
MIKROFON.ID – Membuka tahun 2022, mahasiswa Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung menggelar Pameran Filantropi di The Hallway Space, Kosambi, Bandung, 8-15 Januari 2022.
Bagi mereka, Filantropi menjadi pengingat sekaligus pelestari kepedulian kolektif yang begitu mewangi selama pandemi.
Mikrofon.id menyediakan ruang galeri bagi karya-karya yang dipamerkan dalam Filantropi, dan bisa diakses langsung melaluli link berikut: Pameran Filantropi.
Baca Juga: Cara 4 Perempuan Bandung Lestarikan Batik: Riset, Pembinaan, Pameran, dan Buku
Dari ISBI Bandung, mereka yang terlibat dalam pameran yakni Aldy Lukmanul, Aysha Farrell, Ferdinand Michael, Farhan Rabbani A, M. Hafizh Ammar, M. Adnan Abdillah, Mutiara Putri, Reyna Apriliana, dan R. Zaqhuba Fahmi.
Sedangkan dari UPI Bandung, ada Ananda Nur Syamsi, Revaleka, dan Rizki.
Mereka menuangkan karya dalam gelembung Filantropi, dengan menyerap arti tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusiaan, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.

Melalui catatan kuratorial mereka, dengan mengambil makna bahasa Indonesia sebagai kedermawanan dan cinta kasih terhadap sesama, istilah “filantropi” didorong sebagai sebuah gagasan.
Kegiatan filantropi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat di Indonesia, karena umumnya diberikan pada orang-orang yang memberikan banyak dana untuk amal.
Meski begitu, pemaknaan filantropi belum terlalu dikenal oleh khalayak luas.
Baca Juga: Extreme Moshpit: Media Alternatif Impian Ebenz Burgerkill yang Mewujud Nyata
Mahasiswa penggerak pameran ini meyakini bahwa konsep filantropi berhubungan erat dengan rasa kepedulian, solidaritas, dan relasi sosial antara orang miskin dan orang kaya, antara yang “kuat‟ dan yang “lemah,” antara yang “beruntung” dan “tidak beruntung,” serta antara yang “kuasa” dan “tunakuasa.”
Dalam perkembangannya, konsep filantropi dimaknai secara lebih luas yakni tidak hanya berhubungan dengan kegiatan berderma itu sendiri. Lebih dari itu, mereka menakar bagaimana keefektifan sebuah kegiatan “memberi,‟ baik material maupun nonmaterial, dapat mendorong perubahan kolektif di tengah masyarakat.
Filantropi dianggap sebagai salah satu modal sosial yang telah menyatu di dalam kultur komunal atau tradisi yang telah mengakar sejak lama, khususnya di masyarakat pedesaan.

Pandemi Covid-19 ini menjadi pengingat untuk lebih peka dan peduli terhadap sesama manusia. Mereka melihat, keberhasilan filantropi dalam cerminan cinta kasih sesama manusia di era pandemi ini berhasil meningkat.
Dalam bungkusan pameran ini, mereka melambungkan asa: Semoga filantropi ini tak hanya berlaku saat pandemi saja, tetapi menjadi sesuatu kebiasaan yang bisa diterapkan di setiap individu dan di setiap kelompok masyarakat .
Baca Juga: Pameran Tunggal “Sumarah” Tjutju Widaya, Memotret Perempuan Kuat yang Terusir Keluarga
Karya Pameran Filantropi

Melalui karya berjudul “Protect,” Aldy Lukmanul dari ISBI Bandung mengangkat rutinitas manusia yang sudah semakin dalam di kehidupan digital. Dalam karyanya, ia menyelipkan pesan: “Menjadi manusia mengikuti aliran air, namun menjaga dan memberi batasan bagi diri sendiri dan manusia lainnya, maka, hiduplah bermanfaat.”

Karya Ananda Nur Syamsi dari UPI bertema “Ngareketkeun Duduluran” yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti mempererat silaturahmi ini menyoal tentang kehidupan sosial, ketika peran manusia sebagai mahkluk sosial tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan bantuan orang lain.
Visualisasi yang dihadirkan cukup sederhana, dengan pendekatan dekoratif geometris. Dalam proses kreatifnya, Ananda terpengaruh konteks sejarah. Pilihan figur manusia yang dihadirkan terinspirasi dari patung The Giant Head Moai, di Easter Island.

Aysha Farrel dari ISBI melahirkan karya “I’M OK” ketika hatinya sedang gundah. Resah sampai tumpah ke setiap jejak kaki melangkah. “Banyak air keluar dari mata, berjatuhan di manapun ia inginkan. Hati tersayat setiap detiknya, entah bentuknya sudah seperti apa saat ini. Namun kala ditanya ‘Apakah baik saja?’ laring ini mengucapkan ‘Ya, baik.,” tutur Aysha, menyatakan pesan karyanya.

Mahasiswa ISBI, Ferdinand Michael menyodorkan dewa hujan, Tlaloc, yang enggan menurunkan hujan di tengah kekeringan yang menyelimuti benua hitam, dalam karyanya bertajuk “Tetap Hidup di Dalam Kekeringan”.
Kemarau panjang menyebabkan kelaparan dan menyusutnya air bersih. Kasus kematian mulai dari penduduk desa sampai hewan ternak pun muncul bergelombang.

Karya yang berjudul “Dialog Senja Tak Bersuara” merupakan kisah pegalaman personal Farhan Rabbani A dari ISBI. Di awal pandemi, ia bertemu dengan tiga orang yang mempunyai keterbatasan dalam mendengar dan berbicara (tunarungu dan tunawicara), yang berprofesi sebagai tukang parkir.
Melihat kegigihan, kesabaran, dan solidaritas dalam menjalani hidup mereka, menjadi pengingat dan seperti teguran bagi Farhan untuk lebih gigih lagi dalam menjalani hidup.
“Mereka saja yang mempunyai keterbatasan bisa, kenapa saya banyak mengeluhnya?’ Dan oleh karena itu, saya tertarik untuk mengangkat momen yang saya lihat menjadi sebuah karya berupa lukisan dengan kanvas yang dibagi menjadi tiga bagian, yang merepresentasikan dari tiga tukang parkir tadi,” kata Farhan.

Hafizh Ammar dari ISBI mengupas perjalanan Baginda Raja Prabu Kelono Sewandono yang ingin meminang Dewi Songgo Langit sebagai calon permaisurinya lewat karya berjudul “The Most Strength of Bonds.”
Calon permaisuri yang bernama Dewi Songgo Langit adalah putri Kerajaan Kediri, namun dalam perjalanannya mereka diadang oleh sesosok manusia harimau dan burung merak yaitu Raja Singobarong, raja dari Kerajaan Lodaya.
Singobarong juga memiliki watak yang sangat kejam dan bengis, juga suka berperang. Gagasan karya ini menggambarkan keterikatan sebuah peperangan yang menjadikan tradisi dalam karya budaya tradisional tersebut.

Bagi mahasiswa ISBI, M. Adnan Abdillah, keterikatan emosi terhadap objek menjadi studi tersendiri untuk menciptakan karakteristik personal. Dalam karya “Ibuku Guruku,” digambarkan sosok wanita sarjana, sekaligus ibu dari keluarga, yang telah membimbing, menjaga, dan menegur untuk anaknya.
“Ibuku yang sekaligus guruku. Dia adalah pahlawan di dua sisi yang berbeda tetapi dengan tugas yang sama. Dengan istilah pahlawan tanpa tanda jasa, ibuku yang hebat, ibuku yang kuat, ibuku yang Tangguh. Terimakasih Ibu,” ucap Adnan.

Mutiara Putri A., dari ISBI menganggap pelukan dalam karya “Hug Me” sebagai bentuk keintiman fisik. Kontak antarkulit bagi manusia terjadi karena keinginan untuk merasa tenang, aman, dan dicintai. Sentuhan positif seperti pelukan dapat melindungi dari efek stres, menjaga ikatan emosional, spiritual, dan dapat mengurangi agresi.
“Dalam hubungan apapun, mulai dari hubungan suami istri, orangtua dan anak, hingga pertemanan, pelukan menjadi salah satu simbol yang mendekatkan diri,” begitu isi tulisan yang ditawarkan Mutiara.

Reyna Apriliana dari ISBI menyajikan lukisan “Di Balik Sini” bukan tentang alam, sungai, air, dan bukan juga tentang seorang gadis. Karya ini tentang dibalik itu semua.
Kanvas itu dibuat dengan penuh ketelitian dan usaha serta tenaga maksimal dari seorang pria tua yang tangannya tidak berfungsi dengan baik. Keresahan seorang pria tua yang melihat cucunya kalang kabut akan tuntutan kuliah yang menumpuk dan keuangan yang semrawut.
Di usia senjanya ia tak bekerja. Hanya memerhatikan cucunya yang syukur-syukur bisa kuliah berkat beasiswa.
“Bagaimana caranya agar ia dapat terus menyemangati cucunya itu? Ya! Dia membuat berbagai bentuk kanvas yang dibalut dengan kasih sayang untuk satu-satunya orang dalam keluarga yang baru bisa menempuh sekolah tinggi. Itu semua adalah kerja keras kakekku. Di bawah sini, di bawah lukisan ini ada kasih sayang kakek untuk cucunya,” ucap Reyna.

Karya Rizki dari UPI berjudul “Asmara” memvisualkan dua tangan yang saling berpegangan erat dari sudut berlawanan. Penambahan objek tanaman berbunga yang indah di kedua sisi tangan memberi kesan indah dan cantik, seperti itulah pengungkapan cinta manusia yang saling membutuhkan satu sama lain.
Karya ini berbicara tentang cinta manusia yang memberikan ketenangan jiwa, rasa aman, kebahagiaan, dan rasa saling memiliki satu sama lain.

Revaleka dari UPI mengembangkan “Plate D” dari pengkaryaan sebelumnya yang bertajuk “Memento” terhadap kebendaan pribadi sebagai kajian referensi yakni menggambarkan pasangan muda-mudi yang sedang berpose di belakang mobil berplat nomor D.
Karya ini pula merupakan interpretasi atas karya lagu Madona berjudul “Crazy Over You” tahun 1985, serta penambahan unsur Anachronism pada topeng karakter Ksatria Baja Hitam RX Black agar menambah unsur nostalgia dengan dimensi ruang dan waktu yang berbeda-beda.

Zaqhuba Fahmi dari ISBI menciptakan karya pertama dengan judul “Endog Abang.” Ia ingin memberi tahu dan mengabadikan momen orang berjualan endog abang, yang sudah jarang ditemukan di daerah asalnya yaitu Yogyakarta.***