
Seniman yang terhimpun di dalam komunitas Institut Drawing Bandung (IDB) menyelenggarakan Pameran ARTsiafrica, di Galeri Pusat Kebudayaan, Jalan Naripan No.9, Bandung, 20-30 Agustus 2022.
Dalam catatan pengantar pameran ARTsiafrica, pegiat Institut Drawing Bandung, Hawe Setiawan mengatakan acara ini merupakan bagian dari kegiatan penanda menuju kegiatan akbar drawing biennale yang telah digagas oleh IDB untuk mulai dilaksanakan pada 2025. Pameran kali ini bisa disebut merupakan kegiatan pra-biennale dengan mengajak para pegiat drawing dari seantero Indonesia, khususnya Jawa dan Bali.
“Kegiatan ini diilhami, didorong, dan diarahkan oleh cita-cita untuk merayakan persaudaran budaya antarkawasan, di Asia dan Afrika. Cita-cita seperti ini tidak datang dari langit, melainkan dari dinamika sejarah yang sempat tergelar di Indonesia, khususnya di Bandung, dalam wujud Konferensi Asia-Afrika pada 1955,” tuturnya.
Secara tematik, kata Hawe, pameran kali ini hendak meneruskan isu yang sempat diangkat melalui pameran sebelumnya yang bertajuk “Marakayangan” pada Mei 2022. Saat itu, seniman Institut Drawing Bandung memotret gejala ramainya hantu tiruan di tengah geliat kegiatan wisata warga kota, di Jalan Asia-Afrika, Bandung.
Hawe lantas menelusuri keterkaitan ihwal pentingnya makna Asia-Afrika. Ada hal yang menggembirakan dalam sebutan “Asia-Afrika”, yakni menghilangnya kata “dan”. Yang sering diucapkan bukan “Asia dan Afrika” melainkan “Asia-Afrika”.
“Tersirat adanya harapan akan lenyapnya partisi, sekat, tapal batas yang memisahkan umat manusia. Asia dan Afrika terasa melebur jadi satu nama, yang dapat diucapkan dalam satu helaan napas,” katanya.
Kali ini, dengan mengingat latar belakang sejarah Asia-Afrika, Institut Drawing Bandung mengajak peserta pameran untuk menanggapi isu-isu yang menggejala di kawasan Asia-Afrika.
Hawe menambahkan, tema ARTsiafrica: Ingatan, Amatan, Harapan ini diangkat mengikuti sebentuk impian untuk merayakan persaudaran di kawasan yang luas. Pengalaman sejarah, khususnya ketika negara-negara saling dukung melepas jerat penjajahan dijadikan tambatan ingatan, untuk mengarahkan amatan terhadap pusparagam keadaan yang tengah menggejala di sekeliling kita.
Karya-karya seniman Institut Drawing Bandung berupaya mencuatkan pernyataan bahwa persaudaraan antarkawasan semestinya bukan basa-basi diplomatik, bukan melulu retorika di tengah dinamika geopolitik.
“Jika persaudaraan itu kita jadikan cita-cita, impian, atau harapan, niscaya hal itu dapat dijadikan pendorong dan pengarah di dalam serangkaian ikhtiar kultural, semisal menjalin jejaring antarpegiat seni di kedua kawasan, menyelenggarakan festival yang pesertanya menjangkau kawasan tersebut, saling kunjung-mengunjungi untuk melangsungkan kolaborasi seni, dan banyak lagi,” ucapnya.

Dalam batas-batas kesanggupan IDB sejauh ini, ia menambahkan, impian semacam itu baru dapat diwujudkan ke dalam langkah kecil berupa pameran drawing para pegiat seni rupa setempat untuk memvisualisasikan ingatan, amatan, dan harapan tersebut.
Seringkali, dalam urusan kegembiraan semua orang merasa sama, tetapi dalam urusan duka cita tiap-tiap orang seakan merasa berbeda. Tiap-tiap warga kawasan seakan-akan menghadapi masalahnya sendiri: merebaknya korupsi di Indonesia, timbulnya kembali militerisme di Myanmar, menguatnya sentimen rasialis di India, timbulnya rabun ingatan di Filipina, dan sebagainya.
Hawe menilai, jika amatan kita ditempatkan dalam wawasan antarkawasan, niscaya masalah-masalah seperti itu dapat mendorong kesanggupan untuk saling berbagi peneguhan diri, seperti para tetangga dalam novella Family Happiness karya Leo Tolstoy. Beranjak menyerap empati dari Bandung, konsep kekaryaan seniman Institut Drawing Bandung merebak ke segala penjuru, dari amatan terdekat hingga mengenal lebih jauh “tetangga-tetangga” kawasan Asia-Afrika.
“Manakala kita mencoba beringsut dari pusaran egosentrisme, terasa masih adanya ruang-ruang gelap dalam pengetahuan kita sendiri mengenai keadaan di sekeliling diri kita. Melalui kerja seni, kiranya ruang-ruang gelap itu dapat ditembus dengan sendirinya, dan persaudaraan budaya yang kita impikan bakal terwujud,” tutur Hawe.***