Pameran Scopophilia: Jelajah Tubuh Tiga Mahasiswa Film TV UPI

SCOPOPHILIA adalah sebuah pameran karya seni film yang dikerjakan Nanda Maulana, Shelvira Alyya, Arsya Ardiansyah, untuk kebutuhan tugas akhir studi Program Studi Film dan Televisi, Fakultas Pendidikan Seni dan Desain, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Pameran ini merupakan tahapan aktualisasi bagi ketiga seniman muda Film dan TV UPI angkatan 2019 itu, yang menjelajahi relevansi tubuh dengan medium karya seni gambar bergerak.

Mereka didukung oleh Goethe-Institut Bandung dan Bosscha Space untuk menampilkan karyanya selama 1 hingga 8 Juli 2023. Pameran arsip proses karya dan penayangan film sekaligus diskusi pada 4 dan 6 Juli 2023 dihadirkan di Goethe-Institut Bandung. Sedangkan presentasi karya dalam berbagai instalasi, diskusi, dan sidang tugas akhir dihelat di Bosscha Space Bandung.

Pameran ini menampilkan hasil dari proses kreatif yang melibatkan praktik penelitian, eksplorasi teknik spesifik, serta refleksi pribadi yang mendalam. Setiap proyek yang dipamerkan di sini mewakili visi dan perspektif unik dari masing-masing seniman.

Melalui medium seni gambar bergerak, para seniman mengungkapkan pemahaman tentang realitas, pandangan dunia, serta refleksi diri yang mendalam. Dalam karya-karya yang ditampilkan, para seniman menemukan cerminan perjalanan mereka sebagai seniman serta perkembangan yang dialami selama studi di bidang ini.

Ketiga seniman boleh jadi merupakan bakal seniman dan film-maker potensial di masa mendatang. Sebelum menuntaskan tanggung jawabnya untuk meraih gelar akademik, mereka rajin mengikuti sejumlah residensi dan pameran, serta aktif di berbagai pergerakan seni.

Arsya Ardiansyah adalah seniman yang tinggal di Bandung, dan telah terbiasa bekerja dengan konsep gambar bergerak dan menjelajahi media digital. Ia sempat menjalani residensi di Austria. Rencana residensi di beberapa negara dalam waktu dekat juga sudah terbuka.

Baca Juga :   'Dreams Come True', Pameran Bersama Penghimpun Rindu

Sementara Nanda Maulana merupakan sutradara dan penulis naskah film pendek serta seniman gambar bergerak yang cukup lama mengelaborasi idiom metafiksi melalui media film fiksi eksperimental, dan praktik yang memberikan beragam kemungkinan menonton.

Adapun Shelvira Alyya menjadi harapan Kota Bandung untuk memiliki film-maker perempuan yang menjanjikan. Dalam karya-karyanya, ia cukup mahfum mengeksplorasi topik-topik seputar dirinya sebagai perempuan yang tumbuh di lingkungan dengan mayoritas perempuan dan tutur tradisi Sunda.

Banyak praktik kekaryaannya yang melibatkan tubuh sebagai peran dan fungsi untuk menyampaikan makna, rasa, dan estetika melalui medium film, tari, dan akting, yang dipresentasikan dalam bentuk instalasi dan screening. Karyanya telah diapresiasi secara nasional maupun internasional.

Scopophilia

Pada pameran Scopophilia, para seniman ini menjalankan proses kreatif yang intens dan melibatkan eksperimen teknis, pemahaman mendalam tentang narasi visual, dan penerapan berbagai teknik sinematik yang beragam.

Selama proses penciptaan karya seni, para seniman juga terlibat dalam praktik penelitian, mendalami topik-topik tertentu, melakukan kajian literatur, mewawancarai pakar, dan menganalisis berbagai sumber untuk mendapatkan wawasan yang lebih dalam.

Masing-masing dari mereka membawa perspektif unik dan cerita pribadi yang menggugah emosi. Karya-karya yang ditampilkan tidak hanya mempertanyakan isu-isu penting dalam masyarakat, tetapi juga memperluas wawasan kita tentang dunia di sekitar kita.

Nanda

Melalui karya “Sutra-Bapak dan Ibu-Ibu Palsu,” Nanda Maulana menampilkan filmnya dalam lima babak.

Nanda juga menyisipkan sampel cuplikan dari film-film klasik seperti “Tiga Dara.” Film dibuka dalam suasana salon dengan kapster yang diperankan seorang pria. Pria itu meladeni seorang pelanggan perempuan sembari menyiarkan langsung pekerjaannya lewat tayangan media sosial.

Nanda mengekspose beragam kemungkinan-kemungkinan di saat posisi lelaki dan perempuan berbalik “melawan norma.” Diperlihatkan bagaimana saat Sang Pria bersanding di meja akad nikah, untuk mendengarkan Sang Wanita membacakan ijab kabul di hadapan penghulu.

Baca Juga :   Lansir Album Ataraxia, DERAI Lanjutkan Eksperimen Unik

Dalam babak lainnya, pria itu juga asyik bercengkrama bersama teman pria lainnya sambil mengolah bahan masakan di sebuah teras.

Lewat film fiksi eksperimental ini, Nanda merangkai tubuh pemuda bapak rumah tangga sebagai eksplorasi intrik feminis laki-laki. Dalam karyanya, Nanda membayangkan masa depan sinema maskulin Indonesia melalui idiom metafiksi dan sinema semu.

Melalui pendekatan ini, ia menggali kompleksitas peran gender dan mengajak penonton untuk mempertanyakan norma-norma yang ada di masyarakat.

Shelvyra

Film eksperimental “Si Merah” yang juga diperankan oleh Shelvyra, membayangkan jika suatu saat perempuan diberikan kuasa besar untuk menjadi Ibu. Menjadi ketakutan perempuan lainnya karena sosok inilah yang memiliki kuasa tertinggi dalam lingkup tradisi dan agama.

“Si Merah” mendefinisikan ulang bagaimana kadar penghormatan dan pandangan terhadap peran nenek, ibu, tetangga, yang akhirnya bergeser pada konflik yang melibatkan mereka di lingkungan tradisi dan keluarga. Film ini mengungkap sejumlah trauma wanita-wanita muda membayangkan dirinya menjadi sosok perempuan di masa depan.

Dalam perjalanan karyanya dalam memaknai kembali perempuan di dalam dirinya, karya ini seakan menjadi rangkuman bagaimana proses pencarian Shelvyra menghasilkan sebuah pandangan akan kemungkinan baru untuk melihat perempuan: Mendefinisikan ketakutan seorang perempuan terhadap sosok Ibu di masa depan. Mengartikulasikan kuasa perempuan dengan ikatan tubuh dan warna merah dalam medium film eksperimental, menjadi ruang eksplorasi bagaimana perempuan melihat dirinya sendiri, bersama 30 perempuan lainnya.

Arsya

Dalam karyanya, “Lamentation,” Arysa “menampakkan” diri dalam format organisme mikroskopik yang bersumber dari cairan ludah, lendir, dan urin dirinya. Arsya memperlihatkan personanya melalui pergerakan obyek mikro yang terus bergerak, hidup, dan terkadang saling mengikat, dengan panduan narasi yang mempertanyakan makna hidup di tengah luasnya kosmos.

Baca Juga :   Gaungkan Isu Kesehatan Mental, Summerhaze Rilis Anxiety Disorder

Di dalam tubuhnya, “Arsya” begitu aktif. Sel-sel menunjukkan sifatnya saat bersinggungan satu sama lain; menimbulkan riuh visual yang ramai. Sejumlah sel bertaburan layaknya abu yang jatuh dari langit, beberapa mengalir deras, atau membulat seperti donat.

Didukung latar musik dengan genre elektronik-ambiens, kemeriahan di dalam tubuh Arsya begitu berwarna dengan tambahan senyawa metil merah, biru, dan kuning untuk membedakan struktur dan jaringan sel di dalam sampel yang ia perbesar dengan kameranya.

Arsya bereksperimen dengan cairan dan keragaman bentuk, warna, dan gerak, yang disajikan dalam karya dan merepresentasikan temuan melalui rekaman langsung dan kreasi ulang digital.

Melalui karya ini, penggunaan medium air ludah, lender, dan urin digunakan sebagai obyek artistik, menghadirkan sebuah representasi simbolis dari kesadaran manusia.

Karya ini menjadi jendela yang mengungkapkan hasrat tersembunyi dan ketegangan yang terkait dengan tubuh dan kesadaran ketubuhan.

Dalam konteks ini, Arsya ingin memperlihatkan konfrontasi yang menghadirkan realitas melalui sudut pandang yang jarang digunakan sebelumnya, serta mendorong penonton untuk merefleksikan peran tubuh dalam kompleksitas identitas dan kesadaran manusia.

Dalam ruang kontemplatif ini, karya ini memberikan kesempatan bagi penonton untuk menjelajahi alam bawah sadar mereka, memperdalam pemahaman diri, dan mencapai integrasi yang lebih utuh antara tubuh dan kesadaran mereka: dengan melampaui batasan-batasan konvensional dan mengeksplotasi kompleksitas pikiran bawah sadar serta hubungan manusia dengan tubuh.***

Posts created 395

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top