Roni Arief Putro mengadakan pameran tunggal bertajuk “Tarik/Menarik/Tertarik,” di Galeri Thee Huis, Bandung, 18-30 Desember 2022.
Sebagian besar karya-karya yang dipamerkan merupakan rangkaian produksi artistik yang digagas Roni terkait proyeksi situasi dirinya dalam rentang waktu 2017-2022.
Perupa yang berlatar desain produk di Akademi Teknologi kulit Yogyakarta ini mengandalkan sensibilitas dirinya dalam menuangkan nilai-nilai ekspresi melalui beragam medium.
Melalui sejumlah karyanya, Roni berkolaborasi dengan Masaru Kawano, seorang warga Fukuoka, Jepang, yang berlatar desain produk.
Perjumpaan dengan Masaru ini ia maknai lebih dari sekadar peristiwa kebetulan belaka. Lebih jauh, ia melihat bahwa relasi itu membuka pula peluang pemahaman lebih terkait kesamaan budaya dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia-Jepang.
Kurator Pameran “Tarik/Menarik/Tertarik,” Diyanto mengungkapkan, pagebluk Covid-19 dan bencana alam telah menyebabkan kita hidup dalam bayang-bayang kecemasan dan sejauh itu pula hidup kita seakan dipaksa tunduk pada suatu keniscayaan yang tak terbayangkan.
Pagebluk dan bencana telah memaksa kita melakukan refleksi atas segala hal. Dalam kondisi kehidupan yang masih terus dirundung situasi tidak menentu, banyak hal yang kemudian kita koreksi dan hayati, sekaligus mendorong kita untuk menjalani ritme kehidupan dengan cara dan perspektif yang baru.
Realitas semacam ini tak terkecuali dialami dan dijalani pula oleh Roni, priakelahiran Magelang yang sejak setahun lalu migrasi ke Bandung.
“Seluruh pengalaman empiriknya selama tinggal, menyerap pengetahuan dan beraktifitas di Yogyakarta, tidak menutup kemungkinan merupakan modalitas berharga bagi dirinya dalam meresepsi, menyikapi dan menyesuaikan diri dalam dinamika khas Bandung yang di masa lalu kadung dicap sebagai ‘laboratorium Barat’,” tutur Diyanto.

Kolaborasi
Secara umum, kata Diyanto, karya Roni nampak bergerak dalam suatu kecenderungan untuk mengolah aspek spontanitas dalam meraih gambaran ke arah narasi tertentu, di samping memperlihatkan pula pentingnya ihwal “cara” dan “bagaimana” karya itu dibuat.
Sebagian lainnya memperlihatkan jejak nilai ekspresi yang tidak hanya mengacu dan bersumber pada kekuatan subyektifitas dirinya.
Dalam beberapa karya terbarunya, bahkan nampak bagaimana Roni Arief putro berupaya untuk melakukan reduksi atas dominasi peran subyektifitas dirinya dalam mengeksekusi nilai-nilai artistik kekaryaannya.
Perjumpaan Roni dengan Masaru dimaknai lebih dari sekadar peristiwa kebetulan belaka. Lebih jauh, ia melihat bahwa relasi itu membuka pula peluang pemahaman lebih terkait kesamaan budaya dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia-Jepang. Karya-karya kolaboratif yang dilakukannya bersama Masaru Kawano tidak berpijak pada metoda atau konsep yang tumbuh berlandaskan kualitas pertemuan yang intens, melainkan berjalan secara adaptif dalam koridor pertemuan relatif minim.
“Stimulan yang dijadikan sandaran dalam menemukan pertautan persoalan dalam wilayah praktiknya antara lain adalah mengeksplorasi aspek visual tulisan ‘Kanji’ dan konteks geografis terkait gempa. Melalui ‘Kanji’ dan fenomena gempa, jembatan menuju kerja kolaboratif (dialog artistik) dibangun,” kata Diyanto.

Dialog Artistik
Sekat bahasa yang menjadi kendala dalam membangun situasi dialektis secara efektif, mendorong Roni Arief mencari cara menyesuaikan diri dalam menemukan kesetaraan posisi dan pemahaman antara dirinya dengan Masaro.
Dalam konteks serupa itu maka kerja kolaborasi sebagai komunikasi pada praktiknya merupakan upaya saling menghargai dan tendensi pengetahuan akan kebudayaan yang lain.
Diyanto menuturkan, Roni agaknya menyadari bahwa kerja kolaborasi lintas budaya hanya mungkin terwujud apabila pengertian dan toleransi tumbuh alamiah mengatasi bentuk-bentuk resepsi yang mengarah pada eksploitasi artistik satu pihak.
Para seniman yang terlibat dalam kerja kolaboratif tentu harus mempelajari terlebih dahulu tradisi masing-masing agar dapat mencapai pemahaman terhadap makna bentuk yang mungkin terlahir dari proses kreatif kolaborasi yang ditempuhnya.
“Dalam konteks paradigma seni rupa kontemporer, problematikanya tidak terletak hanya dalam perkara memilih antara keutamaan ‘craftmanshift’ dan ‘process’, melainkan bagaimana memadukan keduanya. Integrasi artistik yang bersumber dari keduanya di dalam kolaborasi sangat penting, terutama dalam kaitan mentransendenkan elemen-elemen subyektif,” katanya.

Bentuk estetik yang berkembang pada setiap periode niscaya memiliki tatanan dan aturan yang berbeda. Ekspresi individual dapat sangat menonjol, misalnya pada perkembangan seni modern yang meyakini nilai universalisme yang meniscayakan bahwa praktiknya berlaku sama di berbagai belahan dunia.
“Tapi kini, ketika subyek (seniman) atau kebebasan individual tidak semata dipandang selaku kekuatan absolut, selayaknya sebuah kerja kolaborasi harus dimulai dari sebuah benih gagasan, meskipun pencarian inspirasi dengan cara mengalami, dunia kehidupan lahir dan batin, gagasan, perasaan, dan pengalaman secara mendalam tetap berharga,” tuturnya.
Makna penting dari sebuah kolaborasi, selain mewujudkan hasil penjelajahan proses kreatif ke dalam momen realisasi, memproyeksikan upaya penemuan bentuk-bentuk (kode) yang komunikatif.
Asumsi sekaligus jebakan yang kerap tumbuh dalam proses kreatif antara lain adalah hasrat menggebu untuk membuat segala-galanya baru. Hasrat atau semangat “avant-gardisme” semacam itu sangatlah tidak realistik dalam proses kreatif berkolaborasi.
“Seniman tak akan dapat bergerak ke tempat lain jika tidak memiliki dasar pijakan yang jelas. Sekali lagi, proses penemuan gagasan dan kemampuan menciptakan merupakan suatu jalinan integral yang memungkinkan lahirnya karya bermakna yang menggugah kesadaran khalayak,” kata Diyanto.***