Lewat karya Tugas Akhirnya, di Program Magister Desain, Fakultas Seni Rupa & Desain Institut Teknologi Bandung, Ady Setyawan menampilkan pameran seni media baru, di Selasar Sunaryo Art Space, 8-29 Januari 2023.
Pameran bertajuk “Parabhose,” ini menampilkan karya eksperimental dengan pendekatan video mapping yang mengangkat tema lingkungan.
Pameran yang tersaji berupa wahana video mapping ini mengajak pengunjung berinteraksi. Setiap QR Code yang dipindai akan membentuk karakter mainan, lalu meliuk-liuk merupa binatang penghuni lautan di dinding ruang pamer.
Karakter hewan bawah laut ini terbentuk dari sampah-sampah yang umumnya ditemukan di isi laut dan hamparan pasir pantai.



Ady Setyawan pada dasarnya merancang kampanye kesadaran publik melalui karya eksperimental berbentuk video mapping interaktif yang memancing pengunjung untuk berpartisipasi.
Melalui pendekatan ini, kesadaran akan permasalahan yang diangkat tidak sekadar dipaksakan lewat tontonan dan imbauan, namun dibangun bersama dengan dialog aktif melalui partisipasi dan pengalaman pengunjung. Dengan cara ini, diharapkan dampak yang dihasilkan akan lebih efektif.

Lokasi kasus adalah Wakatobi, sebuah kabupaten kepulauan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Wakatobi terdiri dari pulau-pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.
“Kita tahu, salah satu masalah dari peradaban modern adalah sampah. Terutama sebab mental manusia yang egois, sampah cenderung terbawa ke laut. Pantai-pantai di daerah wisata seringkali kotor sebab para turis membawa sampah dan sampah yang ada di laut hanyut kembali ke tepian,” ujar Setyawan.

Penelitian Setyawan mengantarnya pada ungkapan “To tambu’e mo alaa,” sebuah istilah di Hedongka yang berarti “Kita angkut saja ke darat,” sehingga benda-benda yang ditemukan di pinggir pantai tidak hanyut kembali.
Lebih lanjut Setyawan memaparkan, dalam proyek bernama Hedongka Project, anak-anak muda Komunitas Katutura dari Tomia, Wakatobi, melakukan aktivitas Hedongka, menyisir pantai, memungut sampah-sampah plastik.
“Mereka menuruti prinsip Hedongka soal memanfaatkan barang-barang hasil pungutan itu, namun tidak dengan membuatnya jadi barang untuk kebutuhan sehari-hari, melainkan dijadikan sebagai kerajinan dan karya seni. Katutura percaya bahwa semua kemungkinan dan upaya menekan jumlah sampah yang masuk ke Wakatobi mesti dilakukan, sekecil apapun itu,” katanya.

Parabhose dalam bahasa setempat berarti oleh-oleh. Melalui istilah tersebut Setyawan mengalih-wahanakan prinsip Hedongka, mengemasnya dengan memanfaatkan media interaktif, menghubungkannya dengan generasi terkini.
Melalui alihwahana ini, prinsip Hedongka dihadirkan ulang melalui simulasi digital, sehingga dapat dialami sendiri oleh pengunjung.
Pendekatan ini tidak hanya menjangkau lintas generasi, juga memungkinkan prinsip itu bergaung di ruang-ruang yang jauh dari Tomia Wakatobi.
“Kiranya itulah sebuah ‘kampanye’ yang ‘artistik dan (semoga) “berdampak’,” tutur Ady Setyawan.***