Pameran bertajuk “Pulang Pada Tanah” dihelat di Selasar Sunaryo Art Space, 25 November hingga 23 Desember 2022. Pameran ini menampilkan delapan perupa yang terlibat intensif di Leuwigoéng: Adjo Akasia, Agni Yoga Airlangga, Arya Zen Ecologica, Bambang Trisuni, Mumu Zainal Mutaqin, Nur Arini, Prilla Tania, Terranova Waksman.
Sekumpulan seniman ini rutin berkegiatan di rumah dan kebun yang dinamai Rumah Ramah Leuwigoéng.
Leuwigoéng dalam bahasa Indonesia memiliki arti pusaran air di sungai. Nama tua sebuah kampung di suatu sisi lembah dengan sawah, kolam, dan kebun yang berlokasi resmi di Gang Cikalapa ll, RT 09 RW 03, Kampung Tanggulan, Dago Pojok, Kecamatan Coblong, Kota Bandung.

Rumah dan kebun ini milik Adjo Akasia dan Prilla Tania. Mereka menjalankan pola berkebun dan bertani dengan hasil bumi yang beragam mulai padi hingga buah-buahan.
Mereka tak kuatir mencoba varietas tanaman baru. Hasil panen ini jadi bahan kebutuhan rumah tangga, atau dibagikan kepada tetangga.
Berlokasi di tengah padatnya Kota Bandung, Adjo, Prilla, dan teman-temannya, termasuk perupa yang ikut pameran ini, rutin berkumpul di Rumah Ramah Leuwigoéng. Banyak eksperimen makanan dan menu organik yang tercipta dari kebun ini.

Di Selasar Sunaryo, suasana Leuwigoéng direkonstruksi melalui sejumlah karya para perupa dalam Pameran Pulang Pada Tanah. Adjo membangun karya instalasi berupa tiang kayu dan sebentuk meja yang ramai perkakas, sebagai gambaran saung tempat mereka menanggalkan letih selepas bertani di Leuwigoéng.
Tiang bambu yang menembus dinding panel ruang pamer beserta beberapa ikat padi dan jagung yang tergantung juga duplikasi dari suasana di tempat mereka.

Di luar warna hehijauan organik, dinding pameran juga diisi ragam kelir. Warna-warna cerah tampil meriah lewat karya ilustrasi dan mural yang menderetkan puluhan menu masakan hasil olahan kebun di Leuwigoéng.

Semakin ke belakang, ruang pamer semakin seru. Selain karya audio-visual, pengunjung juga bisa menuangkan ide lewat tulisan atau gambar secara bebas di dinding gelap. Kapur tulis disediakan di situ.

Tani dan Kaum Kota
Sederhananya, pameran ini mengangkat kembali ketergantungan manusia yang tak bisa lepas: makan hasil bumi. Satu ketergantungan yang tidak berubah, seperti apapun perubahan gaya hidup manusia.
Pada pameran ini tampil delapan orang yang terlibat intensif di Leuwigoèng. Masing-masing datang dengan latar dan motif beragam, namun diikat oleh hal yang sama: tanah.
Delapan orang ini bersepakat mengemas pengalamannya melalui kerja artistik. Tentang Leuwigoéng yang menjadi latar pemikiran pameran ini, realitanya Prilla Tania dan Adjo Akasia menempati lokasi ini sebagai rumah sejak 2016.
Seiring berjalannya waktu dan bertumbuhnya minat mereka untuk mengelola rumahnya untuk menjadi lebih hidup, beberapa teman mulai rutin berkunjung. Kegiatan di sana sesederhana berinteraksi dan bertukar pikiran.

Sebagian berminat ikut beraktivitas di sawah dan kebun. Anak-anak bermain di alam terbuka. Ada yang datang untuk menyepi dan bekerja. Ada yang sekadar ingin menghirup udara segar.
Saat berkumpul hampir selalu diiringi makan bersama, meskipun hanya dengan nasi dan sambal. Makan bersama disebut slametan atau syukuran.
Keduanya kemudian membuka “Rumah Ramah” tiap akhir pekan. Di sanalah, orang-orang bisa datang berkunjung, bertemu muka, beramah-tamah, dan menikmati sajian hasil bumi dari tanah itu.
Dalam catatan kuratorialnya, Heru Hikayat menuliskan bahwa pameran ini menampilkan perilaku di Leuwigoéng yang sekarang bukan hanya nama sebuah tempat, tetapi menjadi keluarga sepemikiran.
“Rumah Ramah Leuwigoéng menjadi pusaran pemikiran dan aktiitas seputar hubungan manusia dengan alam sekitarnya (serta turunannya). Barangkali ini cara untuk menyadari perjalanan pulang itu sendiri,” ujar Heru.

Saat pandemi melanda pada 2020, Rumah Ramah tutup. Pila dan Adjo menjadi petani penuh waktu. Hari-hari dilalui dengan mengolah tanah. Pembatasan kegiatan sosial memaksa semua orang untuk berdiam di rumah. Bagi orang kota, hal ini berarti membuat gaya hidupnya makin menjauh dari sumber pangan.
“Dalam masa pembatasan sosial, makanan datang berbungkus-bungkus dihantar ke muka rumah. Sumbernya dari mana? Entah,” kata Heru.
Saat mengunjungi pameran ini, kita bisa melihat bagaimana ketergantungan manusia pada hasil bumi yang tak bisa dilepaskan. Pola konsumsi hasil bumi yang tampak sederhana, menjadi lebih kompleks setelah kita melihat peta pemikiran yang dirangkai benang merah membentang.
Kerumitan ini seolah menyiratkan pertanian atau kegiatan bertani yang kerap dianggap sepele, justru merupakan hal rumit yang perlu kita beri perhatian. Pila dan Adjo, melalui pengalaman mereka bertani di masa krisis pandemik, menyarikan satu hal: melakoni pertanian adalah menggali kembali pengetahuan (dan keterampilan) yang (sedang) menghilang karena disepelekan.
“Kehidupan kota yang serba berbatas dan merenggangkan hubungan manusia dengan sumber pangan. Orang kota lupa pada tanah, pada Siapa yang Menghidupi. Di Leuwigoéng kita bisa kembali menyentuh tanah,” tutur Heru.***