Ada pameran tunggal bertajuk “Mengakar” di Orbital Dago, Bandung, yang diadakan mulai 22 November-11 Desember 2022. Pameran tunggal ini menampilkan Adikara Rachman dengan menampilkan manifestasi seni dan budaya, yang disebutnya tak bisa lepas dari label tradisi.
Melalui pameran ini Adikara juga ingin menambahkan bahwa seni tradisi bukanlah suatu hal yang berarti kuno atau tidak relevan dengan kehidupan masa sekarang.
Meskipun meniru prinsip visual Batik Pesisir dengan cara-cara dinamis, Adikara tidak serta merta melukis menggunakan canting melainkan tetap dengan kuas, medium cat akrilik dan medium campuran.
Adikara melukis di atas kanvas dan kertas dalam beberapa dimensi namun didominasi dimensi yang relatif besar. Ia mengalihkan wahana kreativitas, teknik, dan ekspresi estetiknya pada karya lukis yang berangkat dari pemikiran akademis.
Dalam catatan kuratorialnya, Dhiaz Ramadhansyah menulis bahwa pameran ini menjadi tanda bagaimana Adikara mengartikulasikan “Arts and Roots”.
“Ia tidak sedang melawan konsensus batik atau menandingi kemampuan artistik pengrajin batik, karena Adikara percaya bahwa karya- karya batik yang ada di muka bumi ini tidak pernah ada yang sama karena pengalaman hidup dan latar belakang setiap perajin batik pasti berbeda,” ujar Dhiaz.
Jika sekarang Adikara bisa membaca pola atau gejala kreasi visual, memahami, serta mengapresiasi karya tradisi dengan cara terbaiknya, itu karena ia telah melewati masa pendidikan dan pengalaman kultural yang panjang.

Adhikara menggunakan pendekatan kajian budaya visual, semantik, dan estetika terapan untuk membedah elemen-elemen visual Batik Pesisir. Oleh karena itu, pendekatan budaya visual sangat kental melatarbelakangi praktek artistiknya.
Ia membongkar elemen-elemen visual pada Batik Pesisir dan melakukan pembacaan dengan menggunakan pendekatan semantik. Dalam pameran ini, ia coba memahami bagaimana corak dan warna pada Batik Pesisir terbentuk dan bagaimana mengelolanya.
Misalnya, pada Batik Cirebon dengan khasnya yang ditandai dengan penggunaan warna-warna dasar seperti merah, kuning, hijau, dan biru. Tidak jarang pula menggunakan warna dasar kain putih.
Pola batik pesisiran Cirebon sangat dinamis dan mengikuti permintaan pasar. Penerapan polanya tidak hanya untuk kain saja tetapi juga dilukis atau bahkan dicetak digital untuk produk tas, sarung bantal, topi, taplak meja, dan lainnya.
Polanya memiliki nama masing-masing. Salah satunya adalah pola Buketan yang identik dengan gambar pohon, bunga, dilengkapi dengan burung dan kupu-kupu. Penggambaran pola ini benar-benar bermakna denotatif yaitu menggambarkan unsur alam di kehidupan masyarakatnya. Pada titik ini pengaruh Arab, Jepang, dan Cina terasa kental.
Hal ini berbeda dengan batik pedalaman Cirebon (keraton), misalnya dengan corak Megamendung yang memiliki arti kiasan yaitu awan pembawa hujan merupakan sumber keberkahan dunia. Akhirnya muncul kesadaran bahwa sejak dulu kala, setiap bentuk tradisi dan budaya di Indonesia seperti batik ini sangat sejalan dengan estetika terapan terutama elemen dasar rupa.
“Melalui pembacaan Adikara atas batik pesisir tersebut, ia tidak lantas bermaksud ‘menyamai’ estetika mereka. Justru berbekal keilmuan yang ia miliki, ia menciptakan batiknya sendiri. Karya-karya Adikara layaknya batik pesisir di atas kanvas dan kertas. Kita bisa mencermati beberapa elemen visual khas batik pesisir pada karya Adikara, antara lain titik; bentuk atau corak; warna; dan garis. Setiap elemen ia sematkan dengan titik yang berangkat dari hasil pengamatan dan eksplorasinya,” tulis catatan kuratorial Dhiaz.

Artikulasi Seni dan Akar Rupa
Hampir di semua karya, terlihat elemen titik yang menjadi isian (isen) yang ditampilkan secara berulang namun dengan penempatan yang tidak monoton. Sifatnya tidak lagi untuk memenuhi bidang gambar seperti isen pada batik, melainkan mengisi ruang sekaligus menangkap perhatian audiensnya.
Pada karya berjudul “Rerambatan”, “Sukma”, atau “Taman Perjanjian” isen disebar mengisi ruang-ruang kanvas yang sebenarnya tidak kosong. Prinsip penggambaran isian seperti ini jelas tidak mengikuti pola isian (isen) pada batik pesisir.
Lukisan lainnya seperti “Kembang Pengantin” dan “Mega Nusantara” justru menempatkan isen secara berkelompok dan terpusat. Pada elemen bentuk, karya-karya Adikara mirip dengan pola batik pesisir yang menampilkan corak floral.
Alih-alih menggambar bunga secara realistik, Adikara justru menampilkan citra daun dan tumbuhan sederhana. Corak daun sangat menonjol hampir di semua karya, seperti juga penetapan judul karya yang identik dengan tumbuhan dan aktivitas di alam. Idiom, simbol, dan figur-figur bermakna denotatif dihadirkan pada karya-karya khas Buketan tersebut.
Misalnya pada karya “Setren”, yang memiliki arti ladang yang disiram, menampilkan gambar teko air sebagai alat penampungan air yang mana tanpa dijelaskan pun dari bentuknya sudah kelihatan fungsinya apa. Pada karya “Sambah Jagat”, ditampilkan bentuk-bentuk representasi buah-buah yang kerap menjadi persembahan.
Sementara itu idiom hadir pada karya “Sukma”, melalui gambar kupu-kupu. Pada karya ini Adikara ingin bercerita tentang seorang sahabatnya yang telah tiada, dan simbol kupu-kupu merepresentasikan jiwa yang telah pergi dengan tenang.

Eksplorasi yang “nakal” diperlihatkan Adikara dalam karya “Tapak Padi” dengan banyak cap tangan. Karya ini bisa dikatakan paling dekat dengan prinsip motif Batik Pesisir yang mengandung unsur pengulangan, ada isen dan gambar- gambar yang ramai memenuhi bidang. Mengenai maknanya sendiri, cap tangan Adikara ini tidak ada makna khusus.
Sementara itu pada karya “Love Series” ada nuansa yang sedikit berbeda dengan elemen tipografi pada media campuran. Tulisan-tulisan tersebut juga bermakna denotatif saja, namun Ia bereksplorasi dengan gaya penulisan yang dinamis.
Sebagai informasi, Adikara di Bandung dan menjalani pendidikan seni pertamanya di Institut Teknologi Bandung, dan melanjutkannya di Universiti Teknologi MARA (UiTM) Malaysia dan De Monfort University, Inggris. Selain menjalani profesi sebagai perupa, Adikara juga seorang pengajar di FSRD Universitas Trisakti, Jakarta.
Ia pernah menjadi instruktur pelatihan kriya dan fasilitator bagi para pengrajin di delapan desa sekitar Candi Borobudur pada tahun 2005. Ia melakukan penelitian budaya secara kualitatif di Trowulan untuk mengetahui dimensi dan kedalaman tradisi Majapahit seperti sistem ladang, politik kekuasaan, praktek keagamaan, peran gender, teknologi, dan bentuk kesenian.
Lalu melakukan penelitian budaya di Tenganan Pegringsingan, Bali Timur untuk melihat sistem dan praktik keagamaan dengan ekonomi moderen yang berpengaruh pada manifestasi estetika, serta berkunjung ke berbagai masyarakat tradisi seperti Nias, Suku Naga, Bugis, dan sebagainya.
Menjalani interaksi sosial langsung dan mendengarkan permasalahan mereka membuat Adikara memiliki lebih banyak ruang di dalam dirinya untuk mencermati dan mengkontemplasikan banyak hal. Dengan begitu, melalui pameran ini diharapkan semakin tumbuh keyakinan bahwa kesenian tidak melulu harus berbicara global saja tetapi juga menangkap nilai-nilai kelokalan masyarakat tradisi di Indonesia.
“Akar penciptaan bisa dipilih dari tradisi manapun sebagai keniscayaan saat ini, itu lebih baik daripada tidak jejak pada apapun,” ucap Dhiaz.

Profil
Adikara kelahiran Bandung, menghabiskan masa kecilnya di Garut dan dua tahun di Cimahi kemudian lima tahun berikutnya di Bandung untuk kuliah seni rupa di ITB. Pernah bekerja di advertising dan meninggalkannya untuk menjadi pengajar di FSRD Trisakti. UiTM Malaysia dan De Monfort, UK menjadi sekolah berikutnya.
Tahun 1999-2018 bekerja untuk kebudayaan di Sacred Bridge Foundation (SBF) dalam berbagai program budaya sebagai koordinator, konseptor, peneliti budaya rupa, dan salah satu anggota spesialis bidang pendidikan seni rupa.
Tahun 2006 mendirikan dan mengelola Maros Visual Culture Initiative (MVCI) hingga tahun 2012 khusus tentang budaya rupa dan salah satu fungsinya sebagai ruang untuk generasi muda dalam menggambar dan ilustrasi dan menghelat beberapa kali klinik budaya rupa di Jakarta, Bogor, dan Semarang.
Pada 2016, ia mendirikan Friday Art Design Session (FADeS) di FSRD Trisakti yang terbuka untuk para peminat drawing, ilustrasi, dan melukis. Diskusi, outdoor, berkarya bersama, dan berpameran adalah kegiatannya di FADeS hingga saat ini.
Pengalaman pameran dimulai dari tahun 1988 hingga sekarang secara berkelompok maupun tunggal di Bandung, Semarang, Jakarta, dan Kuala Lumpur. Karya-karyanya dikoleksi di beberapa negara Eropa, Asia, US, selain Indonesia. Dua dari enam pameran tunggal terakhirnya adalah “Garis Garis Saban Hari” bagian dari Parade Pameran Tunggal 51 Perupa Jabodetabek dari Des. Pada 2021-Feb. 2022 di Tangerang Selatan, kemudian tahun 2022 bertema “Jejak” menampilkan drawing satu dekade yang dibuat sejak 1976 (kelas 5 SD) sampai 1986 (menjelang kuliah), di Tambora Ruang Seni, Parungpanjang, Bogor.***