Seniman Carla Agustian menggelar pameran tunggal ‘Metamorfora’ di Ruang Dini. Pameran ini dibuka mulai 6 Januari 2023 hingga berakhir pada 29 Januari 2023.
Total ada 8 karya yang dipamerkan dalam “Metamorfora”. Ada “Mirror,” “Amateur,” “Legacy,” “Tumb,” “Middle,” “Pursuit of Happiness,” “Magic Hands,” dan “Kindness”.
Dalam catatannya, Carla menulis Pameran “Metamorfora” merupakan simbol perjalanan hidupnya dari fase ke fase.
Secara filosofis, kata ‘Metamorfora’ dipilih atas dua kata: metamorfosis dan metafora sebagai bentuk penggambaran sebuah proses penting dalam mengalami perubahan dan pertumbuhan untuk beradaptasi bagi kelangsungan hidup yang secara metafora disampaikan ke dalam bentuk lukisan.

“Karya-karya ini terbentuk atas perjalanan menjadi manusia sampai saat ini, melalui beberapa fase yang dirasa berkesan dalam membentuk diri sejauh ini. Fase-fase dengan berbagai macam perasaan yang diterima saya tuangkan ke dalam karya dalam bentuk metafora secara visual. Upaya ini dimaksudkan dengan tujuan mengabadikan beberapa hal yang amat penting dalam sebuah proses,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menyebut karya-karya yang dibuatnya merupakan love letter untuk orang-orang dan proses perjalanan atas hidup yang menyertai dan meninggalkan jejak bermakna sebagai penanda dan bentuk terima kasih.

Kurator Pameran “Metamorfora”, Alia Swastika, dalam catatannya menjelaskan karya-karya Carla Agustian berangkat dari refleksi tentang pengalaman hidup menghadapi dunia yang kompleks dan perubahan yang tidak terbendung.
“Sebagai perempuan, pilihan dan tantangan hidup ini bisa lebih kompleks karena konstruksi sosial yang telah sekian lama menempatkan perempuan dalam ruang yang subordinat,” ujarnya.
“Meskipun tidak secara langsung Carla membahas bagaimana posisi perempuan dalam ruang sosial dan personal di titik peradaban masa kini, akan tetapi tentu perspektif dan pengalaman hidupnya sebagai perempuan memberikan pengaruh besar dalam cara pandang dunianya,” katanya, melanjutkan.
Metafor-metafor visual dalam karya Carla Agustian adalah citra tentang dunia yang penuh ambiguitas antara hitam dan putih, masa lalu dan masa kini, kenangan dan harapan, yang gelap dan terang, yang tampak dan tersembunyi.
Dengan memilih warna- warna akromatif, cenderung monokrom, Carla menunjukkan garis-garis batas yang tegas antara ruang yang kosong dan ruang terisi, sekaligus menunjuk garis batas sebagai ruang ambang tempat kenyataan dan kemungkinan ketiga bisa ditemukan.

Kanvas-kanvas Carla cenderung terisi oleh satu objek sentral, membiarkannya menjadi pusat pandangan kita, dikelilingi warna gelap yang terkadang sedemikian pekat.
Di satu sisi kegelapan itu membuat objek-objek menjadi semakin menonjol, seperti dipanggungkan, membuat objek berada dalam agensi bagi narasi tertentu.
Di sisi yang lain, ruang-ruang gelap juga berbicara tentang narasi-narasi lain yang tersembunyi, yang tidak tergambar dalam kisah utama.
Beberapa lukisan Carla menggunakan metafor kain putih, sesuatu yang acap muncul dalam bahasa visual praktik seni kontemporer, seperti yang kita temukan pada karya Christo dan Jeanne-Claude (dalam skala yang tidak dapat dibandingkan).
Kain-kain penutup Carla bersifat intim dan rapuh, lentur tetapi seperti punya kekuatan, dan memberikan gejala aksi performatif tentang apa yang seharusnya tampak dan apa yang tidak.

Sebagai contoh, karya bertajuk Amateur (2022), menampilkan lukisan Mona Lisa yang tertutup kain putih sebagian, tetapi segera membawa kita pada asosiasi bahwa lukisan itu adalah Mona Lisa karya Leonardo da Vinci, sebuah lukisan paling ikonik di dunia.
Dengan memilih Mona Lisa, Carla menampilkan pandangannya tentang kanon seni, seperti gambaran tentang titik terjauh yang tak mungkin dijangkaunya. Sesuatu yang terasa dekat karena begitu sering disebut tetapi juga terasa asing dan jauh.

Carla kemudian menutup sebagian lukisan dengan kain putih, seperti tidak menjadikan lukisan ini sebagai ukuran “pencapaian”, yang barangkali sering disebutkan dalam sejarah seni.
“Tindakan menutup kain ini seperti membangun jarak dengan imaji Mona Lisa, untuk meredupkan aura mistisnya sehingga kita bisa menyikapi lukisan sebagaimana adanya. Melukiskan ulang Mona Lisa seperti menjadi cara bagi Carla untuk meneguhkan pilihannya dalam jalan seni, tetapi juga menutupnya bisa ditafsir sebagai upaya untuk pengingat bahwa setiap seniman mempunyai cara dan jalannya masing-masing,” ucap Alia.

Ada pula karya berjudul Mirror, yang mengisahkan perjumpaan dan perpisahan dengan banyak orang yang pada akhirnya membantu kita dalam mengenali diri sendiri lebih dalam (refleksi). Carla menyebut, peristiwa ini seolah menjadi cermin yang menyimbolkan kekuatan merenung untuk membatasi hasrat.

Karya lain yang menggunakan imaji kain, Kindness (2022), terdiri dari 4 lukisan yang bersambung menjadi satu, menampilkan lipatan kain putih yang ujungnya digenggam seseorang. Carla menampilkan pesan sederhana tentang bagaimana tangan menggenggam sesuatu yang dianggap berharga dalam kehidupan, yang maknanya bisa berbeda bagi satu orang dengan orang yang lainnya.

Cahaya juga menjadi metafor penting untuk melihat bagaimana bayangan dan hal-hal yang tampak sebagai ilusi muncul dalam karya-karya Carla. Melalui dua karya, Mirror (2022) dan Pursuit of Happiness (2022), Carla menampilkan objek ini seperti separuh nyata dan separuh lagi dibentuk oleh bayangan.

Bayangan menjadi ruang jeda dari realitas kehidupan, di mana ia bisa berarti juga ruang kosong di mana mimpi-mimpi dibangun. Mirror dengan semburat cahaya temaram, didasari kain yang putih, seperti membangun suasana syahdu dan sunyi. Carla meletakkan cermin untuk menduplikasi bunga dan cahaya lampu, membiarkan bayangan itu mengabur kerja jarak dan distorsi citra.

Sementara itu Pursuit of Happiness tampaknya menjadi bentuk yang lebih dekoratif di mana Carla menampilkan ornamen kaca dalam bentuk bayangan untuk menegaskan bagaimana cahaya seringkali datang untuk memunculkan sesuatu yang kita anggap tersembunyi dan menjadikannya lebih terang.
“Pada bentuk-bentuk semacam ini, Carla tampaknya menguji kembali kemungkinan still-life sebagai satu gaya dalam lukisan kontemporer, sembari saya kira, tanpa ia sadari, ia juga mempertanyakan apa makna still-life dalam lanskap produksi citra visual yang sedemikian intensif sekarang ini melalui kamera pada telepon? Carla tampaknya melihat intimasi dengan perspektif dan tema sebagai hal yang membedakan antara karyanya dengan citra-citra instan yang dibuat sebagai konten media,” kata Alia.

Bagian terakhir dari rangkaian karya untuk pameran tunggal Carla Agustian adalah seri lukisan Magic Hands (2022), yang sengaja dibuat hampir menyatu dengan gelapnya arang. Dua tangan ini saling menggenggam, saling menyentuh, tetapi juga menunjukkan sebuah upaya untuk berjarak: seperti merengkuh tetapi juga memberi ruang untuk bertumbuh.
Lima gerakan jemari tangan ini menjadi metafor yang kuat untuk “penerimaan” yang menjadi titik pijak bagi penyikapan hidup sang seniman, di mana sebagai individu ia melihat bahwa simbol tangan juga menjadi gambaran bagi filsafat hidup seseorang.
Kelima lukisan ini barangkali mengingatkan kita pada citraan mudra dalam ikonografi Hindu dengan beragam bentuk jemari. Bagi Carla, menggambarkan caranya untuk mengingat dan menegaskan pada dirinya pilihan hidup dalam kerja kesenian.
“Karya-karya Carla Agustian pada pameran ini memang sebagian besar berangkat dari renungan personalnya tentang bagaimana ia memandang dunia saat ini, baik sebagai individu maupun sebagai seniman. Citra hitam putih menjadi pilihan artistik untuk menjawab pertanyaan dan refleksinya sendiri tentang dunia yang kerap dihadapkan pada hal-hal bertentangan: gelap/ terang, hitam/putih, tampak/tidak tampak, dan sebagainya. Carla membawa dirinya pada upaya untuk membuka ruang-ruang di antara yang saling berseberangan, dan menelusuri kemungkinan yang ada pada ruang batas,” tutur Alia.***