan super ego akan terjerumus dalam kehidupan liar layaknya binatang.
Tommy Aditama Putra melalui karya campuran drawing charcoal dan cat akrilik berjudul “Psychedelic Gorilla City Pop” (2021) memperlihatkan perubahan kesadaran seseorang dari terfokus menjadi terpecah-pecah antara sadar dan halusinasi yang kemudian menimbulkan pikiran-pikiran mistis yang memunculkan prasangka-prasangka terhadap orang-orang di dekatnya.
Karya “Psychedelic Gorilla City Pop” sepertinya mengenalkan suatu metode terapi terhadap orang-orang yang mengalami masalah bipolar. Sebab karya ini memperlihatkan pengalihan emosi masalah kejiwaan menjadi suatu kreativitas.

Pameran Free Kick, di Galeri Pusat Kebudayaan, Bandung, November 2022. Foto: Rayhadi/mikrofon.id.
Lukisan yang merupakan pengalihan emosi terlihat pula dalam karya Nesar Eesar “Nesar Eesar “Eternal Waiting Series” (2022) yang memperlihatkan orang-orang yang tubuhnya dipenuhi nyala api. Nesar mengungkapkan tentang”’penantian abadi” manusia yang justru selalu berapi-api, yang sangat mungkin dalam hal semangat dan juga dalam berperilaku.
Dalam “Eternal Waiting Series 11” terihat area permainan catur yang ditunggui seseorang yang tubuhnya dipenuhi api, bahkan wajah sosok itu berbentuk api dan asap. Nesar mengungkapkan suatu metafor mengenai pola hidup dewasa ini yang selalu masuk ke ranah permainan sistem, terutama sistem industri.
Selanjutnya, Iwan Ismael melalui karyanya “Game Trail Series” (2021) mengkritisi permainan anak-anak di masa kontemporer, antara lain: bermain balon- balonan bergambar tokoh Mickey Mouse, bermain dadu, seorang anak yang bosan menatap gawai dan lain sebagainya.

Pameran Free Kick, di Galeri Pusat Kebudayaan, Bandung, November 2022. Foto: Rayhadi/mikrofon.id.
Ia menyiratkan anak-anak telah kehilangan beragam jenis permainan tradisional seperti sapintrong (bermain tali), ucing-ucingan (petak umpet), panggal (gasing), maen bal (sepak bola) dan lain sebagainya yang justru mengasah keterampilan dalam kebersamaan. Dalam pandangannya, permainan modern justru mengarah ke permainan individual.
Iwan melihat saat ini anak-anak sudah masuk ke ranah permainan industri modern yang setiap saat dikejar-kejar peralatan canggih yang menawarkan fitur-fitur baru. Sikap kritis Iwan menyoroti kehidupan keseharian generasi kita yang semakin hari kian terjerumus ke dalam sistem industri.
Eris Lungguh Sumantri dalam karyanya “Mengubur Batu, Menggantung Awan” (2022) memperlihatkan sebuah lukisan yang nampak liris. Dalam lukisan ini terdapat metafor seorang manusia dalam posisi telentang mengambang di angkasa, kakinya berusaha memijak tanah sedangkan tangannya memegang tangkai tali gantungan awan.

Pameran Free Kick, di Galeri Pusat Kebudayaan, Bandung, November 2022. Foto: Rayhadi/mikrofon.id.
Karya ini merupakan metafor dari perilaku kita yang kerap sia-sia, sebab benda yang disebut batu sudah tentu berada di tanah dan awan pasti melayang di angkasa. Karya Eris Lungguh mengetengahkan metafor suatu komunikasi yang liris. Dalam komunikasi itu logika yang bekerja pun berbeda, yaitu cenderung didominasi “logika rasa” imajinatif yang sangat mengandalkan imajinasi dan hati.
Sedangkan karya John Martono tampil dengan judul “Menerawang Masa Lalu” (2021) dengan media campuran antara lukisan cat akrilik dengan kolase benang dan tali rami yang disusun menjadi bentuk jahitan dan bidang-bidang tekstural, yang disusunnya ke dalam komposisi lukisan abstrak murni.
John juga menampilkan grafiti yang secara verbal mengungkapkan kegelisahan jiwanya terkait apa yang terjadi di masa lalu. Persoalan jiwa ini diekspresikan dengan simbol-simbol. Mengacu pada kerangka pikir Benedetto Croce, bahwa imajinasi menghubungkan kognisi dengan emosi, dan keduanya menyatu dalam ekspresi.***

Profil Penulis
Suka menulis, musik, fotografi, bengong, menyendiri, dan lihat pohon. Pernah keluar tidak baik-baik dari salah satu perusahaan media beken di Jakarta lalu di-doxing setelahnya. Pernah diolok-olok geng ibu-ibu wellness di Bandung.
Tinggalkan Balasan