“Silence Before the Storm” merupakan subversi senyap (silence) pada kondisi bentang alam saat ini, yang porak-poranda karena urbanisasi, industrialisasi, dan eksploitasi sumber daya alam. Apa yang tampak pada lukisan-lukisan di pameran ini adalah landscape “kosong”, tanpa manusia dan propertinya. Manusia sebagai sumber bencana dihilangkan. Landscape yang tampil adalah yang imajinatif, tenang, dan ideal, sebelum kedatangan “badai modernisasi”.
– Asmudjo J. Irianto, kurator pameran “Silence Before The Storm”-
Sebanyak 13 perupa yang terhimpun dalam kelompok Flemish Bandung, mengadakan pameran bersama bertajuk “Silence Before The Storm,” di Galeri Pusat Kebudayaan, Bandung, 4-13 Agustus 2023.
Seniman yang terlibat dalam pameran ini yakni Akbar Linggaprana, Agung Dwi Nugroho (Baba), Asep Wawan Setiawan, Dida Rusdi, Didit Sudianto, Epi Gunawan, Kemas Yahya, Muhammad Abdan, Prabu Perdana, R.E. Hartanto, Rendra Santana, Romdona Priyanto, dan Rosita Rose.
Flemish Bandung adalah kelompok pelukis berjumlah 16 orang yang berdomisili di Jakarta, Bogor, Sukabumi, Bandung, dan Tasikmalaya dan memiliki minat pada teknik seni lukis klasik gaya Flemish.
Setelah mengadakan pameran bersama “Velatura”, 2018, di Griya Seni Popo Iskandar, Bandung, dengan fokus pada teknik seni lukis klasik, pameran kedua kini diadakan dengan fokus pada seni lukis lanskap alam.
Kurator pameran “Silence Before the Storm,” Asmudjo J. Irianto menilai judul pameran hasil kesepakatan para pelukisnya sebagai tajuk yang ampuh. Dari presentasinya, judul ini sudah mewakili subject matter setiap lukisan yang dipamerkan.
Bagi Asmudjo, judul tersebut juga semacam metafor pada dua persoalan: perjalanan seni lukis di Barat dan persoalan alam. Kedua perkara tersebut dapat menjadi jalan masuk untuk meninjau pameran ini.
Ia melihat pameran seperti ini juga cukup langka terjadi dalam medan seni lukis kontemporer Indonesia. Pameran ini menampilkan tiga belas seniman dengan karya-karya yang seluruhnya menampilkan landscape melalui teknik yang painstaking, metode Flemish, yaitu teknik melukis dengan cara menerapkan cat berlapis-lapis (tujuh lapisan).
Metode ini membutuhkan waktu, kesabaran dan kecermatan. Pameran ini juga segera mengingatkan kita pada lukisan-lukisan landscape Jelekong yang dijajakan berjajar di Jalan Braga. Kebetulan, Gedung Galeri Pusat Kebudayaan di Jalan Naripan ini berada hampir di pojok Jalan Braga. Dengan sendirinya, hal ini juga mengingatkan pada sejarah lukisan Mooi Indie di Nusantara.
“Secara kasat mata kita segera bisa membedakan kualitas teknik, aspek formal, dan gambaran landscape pada karya-karya dalam pameran ini dibandingkan lukisan Jelekong. Tentu saja, sebab lukisan-lukisan dalam pameran ini adalah karya personal yang mengandung gagasan artistik dari para pelukisnya,” tutur Asmudjo.

Reskilling
Dalam catatan kuratorialnya, ia menjelaskan, teknik melukis yang canggih dan skilful merupakan titik keberangkatan para pelukis dalam pameran ini karena didasari oleh metode Flemish, kendati tidak sepenuhnya. Hal ini menarik sebab merefleksikan apa yang disebut reskilling dalam seni lukis kontemporer.
Seni lukis modern Barat membuang keterampilan (deskilling) dan konten representasi yang menjadi bagian penting dalam seni lukis klasik Eropa. Seni rupa modern Barat, yang muncul di awal abad ke-20, juga kerap disebut seni avant-garde, merupakan upaya menyangkal konvensi sosial, politik, dan artistik pada abad-abad sebelumnya.
Perkembangan pemikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk fotografi, menyebabkan seni lukis mengambil trayek yang berbeda, yaitu menjadi seni otonom, terbe bas dari tugas menyalin realita manusia dan alam.
Tujuannya, agar seni lukis bisa menyasar ontologi (aspek-aspek mendasar) dan esensinya. Pada saat fungsi mimetik sudah ditanggalkan, maka skill tidak lagi dianggap penting, terjadi deskilling. Hal itu tampak dalam lukisan-lukisan abstrak yang menjadi narasi besar seni lukis modern-formalis.
Kaum modernis-formalis percaya bahwa esensi dan sublimasi seni lukis adalah pada bentuk murni yang sesuai dengan kedataran kanvas. Mereka meyakini bahwa kekhasan seni lukis (medium specificity) bukan pada subject matter, tapi pada komponen rupa/bentuk itu sendiri.

Puncaknya adalah pada saat gaya abstrak-ekspresionisme dipercaya oleh Clement Greenberg (kritikus seni paling penting pada di Amerika pada waktu itu, pertengahan abad ke-20) dapat membuktikan esensi seni lukis, yaitu pada gubahan-gubahan visual abstrak pada kanvas yang menekankan kedataran (flatness) bidang kanvas. Aspek ilusif (kesan kedalaman seperti perspektif) dianggap mengingkari esensi seni lukis.
“Tentu saja apa yang menjadi keyakinan para pelukis modernis-formalis dan para pendukungnya adalah upaya mengkonstruksikan nilai-nilai seni lukis yang dianggap universal, karena seni lukis abstrak yang nonrepresentasional dengan sendirinya dianggap tidak dibatasi oleh identitas etnis, ras, sosial, dan bangsa,” tutur Asmudjo.
Paradigma seni rupa modernis-formalis mendapat banyak kritikan di Barat, terutama dari para pemikir pasca modern. Pada tahun 60-an sampai awal tahun 70-an seni lukis tiarap dalam medan seni rupa Barat.
Setelah tahun 80-an seni lukis kembali tumbuh dan berkembang sampai hari ini dan menjadi medium yang kem bali dominan. Seni lukis kontemporer menanggalkan “medium-specificity-nya,” dan menjadi sangat beragam.
Hal itu juga sesuai dengan situasi post-medium dalam seni rupa kontemporer, tidak ada satu medium yang menjadi kekhususan dalam seni rupa kontemporer, semua diperbolehkan.

Seni Lukis Lanskap
Dalam seni lukis, semua gaya diperbolehkan, termasuk seni lukis abstrak dan lawannya: lukisan representasional, juga deskilling versus reskilling. Konsekuensinya setiap pelukis harus berjuang mendapatkan perhatian dalam “arus utama” medan seni, melalui kekuatan gagasan, kebaruan, dan karakter personal dalam lukisannya. Hal ini juga berlaku pada para pelukis yang menggunakan metode Flemish dan landscape, sebab keduanya merupakan teknik dan subject matter masa lalu.
Bisa dikatakan seni rupa modern tak memberi tempat pada keberadaan lukisan pemandangan alam. Padahal masa kejayaan seni lukis pemandangan alam tak berpaut jauh dari keberadaan seni lukis modern di abad 20.
Seabad sebelum masa seni lukis modern, lukisan pemandangan berada di masa puncaknya. Kendati lukisan pemandangan alam telah muncul di Belanda sejak abad ke-16, namun baru pada abad-abad berikutnya lukisan pemandangan alam dianggap penting dan menempati posisi sejajar dengan history painting.
Lukisan pemandangan alam Belanda umumnya berukuran kecil dan tanpa figur manusia, sedang kan di Italia dan Perancis para pelukis pemandangan alam menampilkan figur manusia dalam lukisannya.
Hal ini didasari oleh keinginan mereka agar lukisannya secara hirarkis sejajar dengan history painting. Pada kenyataannya, di masa itu history painting dengan subject matter yang diambil dari cuplikan mitos klasik dan ajaran Injil tetap dianggap lebih penting. Seringkali pemandangan alam muncul sebagai latar belakang semata. Lukisan pemandangan alam seperti yang kita kenali sekarang baru muncul belakangan.

Keberadaan lukisan pemandangan alam juga dipengaruhi gerakan Romantisisme, seperti karya-karya John Constable dan Caspar David Friedrich yang termasyhur. Karya-karya peman dangan alam para pelukis tersebut bisa ditempatkan sebagai sikap kritis terhadap kecenderungan lukisan sejarah (history painting) yang mengacu pada mitologi klasik dan ajaran Injil.
Dengan kata lain lukisan pemandangan alam merupakan kecenderungan kontemporer pada masanya. Karya-karya pemandangan alam, kendati merepresentasikan nature, sesungguhnya merefleksikan pula sikap subjektif dan kontemplatif terhadap alam sekitar.
Kemunculan fotografi yang lebih presisi dalam menyalin alam dan upaya mencari esensi seni dalam seni rupa modern, menyurutkan keberadaan seni lukis pemandangan alam. Para seniman awal modern (pramodern) dalam gaya Impressionism masih memakai subject matter pemandangan alam.
Namun mereka tidak bermaksud untuk menyalin kenyataan alam, melainkan menangkap impresi alam melalui permainan warna yang merepresentasikan perubahan suasana alam sesuai dengan jatuhnya cahaya.
Bagi para seniman ini, menampilkan pemandangan alam apa adanya dan membekukannya dalam satu momen (layaknya tampilan foto) bukan hal yang penting. lmpresi yang membangkitkan “sensasi” merupakan hal utama yang hendak dicapai oleh para pelukis tersebut melalui karyanya.

Medium
Lalu bagaimana pameran “Silence Before the Storm” dapat dinilai sebagai pameran yang menawarkan persoalan landscape? Asmudjo kembali mengingatkan seperti di awal tulisan bahwa judul pameran ini menjadi salah satu kekuatannya. Kendati lukisan-lukisan landscape di era Romanticism dianggap bernilai karena menunjukkan sensibilitas budaya dalam memandang alam (nature), selain sublimasi dan “ekspresi personal” dalam lukisan, namun belum sampai pada tahapan memandang seni dan seniman sebagai entitas otonom.
Otonomi seni lukis inilah yang kemudian menghapus pentingnya lukisan landscape sehingga lenyap dari peta arus utama seni rupa modern Barat. Seni rupa modern yang otonom mendatangkan “badai” teori dan wacana seni yang sibuk mencari esensi seni.
Seni lukis dicari dari aspek paling mendasar, yaitu form (bentuk), bukan konten (subject matter), juga bukan keterampilan (skill), melainkan ide pelukis mengenai seni lukis itu sendiri. Pemikiran dan konsep mengenai seni lukis adalah hal yang paling utama.
Itulah ontologi seni lukis modern, yang didudukkan sebagai narasi besar (grand narrative) “seni untuk seni” (art for art’s sake). “Badai” teori dan konsep seni rupa modern akhirnya menyapu “ketenangan” dan keberadaan seni lukis landscape yang sesungguhnya merupakan genre penting pada abad-abad sebelumnya.

Setengah abad “badai” teori menyelimuti seni rupa modern Barat pada abad ke-20. Disusul “badai” lain, yaitu pemikiran dan teori pascamodern pada akhir tahun 60-an dan 70-an dengan sasaran menggugurkan pemikiran-pemikiran dan teori modern, namun menjadikan teori dan wacana seni rupa menjadi makin kompleks.
Pada era pascamodern, seni lukis bahkan mencapai titik nadirnya, dengan sorotan utama pada seni minimalis, konseptual, dan pop art (pada akhir modernisme), dilanjutkan dengan performance art, happening art, new media, seni instalasi, dan land art.
Peristiwa seni ini terutama terjadi di Amerika yang, setelah kemunculan abstrak-ekspresionisme, menjadi pusat seni rupa Barat. Seni lukis muncul kembali pada tahun 70-an.
Hilangnya narasi besar modernisme dan medium specificity menjadikan seni lukis terbebas dan berkembang dalam segala kemungkinan, termasuk painting in the expanded field-yaitu bentuk-bentuk lukisan yang hibrida dengan medium lain.
Dalam seni rupa kontemporer yang disebut juga era pascamedium, seni lukis hanyalah salah satu di antara beragam medium lainnya. Selain itu teori dan wacana tetap menjadi bagian pentin -juga semakin kompleks dalam menjustifikasi nilai-nilai seni lukis kontemporer. Beragam teori mutakhir, terutama politik identitas, seperti feminisme, pascakolonialisme, rasisme, dan persoalan lingkungan menjadi konten penting dalam seni lukis kontemporer.

Alam Ideal
Dalam refleksi sejarah seni lukis Indonesia, Asmudjo melanjutkan, maka lukisan landscape dapat dikaitkan dengan gaya seni lukis Mooi Indie. Lukisan landscape Nusantara yang elok tersebut pernah dikritik oleh Sudjojono sebagai “tidak pantas,” mempertanyakan soal bagaimana bisa para pelukis malah menampilkan kecantikan alam Nusantara pada saat bangsa Indonesia dijajah.
Jika ditengok dari masa sekarang hal tersebut terasa ironis. Sebab, saat Nusantara dijajah, setidaknya lingkungan alam masih terjaga. Pada saat itu eksploitasi alam dalam bentuk perkebunan dampaknya tidak semasif saat ini, saat kita telah merdeka.
Saat ini penetrasi modemisasi, pertumbuhan ruang-ruang urban, industri manufaktur, dan perkebunan monokultur menyusup ke hampir segala sudut ruang alam. Dalam hal ini gambaran alam dalam lukisan-lukisan “Silence Before the Storm” adalah subversi terhadap realita bentang alam yang porak poranda. Lukisan-lukisan dalam pameran ini adalah fiksi ideal tentang bentang alam, sebelum datangnya badai kapitalisme.
“Silence Before the Storm” bisa dibaca sebagai metafor mengenai ironi dari kondisi alam dewasa ini. Polusi udara, sungai, laut, dan darat karena konsumsi energi rumah tangga, transportasi dan industri, serta eksploitasi alam telah memberikan dampak kerusakan luar biasa pada ekosistem alam. Dampaknya nyata, yaitu perubahan cuaca, pemanasan global, naiknya permukaan laut, dan bencana alam.
Alam yang tampak saat ini adalah alam yang rusak. Alam saat ini jauh dari ideal, seperti yang digambarkan dalam lukisan-lukisan landscape Eropa di masa lalu dan lukisan-lukisan Mooi-Jndie. Lukisan-lukisan yang ditampilkan dalam pameran ini seperti idealisasi alam pada masa lalu, sebelum dirusak manusia modern. Barangkali itu sebabnya tidak ada satu pun manusia yang ditampilkan dalam lukisan-lukisan tersebut.

Metode Flemish
Dalam konteks seni rupa kontemporer, metode painstaking yang makan waktu seperti metode Flemish menjadi istimewa sekaligus berisiko. Metode ini menjadi metode yang subversif pada realita teknologi dan budaya digital yang serba instan. Mengerjakan lukisan dengan teknik Flemish adalah anakronisme dan asketisisme dalam situasi serba cepat saat ini.
Pilihan bersusah payah tersebut tentu terbayar oleh karakter lukisan ala Flemish yang memang berbeda dan istimewa. Hal itu dengan sendirinya berdampak pada pemirsanya . Metode Flemish yang berlapis, menghasilkan pantulan dan pencerapan cahaya, tergantung warna dan glaze-nya.
Efek warna dan drama lebih kental dibandingkan direct painting. Materialitas dan fisikalitas lukisan-lukisan dengan metode Flemish akan memberikan dampak perseptual yang lebih kuat dan kaya.
Bahkan untuk para pemirsa yang tidak memahami metode Flemish, sedikit banyak akan merasakan bedanya dengan lukisan direct painting. Pengalaman estetik-disadari atau tidak-selalu berkaitan dengan aspek perseptual (pencerapan indrawi, dalam hal seni rupa terutama indra penglihat dan peraba).
Dengan begitu lukisan yang dikerjakan dengan metode Flemish akan memberikan dampak perseptual yang istimewa, berbeda dengan lukisan-lukisan cepat jadi.
“Tulisan ini tidak membahas satu-persatu karya-karya yang dipamerkan, sebab pada lukisan-lukisan realis dan naturalis, narasi tampil jelas dan dipahami oleh publik paling awam sekalipun. Demikian pula dalam pameran ini variasi teknik dan penggambaran bentang alam sudah terli hat dengan sendirinya. Apa yang telah diuraikan sebelumnya adalah bacaan saya mengenai potensi refleksi kritis pada karya-karya yang dipamerkan,” tutur Asmudjo.
Refleksi Kritis
Lukisan-lukisan pada pameran ini mudah mendapatkan apresiasi dan kekaguman publik umum, sebab untuk mereka seni berarti “keterampilan” dan “keindahan.” Kedua perkara tersebut dipenuhi oleh semua lukisan yang ditampilkan. Namun dalam seni lukis kontemporer parameternya tidak sekadar disukai publik. Seni rupa kontemporer, termasuk seni lukis, dianggap “bernilai” karena “refleksi kritisnya,” yaitu aspek dan pesan yang mengandung kritikan untuk membangkitkan awareness tentang persoalan yang disampaikan senimannya.
Dalam seni rupa kontemporer, “persoalan” yang dapat direpresentasikan sangat beragam. Refleksi kritis tidak dapat dipisahkan dari wacana, teori, sejarah, dan filsafat, baik dari ja lur seni rupa maupun disiplin ilmu lain. Selain itu aspek terobosan, pembaruan, dan perluasan kemungkinan teknik, presentasi dan representasi (konten) seni rupa juga penting.
Umumnya seniman-seniman yang dianggap penting dan menjadi bagian dari arus utama seni rupa kontemporer menunjukkan tanda-tanda dari berbagai variabel di tersebut dalam karya-karyanya.
Pandangan umum biasanya menempatkan refleksi kritis pada konten karya (subject matter dan narasi), namun tidak selalu begitu. Persoalan teknik pun bisa menjadi aspek yang dipersoalkan dan mengandung kritik.
Tentu, sebaiknya antara konten, refleksi kritis, dan teknik menyatu, “tampak” pada lukisannya. Dalam konteks metode Flemish, misalnya, sejauh mana urgensi teknik painstaking tersebut menjadi kekuatan tawar yang relevan dalam peta seni lukis kontemporer Indonesia?
Bagaimana pula relasi metode tersebut dengan konten? Tentu saja segala perkara ini berpulang pada para pelukisnya. Sebab medan seni rupa juga berlapis, dan parameter arus utama, berbeda dengan parameter publik umum.
Sampai saat ini lukisan landscape masih menjadi lukisan yang populer di seluruh dunia, dan paling disukai publik umum. Tantangannya, bagaimana metode Flemish dan landscape bisa meraih apresiasi dari arus utama medan seni lukis kontemporer Indonesia?”
Dalam kelompok Flemish ada figur RE. Hartanto (Tanto), salah satu pelukis papan atas dalam arus utama medan seni rupa kontemporer Indonesia. Hal ini tentu tidak lepas dari kemampuan Tanto dalam membangun gagasan seni lukisnya, yang dapat mencampurkan teknik, konten, dan bentuk menjadi konfigurasi visual dalam satu kesatuan yang saling mengikat dan relevan dengan persoalan seni lukis dan representasi persoalannya.
“Dan yang paling penting, Tanto berhasil mentransformasikan beberapa teknik seni lukis klasik Eropa menjadi gaya personalnya, menjadi identitas lukisannya. Semoga anggota lain dalam kelompok ini juga dapat mengikuti jejak Tanto menjadi pelukis yang dinilai penting dalam arus utama seni lukis kontemporer Indonesia,” kata Asmudjo.***