Karya-karya lukis abstrak dari Cassandra Louise, Diana Puspita Putri, Mira El Amir, dan Sastia Naresvari, tampil dalam pameran “Intimate Abstraction”, di Mola Art Gallery, Cimahi, di Mola Art Gallery, Komp. Griya Asri Cahaya Cipageran Blok N-23, Cimahi, mulai 11 Maret hingga 11 April 2023.Kurator pameran “Intimate Abstraction”, Asmudjo Jono Irianto mengamati penerapan gaya abstrak dalam karya-karya perupa ini lebih dekat dengan aspek personal dan psikologis.Karya-karya para seniman dalam pameran ini berangkat dari persoalan personal, karena itu lukisan yang ditampilkan lebih mengarah pada ekspresi kejiwaan dan perasaan. Hal ini menunjukkan bahwa yang mereka cari bukanlah upaya penerobosan dan pencarian kemungkinan baru dalam lukisan abstrak, melainkan abstraksi dari perasaan dan persoalan mereka. Melalui bahasa abstrak, maka ekspresi perasaan melalui tindakan melukis (act of painting) akan lebih kuat untuk ditangkap dan dirasakan secara perseptual oleh pemirsa, tidak terganggu narasi atau representasi. Maka, lukisan abstrak seniman dalam pameran ini sesungguhnya “merepresentasikan” perasaan dan jiwa senimannya. Dan merupakan abstraksi dari perasaan dalam diri (inner feeling).

Diana
Diana Puspita Putri menerapkan gaya abstrak ekspresionisme. Dari judul karyanya, “Adam dan Eve”, pelukis lulusan ISI Yogyakartaini mengandung representasi, dan merupakan abstraksi dari realita. Objek dalam lukisan berjudul “Adam” dan “Eve” hampir serupa yaitu dunia floral. Dalam lukisan Adam tampak jenis tanaman yang lebih kaku, sementara dalam lukisan Eve hadir rumpun bunga yang lebih luwes. Brush-stroke tampak lebih kasar dan bertenaga dalam lukisan Adam, dan nada warna lebih pekat, sementara dalam lukisan Eve brush-strokenya lebih lembut dan warna-warnanya lebih ceria. Konstruksi biner antara lelaki yang kuat, kasar, dan perempuan yang halus dan perasa merupakan gambaran umum dan konstruksi stereotip. Namun konstruksi tersebut tentu tidak lepas dari realita sesungguhnya. Oposisi biner tersebut akan lebih nyata dialami dalam dunia keluarga, antara peran suami dan istri. Hal tersebut merupakan pengalaman yang dirasakan oleh Diana setelah dia memasuki dunia pernikahan dan menjadi seorang ibu, yang terutama—dikonstruksikan dalam dunia patriarki—memiliki tanggung jawab lebih besar dalam membesarkan anak. “Lukisan-lukisan Diana merupakan refleksi yang dirasakannya sebagai perempuan dan ibu. Tentu saja, dalam lukisan abstrak narasi tersebut tidak keluar secara langsung, kendati bisa saja bersifat metafor dalam lukisannya,” tutur Asmujo.

Cassandra
Tahapan kehamilan yang dialami perempuan kerap mendatangkan kecamuk perasaan, termasuk kecemasan. Cassandra Louise mencoba menghadirkan itu lewat karyanya “Inner Growth.” Tumbuhnya jabang bayi dalam tubuh seorang wanita merupakan peristiwa luar biasa dan menjadi transisi seorang perempuan menjadi seorang ibu. Hal tersebut memberikan dampak psikologis dan fisiologis. Lukisan-lukisan Cassandra dalam pameran ini merupakan tumpahan perasaannya selama masa kehamilannya. Sepintas lukisan Cassandra seperti abstraksi lanskap. Bisa jadi hal tersebut merupakan metafor dari perubahan lanskap hidup Cassandra. Kendati lukisan tersebut merupakan abstraksi dari perasaan dan anxiety Cassandra, kata Asmujo, sulit bagi pemirsa untuk menangkap “makna” dari karya-karya “Inner Growth.” Tidak ada narasi dalam lukisan tersebut. Lukisan-lukisan Cassandra adalah perasaan yang diungkapkan melalui baluran warna monokrom hijau menuju gelap. Warna-warna hijau gelap, tampak berat layaknya beban, namun di sana-sini juga tampak nada warna hijau yang lebih ringan dan menenangkan. Komposisi baluran warna monokrom kehijaun dengan latar belakang putih menghasilkan keseimbangan dan harmoni. Keseimbangan dalam berbagai fase hidup merupakan merupakan hal penting yang disasar oleh manusia. “Bagi Cassandra tindakan melukis merupakan upaya mengeksternalisasi beban perasaannya ketika hamil, untuk mendapatkan keseimbangan perasaan,” ujar Asmujo.

Mira
Mira El Amir miliki latar belakang sebagai desainer fashion dan multi-media. Latar belakang tersebut tampak jejaknya dalam lukisan-lukisan Mira dalam pameran ini. Tampil colorful dan ceria, mengingatkan kita pada fashion, dengan sebaran corak warna-warni memenuhi kanvasnya. Namun, keceriaan yang tampak dalam lukisan Mira sesungguhnya berangkat dari pengalaman tragis, kehilangan bayinya yang meninggal dunia pada saat masih berusia bulanan. Setelah kehilangan tersebut, Mira dilanda duka berkepanjangan, mempengaruhi keseimbangan jiwanya. Melukis adalah salah satu upaya terapi dan katarsisnya. Namun, menariknya yang ditampilkan pada lukisan bukanlah “kedukaan” melainkan suasana keriangan, suasana yang hendak diraihnya. Bagi Mira, melukis adalah cara untuk menuju kebahagian dan membuang kesedihan. “Lukisannya adalah ruang aman dan bahagia yang hendak digapainya,” tutur Asmujo.

Sastia
Sastia Naresvari pernah kuliah psikologi di Universitas Paramadima, dan pernah belajar desain fashion. Sejak kecil suka menggambar dan belajar melukis secara otodidak. Berangkat dari gaya realis, kemudian ekspresionis dan terakhir Sastia intens dengan gaya abstrak. Sejak kecil ia tertarik dengan hal-hal spiritual, dan saat ini menekuni dunia meditasi. Gaya abstrak diilhami Sastia karena sangat sesuai dengan jiwa dan sikap hidupnya. Bagi Sastia, melukis adalah caranya untuk tetap seimbang rohani dan jasmani. Ia tidak pernah merencanakan dan memiliki gagasan awal mengenai lukisannya. Sastia bergerak secara intuitif dalam melukis—seringkali setelah dia melakukan meditasi. Sastia bergerak secara otomatis dan mengalir saja dalam melukis, bahkan dalam memilih warna dan menggubah bentuk di atas kanvasnya. Musik dan gestur adalah analogi dari gubahan lukisan-lukisan abstraknya. Namun demikian Sastia tetap memiliki semacam platform dalam fase-fase melukisnya. “Karya-karya yang tampil dalam pameran ini bertarik 2020 sampai 2022, yaitu fase dirinya yang disebutnya sebagai fase gairah yang penuh energi. Hal itu tampak dalam lukisan-lukisanya, dengan latar belakang hitam, dan semburat warna-warni yang tampak bergejolak,” katanya.

Transenden dan Spiritual
Asmujo menuturkan, karya-karya empat pelukis dalam pameran ini merefleksikan nilai-nilai lukisan abstrak. Setidaknya ada dua nilai seni lukis abstrak, yaitu aspek transenden dan spiritual pada satu sisi, dan aspek formal, konkrit atau materialitasnya pada sisi lain. Kecenderungan pertama kerap disebut sebagai idealis, yang kedua sebagai materialis. Kedua nilai tersebut sesungguhnya saling bertentangan, dan menjadi paradoks metode abstrak. Dalam sejarah seni lukis abstrak Barat, aspek transenden menjadi hal penting, sebab berbeda dengan lukisan representasional mimetik, yang mementingkan narasi, maka lukisan abstrak—dalam hal ini abstraksi realitas—akan mengantarkan kita pada manifestasi citraan yang melampaui realita, yang sublim, spiritual dan transendental. Hal itu juga berkenaan dengan hal-hal bawah sadar dan kejiwaan. Dalam hal ini apa yang diekspresikan oleh seniman adalah perasaannya dan kondisi kejiwaannya. Namun pada sisi lain lukisan abstrak juga mengantarkan kita pada kemungkinan kekongkritan seni luki, pada material (cat dan kanvas) dan aspek-aspek formal seni lukis, yaitu lukisan sebagai objek. “Aspek transenden/metafisik lebih pada intuisi, rasa, jiwa dan spirit. Aspek formal pada pertimbangan rasional dan analitis. Namun tentu saja, kedua kutub tersebut tidaklah clear cut, sebagaimana manusia, yang memiliki rasa dan rasio, demikian pula lukisan abstrak yang merupakan objek artistik garapan manusia (seniman) mengandung keduanya. Kedua komponen tersebut selalu menjadi bagian dari lukisan abstrak,” ujarnya.

Ditinjau lebih lanjut, seni lukis yang paling realis pun sesungguhnya merupakan abstraksi dari realita, misalnya citraan manusia dan lingkungannya yang sesungguhnya berada dalam ruang, realita tiga dimensi dan waktu diabstraksi menjadi citraan dua dimensi. Sebaliknya lukisan abstrak, sesungguhnya juga merupakan representasi dari berbagai kemungkinan, dari mulai representasi pelukis mengenai gagasan/pemikiran mengenai esensi seni lukis—merepresentasikan aspek rasio dan kognitif—sampai representasi perasaan dan ekspresi pelukisnya, sebagaimana dalam gaya abstrak ekspresionisme. Jika pada lukisan representasional mimetik, narasi dan pengenalan pada subject matter atau objek menjadi utama, maka pada lukisan abstrak dan abstraksi kapasitas perseptual dalam mempersepsi aspek formal (bentuk) lebih utama.

Oleh karena itu, umumnya terjadi reduksi visual yang dilakukan oleh pelukisnya, dan memilih salah satu atau lebih komponen formal yang dianggap mewakili perasaan/pengelaman personalnya. Reduksi dilakukan untuk memperkuat atau “menekankan” aspek perseptualnya. Hal ini juga tampak dalam lukisan-lukisan dalam pameran ini. Karena para pelukis dalam pameran ini “menerapkan” pendekatan abstraksi dalam lukisannya, sebagai upaya mengekspresikan—bisa juga dikatakan mengeskternalisasikan—perasaan, kegundahan dan kegalauan, maka lukisan-lukisan yang mereka hasilkan adalah hal yang intim bagi mereka. Dengan pretensi seperti itu, mereka bergerak dalam aspek-aspek visual yang primordial, yaitu abstraksi yang intim, yang tidak dibebani oleh teori, wacana dan pencarian esensi. Abstraksi dari realita dikenal hampir di setiap kebudayaan. Di luar tradisi representasional mimetik (yang menjadi kebudayaan visual di Barat setelah era Renaisans) sebagian besar tradisi visual di luar Barat adalah abstraksi. Dengan kata lain, kata Asmujo, abstraksi adalah aspek primordial yang ada dalam diri setiap manusia, terutama seniman. Karya-karya dalam pameran ini menunjukkan hal tersebut. Bagi mereka pendekatan abstrak adalah pendekatan yang intim, yang mendasar dan berhubungan dengan perasaan mereka. Dalam hal ini mereka bergerak dalam dataran intuisi (-perasaan), namun juga kesadaran formal, seperti kesadaran dan kepekaan komposisi, keseimbangan, ritme, warna, rana dan lainnya. Aspek formal lukisan-lukisan dalam pameran ini dengan sendirinya menjadi tawaran bagi pemirsa untuk dipersepsi melalui perasaan, menjadi hal yang intim, tanpa perlu pretensi teoritis dan wacana. “Lukisan-lukisan tersebut menyediakan dirinya untuk dipersepsi dan dirasakan sebagai realita visual, tanpa harus terjebak dalam upaya memaknainya—kendati mungkin untuk dilakukan. Setiap pemirsa dapat memiliki pengalaman yang berbeda, bergantung perasaan dan kepekaan visualnya masing-masing. Itulah intimate abstraction, yang tidak hanya dirasakan oleh para pelukisnya, namun juga dirasakan oleh pemirsanya,” tutur Asmujo.Karya-karya para perupa di pameran ini bisa dilihat di Galeri Foto Mikrofon.id, melalui akses link berikut: Pameran Intimate Abstraction.***