Dunia seni adalah dunia yang tidak mudah dipahami oleh banyak orang. Kondisi ini semakin dipertajam dengan komunikasi antara seniman dan masyarakat yang sering tidak berada di frekuensi yang sama.
Dibutuhkan langkah untuk menyederhanakan cara berkomunikasi dan menghubungkan spektrum berpikir antara keduanya. Penyederhanaan komunikasi dapat dilakukan dengan mencari padanan awal munculnya gagasan karya seni dengan aktivitas yang sering terjadi dan dipahami dalam masyarakat.
Pernyataan itu tertuang dalam catatan kurator pameran “Napak Tampak,” Teguh Agus Priyanto. Pameran “Napak Tampak” yang diselenggarakan di de Braga by Artotel Bandung ini diikuti seniman Gemma Guardi, Lutfi Yanuar, Patra Aditia, Periangga Irianto, Prabu Perdana, Sumastania Widyandari, serta Tennessee Caroline.
“Seniman dinilai terlalu asik dengan imajinasinya. Begitupun yang terjadi dalam masyarakat umum, terkesan acuh tak acuh dengan dunia seni bahkan mengganggap sebagai dunia yang asing,” kata Teguh.

Teguh menambahkan, untuk memahami karya seni rupa kita dituntut untuk dapat melihat nilai-nilai yang tak tampak di balik sebuah karya. Bahkan nilai-nilai tersebut sering lebih menarik untuk diulas.
Ketidakterlihatan membuat wacana menjadi meluas bahkan mampu menembus dinding-dinding pembatas, walaupun terkadang hanya didasari oleh asumsi (hipotesa). Namun keberanian membangun hipotesa akan membantu dalam menemukan nilai dan jejak yang melatar belakangi suatu penampakan.

Seperti halnya seorang ilmuwan yang selalu hanyut dalam kegiatan observasi untuk menghadirkan realitas baru, seorang seniman juga bekerja dengan cara yang tidak jauh berbeda untuk menemukan realitas baru yang akan disematkan dalam karyanya. Walaupun ketika ditelisik lebih mendalam, beberapa realitas yang dihadirkan sebenarnya sudah ada namun sering tidak disadari.
Seorang observer (pengamat), kata dia, berperan sebagai subjek yang menolong kelahiran realitas, tentunya realitas berdasarkan cara pandang sang pengamat. Observasi dilakukan agar dapat memunculkan kesadaran ketika mengalami sesuatu dan untuk menguji hipotesa yang sudah dibuat.
Melalui observasi, suatu objek yang tadinya tidak berharga dan berada di luar diri akan menjadi bagian internal sekaligus sebagai pengalaman. Sehingga tidak mengherankan seorang pengamat akan lebih mudah ketika harus mengungkapkan tentang objek yang diamati baik melalui bahasa lisan, tulisan maupun visual, karena objek tersebut telah menjadi bagian dari pengalaman empiriknya.

Seniman dengan subjektifitas dan objektifitasnya sering dibawa hanyut ke dalam banyak peristiwa, atau yang lebih dikenal dengan istilah empati. Subjektifitas untuk mendapatkan rasa puas dan objektifitas untuk menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa-peristiwa.
Pertemuan kepuasan dan nilai-nilai ini berlangsung selama proses berjalannya pengalaman. Suatu pengalaman terdiri dari berbagai unsur (visual, suara, rabaan, perasaan, pemikiran, dll) yang saling berhubungan dan akan memberikan makna pada pengalaman. Struktur hubungan inilah yang menyebabkan pengalaman seseorang terhadap sebuah peristiwa yang sama dapat berbeda kualitas dan maknanya dengan orang lain.

Mencerna Pengalaman
Ketujuh seniman yang terlibat dalam pameran ini adalah tanda bukti uraian di atas. Subjektifitas dan objektifitas yang dimiliki masing-masing seniman memperlihatkan kemampuan mereka dalam mencerna dan memahami pengalaman. Intensi personal membawa mereka pada kecenderungan berpikir dan bersikap yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan beragam pemikiran dan bentuk karya.
Dalam pengalaman seni terdapat fokus yang membuat sesuatu menjadi utuh, bermakna dan mempunyai kedalaman. Keutuhan pengalaman tersebut terjadi melalui kegiatan menghubungkan dan merangkai unsur-unsur pengalaman yang diperoleh dari penginderaan atas benda seni. Kemungkinan untuk menghubungkan dan merangkai antar unsur-unsur begitu bebas dan terbuka. Inilah sebabnya sebuah karya seni dapat memberikan pengalaman yang berbeda-beda pula bagi apresiator.

Teguh mengatakan, John Deway membedakan antara pengalaman estetik dengan pengalaman artistik. Pengalaman estetik lebih tertuju pada pengalaman seni berupa kegiatan mengapresiasi seni, sedangkan pengalaman artistik adalah pengalaman seni yang dilakukan sebagai dasar penciptaan karya seni. Pada kenyataannya semua yang pernah menciptakan karya seni terlebih dulu menjadi apresiator seni. Dengan demikian, setiap pencipta karya seni memiliki dasar pengalaman seni. Tanpa pengalaman seni tak mungkin terjadi pengalaman artistik.
Seorang seniman melakukan kegiatan penciptaan karya seni dalam unsur sekarang dan kemudian. Selama dalam proses artistik ia dikendalikan oleh pengalaman estetiknya. Hal ini yang menjadikan karya seni disebut sebagai bentuk ekspresi diri. Akan tetapi secara artistik ekspresi tidak dilakukan dengan sembarangan, dia akan selalu didasari oleh kesadaran pengalaman estetik.

Dalam proses penciptaan terjadi ekspresi spontan yang multi-interaksi antara kerja penginderaan, pemikiran, emosi dan intuisi. Proses penciptaan yang melahirkan pengalaman artistik didominasi oleh unsur perasaan, dan inilah yang membedakan antara seni dengan bidang yang lain. Namun muatan emosi yang ingin disampaikan kepada apresiator tidak dapat dibiarkan liar tanpa kendali, karena seni pada dasarnya adalah pengaturan emosi yang punya makna.
Setelah mengetahui cara berpikir dan bersikap para seniman melalui pendekatan observasi yang juga dilakukan oleh para ilmuwan. Diharapkan apresiator menjadi paham atas keberagaman pandangan dan nilai-nilai yang ada di dunia seni, terutama seni rupa. “Tentunya pemahaman ini sekaligus sebagai media untuk memahami toleransi dan menanamkan rasa empati atas keberagaman tersebut. Pada akhirnya pemahaman ini diharapkan dapat menumbuhkan semangat untuk dapat memaknai kata merdeka dan bertanggung jawab atas pilihan kemerdekaannya,” kata Teguh.
Tampilan karya serta bio singkat para seniman pameran “Napak Tampak” ini bisa dilihat di Galeri Foto mikrofon.id dengan mengakses link berikut: Pameran Napak Tampak.***