Seniman Tennessee Caroline memamerkan karya-karya terbarunya dalam pameran tunggal “The Untold Story,” di Orbital Dago Bandung, selama 19 Oktober hingga 19 November 2022.
Perempuan yang biasa dipanggil Iten itu dikenal dengan karya lukisnya yang menampilkan karakter anak perempuan. Di tengah leburan warna-warna cerah yang menggembirakan, sosok anak itu menjadi fokus visual; dengan pipi chubby dan mata yang memicing meluncurkan ekspresi marah, jutek, sinis.
Iten menawarkan figur anak perempuan yang menandai suatu persoalan terhadap identitas diri. Iten menggambarkan anak perempuan tersebut dengan berbagai gestur yang begitu ironis.
Sang anak yang sinis seolah menyindir gestur-gestur yang kerap dipertontonkan manusia dewasa: tentang konstruksi sosial dari tampilan prestasi, kecantikan, kecerdasan, yang dibalut dalam personifikasi palsu.
Kurator pameran, Rifky ‘Goro’ Effendy menuturkan, karya-karya Iten mengingatkan kepada karya seniman pop Jepang, Yoshitomo Nara yang dikenal selalu menggambar seorang anak kecil perempuan dengan wajah yang manis.
Tapi terkadang ia juga menggambarkan anak kecil tersebut dengan wajah yang penuh dengan kebencian dan perilaku yang bertolak belakang dengan citra anak-anak: seolah memberontak melawan norma-norma masyarakat umum.

Kemunculan sosok gadis kecil pemberontak tersebut hadir pula dalam pameran tunggal Iten di Semata Gallery Bandung tahun 2018. Tetapi dengan lebih sedikit berbeda, muncul beberapa detail di wajahnya walaupun mata memicing itu menjadi kekhasannya.
Dalam pameran bersama di Orbital Dago, 2020 lalu, lukisan Iten ini juga ikut menghiasi koleksi mainan mobil (diecast).
Karakter yang dimunculkan hadir dalam apropriasi karya lukisan terkenal dalam sejarah seni rupa barat seperti Monalisa yang dipelesetkan menjadi “Mini Lisa” karena diterapkan pada miniatur Mini Cooper, atau karya lainnya mengapropriasi karya Andy Warhol “Mini Monroe.“
Goro mengatakan, kenakalan-kenakalan Iten bukan hanya soal representasi karyanya saja tetapi juga dalam aplikasi kepada bentuk-bentuk objek. Iten kerap membuat lukisan di sepatu, jaket serta mural, baik bersifat bebas maupun tematik.
Dalam karya-karya pameran tunggal keduanya ini, The Untold Story, Iten masih menggambarkan sosok anak perempuan berpipi tembem itu, tetapi dengan lebih memperhatikan rinci dalam penggarapannya.
Seperti menggarap bagian wajah, rambut, pakaian, perhiasan, maupun latar, seperti elemen awan, pintu kayu, flora dan fauna. Bidang kanvasnya terasa penuh dan semakin kaya akan warna.

Tokoh anak perempuan itu semua dengan gestur tertentu tampak ditempatkan di tengah-tengah hewan maupun tanaman laut atau terumbu karang, di tengah kebun bunga, dan lainnya.
Anak itu menjelma menjadi seperti sosok peri, ikan duyung, tokoh kartun atau seperti cerita dalam mitologi dengan berbagai elemen di sekelilingnya, yang imajinatif dengan dipenuhi berbagai hiasan yang didasari dari bentuk motif mandala.
Lukisan Iten menggambarkan bagaimana sosok anak menjadi tanda atau simbol suatu keresahan, kemarahan, kekhawatiran atas kerusakan alam yang disebabkan manusia dan tentu mempengaruhi kehidupan di masa depan, sebagai suatu peringatan marabahaya.
The Untold Story merupakan cerita moral yang belum pernah diungkap sebelumnya tentang hubungan dirinya, alam sekitar dan masa depan.
“Sang anak itu apakah suatu pengungkapan jati diri atau anak-anaknya? Tentunya keduanya bisa saja benar, karena kenyataan masa depan bisa dirasakan bersama saat ini, bukan hanya oleh Iten tetapi juga kita semua. Sudah menjadi umum di seluruh dunia bahwa alam di sekitar kehidupan kita semakin memberikan tanda-tanda bahwa terjadi ketidakharmonisan, ketidakseimbangan. Bencana banjir, rusaknya terumbu karang, perubahan iklim atau munculnya berbagai virus baru dan lainnya merupakan hal-hal yang sering kita alami dan rasakan akhir-akhir ini,” kata Goro.

Kritik-Koreksi
Iten menuturkan, karakter khas yang ia ciptakan merupakan lanjutan dari tugas akhirnya di FSRD ITB. Lewat karakter anak itu, Iten ingin mengingatkan kembali sifat manusia dewasa yang lemah akan wacana hidup.
Manusia-manusia dewasa selalu berusaha keras untuk menutupi kekurangan diri. Akan tetapi saat memaksakan diri tampil sempurna, telunjuknya menjelma menjadi tongkat moral bagi khalayak lain.
“Si karakter anak ini sebenarnya dia menyindir orang dewasa. Orang dewasa sering terlihat polos tetapi di dalamnya enggak. Jadi dipersonifikasi oleh anak-anak. Karya yang sebelumnya di tangan anak ini lagi ngerokok, pakai tato, supaya nyindir bahwa orang itu enggak usah munafik, jadi apa adanya aja,” tutur Iten.
Melengkapi latar karakter di karyanya, Iten mengisinya dengan unsur-unsur alam seperti tumbuhan, bunga, air, serta langit dengan warna-warna beragam. Warna mencolok ini turut berpengaruh sebagai pemikat visual. Kedekatan penikmat seni dengan narasi lukisan Iten ini juga terhubung dengan pemilihan ciri yang beberapa diserap dari animasi populer semacam karakter-karakter Disney.
Dari karya-karyanya, porsi tampilan alam dan lanskap memang mendominasi. Iten memiliki misi khusus soal kepeduliannya terhadap alam. Ia melihat degradasi kualitas lingkungan semakin memburuk dari waktu ke waktu.
“Sekarang bumi kita memang terlihat semakin buruk. Gemes ini harus ada Gerakan apa untuk ngingetin orang-orang. Makanya muncullah tema-tema karya ini. Dari karya yang terjual juga disisihkan buat beli pohon. Jadi ada program penanaman pohon di beberapa titik,” tutur Iten, yang akan membawa tema alam ini di ajang pameran, di Jerman, tahun depan.

Profil Tennessee Caroline
Tennessee Caroline lahir di Bandung tahun 1980. Ia masuk FSRD-ITB pada 1999, dan memilih studio seni lukis. Sempat bekerja di industri tekstil di Bandung selama setahun, dan kemudian kembali ke dunia seni lukis.
Selain melukis sejak tahun 2014, ia banyak mengerjakan lukisan dinding atau mural. Mulai rumah, hotel, toko, hingga kafe. Karya ini tersebar di Bandung, Jakarta, Solo, Bali hingga Sulawesi Utara.
Pameran Tunggal
“A Blessing In Disguise” di Semata Galery Jl. Boscha III No.147 Bandung – 2018
Pameran Bersama
Pameran bersama di Tuban, Jawa Timur – 2004
“No Name” di Galeri Semarang, Semarang – 2004
Pameran bersama di Surabaya – 2005
“Tak Kenal Maka Tak Sayang” di Playhouse, Jl. Gudang Selatan 22 Gudang F, Bandung – 2017
“Beginning” di Kofieloka Jl. Perintis No.19 Bandung – 2019
“Art Invasion” di Radja Hotel Semarang – 2019
“Main Ayo Main” di Orbital Gallery, Bandung – 2020
Pameran daring “CON Summer Edition” @circleofnoneuk – 2022
Mural
Amala Yoga, Mayfair Building Jl. Sukajadi, Bandung – 2014
U Coffee, Jl. Lombok, Bandung – 2016 Mural di DeLuckz Coffee, Solo – 2016
Sandalwood Boutique Hotel, Lembang – 2016 & 2018
Locus Rooms and Café, Batununggal Bandung – 2017 & 2019
Backyard Customs, Bali – 2017
Masakan Rumah Etnik Jl. Dewi Sri, Bali– 2017
Kaos Guerrilla, Sanur Bali – 2017
V8 Coffee Jl. Surya Sumantri, Bandung – 2017
Gage Korean Grill and Café, Holis Regency, Bandung – 2017
Cornerstone, Paskal Hypersquare, Bandung – 2018
Fiore Salon Jl. Batununggal Bandung – 2018
Hotel Radja Semarang – 2018
Tompaso, Sulawesi Utara -2018
Prudential Jl. Gatot Subroto, Bandung -2019
Andrea Marco Suit JL. Batununggal, Bandung – 2019
Wongkie Kopitiam Setrasari Mall, Bandung – 2019 & 2020
Bumi Yoga Jl. Cipedes, Bandung – 2019
Fiori Bed and Breakfast Jl. Setrawangi, Bandung – 2019
Office and Beyond Jl. Cimanuk, Bandung.***