Serangkaian pengalaman yang memantik cara pandang memahami kematian tertuang dalam karya-karya Trie Aryadi dan Luky Supriadi, dan dihadirkan dalam pameran “Preliminaries”, di Orbital Dago, Bandung, 21 Maret-30 April 2023.
Karya-karya yang dipamerkan terinspirasi dari sudut pandang Trie atau yang biasa dikenal dengan Aryo, yang mencoba memahami kematian yang sama sekali belum pernah ia alami, dan pengalaman Luky yang pernah melalui near-death experience.

Dalam catatan pameran ini, Mujahidin Nurrahman melihat kedua seniman yang kebetulan studi di FSRD ITB dan juga mempelajari seni grafis, yang menggagas karya dari pengalaman masing-masing.
Aryo menakar perihal kematian dengan pendekatan spiritual Islami, dan mencoba “mempersiapkan” kematian dengan memandangnya sebagai proses kelanjutan dari kehidupan.

Aryo membayangkan kematian adalah jalan kembali. Manusia kembali akan kembali ke tanah untuk menyambung di kehidupan lain. Mujahidin mengamati visualisasi karya Aryo yang cukup beragam seolah dalam masa pencarian jawaban berkenaan dengan kematian.
Ia menampilkan sosok potret diri atau bahkan siluet manusia bertudung dari film The Seventh Seal (1957) yang ia hilangkan wajahnya.

Aryo juga menonjolkan sosok kepala binatang peliharaan yang timbul dari timbunan tanah, dengan diiringi tanaman yang tumbuh di sekelilingnya. Karya ini menjadi analogi dari pertanggungjawaban manusia atas apa yang diamalkan selama hidupnya.

Selain mempersiapkan kematiannya, Aryo pun sejatinya masih bergelut dengan rasa ketakutan akan kehilangan orang sekitar, dan trauma kehilangan orang terdekat.
Terlahir dan tumbuh kembang di keluarga besar yang menghuni satu atap, Aryo terlalu sering menjadi saksi detik-detik berpulangnya anggota keluarga tercinta termasuk kakek buyutnya. Pengalaman Aryo ini, kata Mujahidin, sesungguhnya hal yang juga sering merepotkan manusia menghadapi ihwal kematian.

Menyambut Ikhlas
Dari sisi Luky, masa-masa hidup seusai dihadapkan pada near-death experience sangat mempengaruhi cara pandangnya terhadap kematian. Di tahun 2021, Luky sempat mengalami serangan jantung yang menyebabkan dia sempat kehilangan detak jantungnya beberapa saat.

Ia menggambarkan apa yang dirasakan saat itu adalah sebuah rasa lega, plong atau ringan, sebuah pengalaman yang akan sulit dipahami sebagai orang yang tidak pernah mengalaminya.

Mujahidin yakin, kata-kata lega, plong, dan ringan saja tidak bisa mewakili apa yang Luky rasakan saat itu. Pada karya di pameran ini sosok diri Luky tampak terpisah antara satu dengan lainnya, di antara latar gelap tanpa batas ruang yang jelas.

Fragmen-fragmen ini menjadi sebuah perhatian bagi Luky untuk memahami peran dirinya di dalam masyarakat. Hadir pula buku yang ia coba gambarkan sebagai harapan dan warisan yang bisa ia tinggalkan setelah kematiannya.

Meski begitu, pengalaman “sejengkal di gerbang ajal” tak membuat Luky merasa takut lagi dengan kematian. Ia menjadi lebih ikhlas menjalani kehidupan dengan segala lika likunya dengan cara memberikan yang terbaik kepada keluarga dan lingkungannya dengan apa yang ia miliki saat ini.

Pameran yang dikelola bersama Art Sociates dan seniman Mujahidin Nurrahman di Orbital Dago ini bisa dikunjungi hingga 30 April 2023. Foto-foto karya pameran Preliminaries bisa disimak di Galeri Foto Mikrofon.id melalui link berikut: Pameran Preliminaries.***