Pameran Swift Shift: Ruang Negosiasi Perubahan dari 16 Seniman

Sebanyak 16 perupa dari berbagai latar belakang mengadakan pameran “Swift Shift,” di Fragment Project, Dago, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023.

Seniman yang terlibat yakni Aditya Dwi Putra, Agung Eko Sutrisno, Arya Sudrajat, Aurora Arazzi, Azizi Al Majid, lalu ada David Bakti, Dea Azalia, Dzikra Afifah N., Fefia Suh, Iftikhar A. Rajwie, kemudian Kevin Adittya, Jeffi Manzani x Blanco, Muhammad Sabiq, Rega Ayundya Putri, dan Salsabila Yasmin, serta kolektif dari Sedekah Benih.

Mereka merespons beragam isu dari yang usang namun berulang, hingga masalah baru yang memungkinkan untuk dibenahi. Ada juga yang telah melahirkan solusi, meski masih membutuhkan dukungan lebih luas.

Pameran ini dihelat sebagai ruang diskusi dan menegosiasikan perubahan. Para seniman memahami bahwa gagasan perubahan tak selayaknya dikendalikan oleh para pemilik suara yang lebih kuat dan dominan.

Pajangan karya di pameran “Swift Shift” memantik ruang argumen yang dibuka lapang untuk menyerap berbagai pertanyaan, keraguan, kritik, yang boleh jadi bakal memandu para seniman mengalirkan riak-riak perubahan. Terwujud atau tidaknya perubahan ini akan ditentukan bersama kemudian.

Aditya Dwi Putra

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Seniman visual dari Bandung ini memanfaatkan pendekatan multi-indera, dengan menggabungkan serangkaian karya fotografi dengan mixtape audio yang dikurasi secara khusus.

Ia memproduksi dua karyanya bagi pameran ini; “Depth of Blue” yang merupakan audio visual artbook berisi 64 halaman dan 38 karya foto, serta “Noir Narration” yang berisi 92 halaman.

Di setiap halaman buku yang menyisipkan kode pindai sesuai konsep visual mixtape yang mewakili tema tertentu, yang diidentifikasi dengan nama terkait warna. Audiens diajak menyelami rangkaian fotografi sembari mendengarkan playlist hasil pemindaian menuju platform musik digital.

Karya ini menjadi perjalanan untuk menyelami kompleksitas emosi manusia, dan menangkap emosi yang telah lama memuncak. Aditya mencoba mengeksplorasi berbagai emosi, menangkap esensinya, sambil menyoroti realitas yang seringkali tidak teriring nyata.

Arya Sudrajat

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Dalam karya berjudul “Taplak Series,” Arya menggiring ekspresi kehidupan sehari-hari, perilaku manusia, dan sifat kompleks masyarakat yang tumbuh subur selama puluhan tahun, di Kampung Lukis Jelekong. Di tempat kelahirannya di Jelekong, Kabupaten Bandung, Arya memasukkan benda-benda dari lingkungannya ke dalam kreasi artistik, termasuk plastik yang menjadi fokus Arya.

Benda-benda ini merupakan artefak yang bermakna, hasil tangkapan pengalaman dan perilaku beragam yang dibentuk oleh praktik melukis berkelanjutan yang dikenal sebagai ‘Rutuntuk. Arya mengikat relasi dinamis antara konteks lokal dan pengaruh eksternal.

Aurora Arazzi

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Dalam karya “Two Tiles to Key,” Aurora membawa bagian kecil dari karya yang lebih besar yang saat ini dipamerkan di ARTJOG 2023, Yogyakarta. Dari 420 ubin kertas dari karya aslinya, ia membawa dua ubin sebagai representasi.

Ubin ini mirip dengan yang biasa ditemukan di lingkungan sehari-hari, seperti rumah, dapur, atau ruang publik. Karya ini terbuat dari kertas berukuran 10x 10 sentimeter dengan ketebalan 5 milimeter. Dari dua petak ubin, hanya satu yang menampilkan obyek. Benda itu sebentuk kunci, meski sebenarnya adalah replika kertas. Dengan memanfaatkan warna putih dan sifat material kertas, karakteristik asli obyek dikaburkan, menciptakan ilusi yang mengganggu persepsi manusia.

Baca Juga :   Catatan Sunaryo pada 'Sumarah,' Pameran Seni Kaligrafi China Tjutju Widjaya

Lewat karya ini, Aurora hendak menjembatani kesenjangan antara obyek sehari-hari dengan praduga: Prasangka ditantang untuk merespons obyek yang ditemui.

Azizi Al Majid

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Melalui karya “Extracurricular Art World,” Azizi memantik audiens untuk terlibat menantang norma-norma yang berlaku di kancah seni kontemporer. Beragam obyek dan teks yang kerap berseliweran di linimasa media sosial bertebaran di karya ini. Azizi memang telah lama meriset perkembangan karya seni digital. Dengan apik ia memadukan berbagai referensi sejarah, budaya visual, dan tak lupa humor yang terinspirasi dari meme di karya ini. Bagi Azizi, karya seni tidak hanya mencakup sifat ekspresi artistik yang beragam, tetapi juga memantik pertanyaan kritis mengenai orisinalitas, nilai artistik, dan pengaruh kultur digital.

JEFFI x BLANCO

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Dalam proyek DW1PANTARA, Jeffi Manzani menelisik gim dan ekosistem digital sebagai sebuah bentuk seni. Fokusnya ialah bagaimana kedua sektor itu membentuk sebuah perilaku.

Mengembangkan praktik interdisipliner, Jeffi Manzani berupaya mencari tahu bentuk perilaku dan kekuatan digital di dalam tubuh. Dengan menelusuri relasi antara gim dan fungsi tubuh, Jeffi mengeksplorasi sifat pikiran yang beragam dan dapat ditembus.

Dari observasi itu, ia mendapati serangkaian temuan terkait etika kerja dan metode komunikasi yang berhubungan dengan norma-norma tradisional.

David Bakti

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Praktik artistik David berkisar pada minatnya pada objek, karya sastra, filsafat, dan bahasa. Melalui komposisi visual yang terdiri dari obyek dan teks, David membuat buku harian visual yang mencerminkan pengalaman pribadinya. Karya-karyanya menjalin catatan, gambar, pertanyaan, pernyataan, pola, dan komposisi, menggunakan proses campuran visual, objek, dan kata-kata.

David menyajikan dua seri karya yakni seri tisu dan kertas. Dalam “Seri Kantong Kertas: Puisi Ulang Tahun,” David membuat puisi reflektif di atas kantong kertas restoran cepa saji McDonald’s. Ia mengeksplorasi hubungan antara kehidupan pribadi dengan konsumerisme. Ia juga menafsirkan kembali puisi Sapardi Djoko Damono “Aku Ingin” menggunakan lintingan rokok, dalam beberapa batang.

Dalam “Seri Tisu: Jika,” ia menulis pertanyaan-pertanyaan yang memancing pemikiran di atas kertas tisu, menggunakan sifat materialnya untuk mengekspresikan keterlibatannya secara visual dengan pertanyaan-pertanyaan spontan.

Dea Azalia

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Dea menyajikan karya “DO(ugh)” sebagai instalasi seni interaktif yang menggabungkan musik, makanan, dan teknologi untuk mengeksplorasi kompleksitas konsumerisme dan pengaruhnya terhadap identitas budaya kita.

Instalasi ini menampilkan adonan makanan yang dipanaskan di atas kompor sebentuk turntable DJ set. Dengan sensor suara, alat ini menghasilkan nada unik saat berputar layaknya piringan hitam. Instalasi mekanikal ini juga terhubung ke layar proyektor. Audiens diajak menciptakan pola nada unik sesuai “olahan” adonan masing-masing, serta ikut mendorong diskusi tentang pola konsumsi, nilai sosial, persepsi sensorik, dan merenungkan perilaku sekaligus mempertimbangkan sudut pandang lain.

Baca Juga :   Sudut-Sudut Yang Berbeda: Memahami Audiens Melalui Mediasi Seni

Dzkira Afifah

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Karya patung “Leather Weather” yang terbaring di lantai pameran ini dieksekusi Dzikra Afifah. Patung dengan struktur yang terlihat kokoh ini menampakkan lubang menganga di beberapa bagian.

Memanfaatkan patung keramik, ia menggambarkan tubuh manusia yang cacat dengan kulit yang direnggut, mewakili respons terhadap krisis serta kebutuhan untuk bertahan dan berbenah.

Karya Dzikra mencerminkan pandangan kritis terhadap keberadaan manusia dalam menghadapi keadaan yang cepat dan mengkhawatirkan. Menyinggung soal perlawanan, ia mengajak untuk merenungkan kemampuan adaptasi kita dalam menavigasi dan mengolah informasi di dunia yang begitu mudah cepat berubah.

Eko Sutrisno

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Praktik artistik Agung Eko Sutrisno Eko Sutrisno penuh oleh hasrat sejarah, nilai-nilai kearsipan, dan pelestarian memori kolektif. Perupa yang dikenal dengan karyanya di performance art yang berbasis di Bandung ini menciptakan dua karya untuk pameran ini: “A Tiger Who Stares at the Sunset” dan “The Brief History of Cicadas.”

“A Tiger Who Stares at the Sunset” mempertunjukkan dampak perubahan pada karst Citatah dan masyarakat sekitarnya. Menampilkan pemeran berkostum berwarna cerah, karya ini menyuarakan seni tradisional yang hilang sekaligus mengingatkan kembali efek merusak dari pertambangan yang telah berlangsung lama mendera kehidupan masyarakat sekitar Citatah.

Sedangkan “The Brief History of Cicadas,” terpengaruh dari bermunculannya program penggusuran kampung di Bandung hasil proyek Kota Tanpa Kumuh pemerintah. Karya ini menyoroti signifikansi sejarah Kampung Cicadas sebagai benteng perlawanan selama masa kolonial.

Fefia Suh

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Fefia Suh menghadirkan karya seni yang terdiri dari delapan patung yang disusun dalam formasi melingkar. Masing-masing membawa tujuh cangkang kerang yang terinspirasi dari permainan tradisional Congklak atau Mancala.

Karya ini melambangkan siklus kehidupan; menawarkan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk memulai dan membentuk perjalanan mereka sendiri. Patung-patung tersebut mewakili perjalanan waktu, meliputi masa lalu, sekarang, dan masa depan. Sedangkan Pembagian cangkang dalam permainan ini mencerminkan pasang surut kehidupan.

Iftikhar A Rajwie

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Lewat keahliannya sebagai seniman keramik, dalam karya ini Iftikhar memadukan teknik dan eksplorasi budaya dalam karyanya. Keberadaan keramik tradisional dan pengrajinnya semakin berkurang, yang turut mengikis signifikansi sejarahnya. Jumlah pengrajin yang berkurang semakin diperburuk dengan minimnya catatan tertulis. Di tengah bangunan karyanya, Iftikhar menyisipkan sejumlah wajah yang mewakili para pengrajin tradisional.

Kevin Aditya

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Melalui penggunaan modifikasi objek sehari-hari, karya Kevin merepresentasikan alat-alat penguasa dalam melakukan represi dalam lingkup hak asasi manusia, sosial, dan politik. Sifat solid tongkat baton yang biasa dipakai aparat untuk memukul mundur sipil dibalut dengan beragam isu yang ingin ia diskusikan.

Baca Juga :   Ourchetype 3.0: Wahana Interaktif Pengidentifikasi Pola Asal Diri

Ia mempertanyakan sistem opresif yang mengatur hidup kita. Negara telah terlalu jauh mengendalikan publik hingga ke ruang pribadi, dan mengatasnamakan norma, moral, dan etika.

Dengan dalih keamanan, negara mengklaim otoritas untuk menginvasi dan mengontrol pikiran, kamar tidur, dan bahkan pilihan kuliner kita. Kevin begitu cerdik membungkus narasinya lewat baton berbalut sarung bantal kapuk klasik, sikat toilet, hingga siluet logo ayam khas mangkuk mie yang saat ini sudah terproteksi HAKI.

Rega Ayundya

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Karya “Am I Missing” yang ditampilkan Rega mencerminkan konflik internal antara diri dan dunia fisik. “Am I Missing” bertujuan untuk menggambarkan identitas Rega secara visual melalui potret diri. 

Proses artistik yang ia jalani menuntut kombinasi keintiman, spontanitas kesabaran, dan kenaifan, sekaligus memberikan bentuk meditasi untuk pikiran yang bergejolak. Karya ini juga ampuh sebagai obat bagi Rega: menjadi penawar yang menenangkan bagi dunia kontemporer yang berubah dengan cepat.

Muhammad Sabiq

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Karya Muhammad Sabiq memaksimalkan penggunaan kode dan mesin cetak grafis plotter untuk membuat gambar lanskap dengan garis bertumpuk. Dengan praktik langsung di ruang pameran, mesin ini mencetak ilusi rumah dengan memanfaatkan kode.

Melalui karya ini, Sabiq mengajak mereka-mereka yang belum merengkuh kemapanan, merangkul ketidaksempurnaan dan menawarkan perspektif alternatif tentang pencapaian.

Salsabila Yasmina

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Dari hasil kurasi gambar dari majalah arsitektur, Salsabila membuat kolase yang membangkitkan kenangan masa kecilnya dan pemahaman tentang rumah yang selalu berubah. Salsabila mengungkap soal konsep “rumah” dan sifatnya yang sementara.

Dalam karya seri berjudul “Project Relief,” ia menukil anggapan tradisional tentang rumah sebagai tempat yang aman, dengan membuat komposisi fiksi 3D yang menggabungkan berbagai elemen dan tekstur. Serial karya dari Salsabila memengaruhi audiens untuk mempertanyakan kembali tingkat kepuasan yang kerap diasosiasikan dengan rumah konvensional, sembari merefleksikan kesesuaian diri dalam ruang hidup.

Sedekah Benih

Pameran Swift Shift yang diikuti 16 perupa, di Fragment Project, Bandung, 27 Juni hingga 15 Juli 2023. Foto: Rakarsa Foundation.

Sedekah Benih merupakan sebuah kolektif yang menyatukan ilmuwan, seniman, akademisi, dan warga untuk mengatasi masalah mendesak melalui pengetahuan ekologi tradisional, seni, musik, dan sains. Dengan memadukan nilai-nilai tradisional dengan pemahaman modern, mereka menciptakan ruang yang aman untuk dialog dan kolaborasi, mengatasi tantangan seperti ketahanan pangan, pemanasan global. sampah plastik, kesenjangan gender, dan kesenjangan pengetahuan.

Sedekah Benih telah menyelenggarakan lokakarya, acara publik, dan proyek Sister Garden, untuk mempromosikan pertukaran pengetahuan, kepedulian, dan gerakan berkelanjutan. Selain menayangkan beberapa cuplikan kegiatan mereka, Sedekah Benih juga menderetkan sejumlah karya mini yang bisa dibeli di pameran ini.***

Posts created 399

Related Posts

One thought on “Pameran Swift Shift: Ruang Negosiasi Perubahan dari 16 Seniman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top