
17 seniman menghadirkan pameran tunggal ‘Prelude’ di Galeri Pusat Kebudayaan, Jalan Naripan Kota Bandung, 21-31 Januari 2023.
Mereka adalah: Angga Wedhaswara, Arman Jamparing, Dewi Aditia, Didit Sudianto, Dzikra Afifah, Erwin Windu Pranata, Irman A. Rahman, Jabbar Muhammad, Louise Henryette, Muhammad Reggie Aquara, Patriot Mukmin, Peter Rhian Gunawan a.k.a redmillerblood, Renitta Karuna Dharani, Tedy Osman, Trio Muharam, Wildan F. Akbar, dan Willy Himawan.

Pameran ini menghadirkan narasi titik mula dalam perjalanan tahun masehi. Seperti diketahui, Januari merupakan titik awal bulan dalam penanggalan Masehi berasal dari nama salah satu dewa dalam paganisme Romawi, yakni Dewa Janus.
Lewat sajian seni dengan berbagai aliran, mereka menarasikan Dewa Janus yang memiliki dua wajah yang menghadap kedepan dan ke belakang, alegori dualitas antara ingatan masa lalu, serta visi masa depan. Oleh karenanya, namanya diabadikan menjadi nama bulan yang menandakan tahun baru, awalan baru.

Awalan, titik mula dari masa atau tindakan selanjutnya, dalam beberapa kepercayaan dinilai jauh lebih bernilai.
“Prelude, adalah juga istilah yang menandai awal mula. Istilah ini diadaptasi menjadi tajuk pameran yang dapat dimaknai bukan saja sebagai perhelatan awal di tahun 2023,” tutur kurator Pameran “Prelude”, Yogie A. Ginanjar.

Ia juga mencontohkan tradisi Islam yang mempercayakan bobot atau nilai sebuah tindakan itu dilihat dari titik awalnya, yakni niatnya. Lebih dalam lagi, ia mengaitkannya dengan hadis Bukhari Muslim:
“Sesungguhnya segala perbuatan itu bergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya”.

Dikaitkan dengan pameran “Prelude”, gagasan ini dikaitkan dengan ingatan tentang masa sebelum ini mungkin dipenuhi dengan ingatan akan hal terkait pandemi, dalam lingkup kemanusiaan atau yang lebih spesifik yakni dalam lingkup seni rupa.

“Ingatan kita masih segar saat keterbatasan akan ruang gerak dan ruang eksistensi fisikal membuat kita hampir sepenuhnya bergantung kepada teknologi, dan tak lama kemudian terjadi disrupsi radikal dari teknologi blockchain yang mengubah wajah seni rupa kontemporer waktu itu dengan kemunculan seni kripto. Belum lagi perhelatan pameran yang dilakukan secara daring, menantang pola apresiasi seni, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya,” ujarnya.

Sebagai pamungkas, Yogie menulis pameran ini tidak memiliki pretensi untuk menawarkan resolusi, namun dapat dilihat sebagai titik awal yang reflektif terhadap pengalaman masa lalu melalui karya seni yang disajikan oleh masing-masing seniman yang berpameran.

“Saya harap kita dapat bersama-sama menemukan dan merumuskan visi terbaik bagi masa depan,” tutupnya.***