Pameran Cocok Nada Kenalkan Alat Musik Eksperimental Impresif

Selasar Pavilion membuka perhelatan tahun ini dengan “Cocok Nada: Pameran Perancangan Alat Musik”, mempresentasikan karya-karya dari (Alm.) Dodong Kodir (Lungsuran Daur Contemporary Instrument), Fauzie Wiriadisastra, Genta Guitar, dan Störn System.

Melalui gagasan dari perancangan alat musik ini, pameran ini merefleksikan wacana desain yang memang seiring dengan fungsi Selasar Pavilion sebagai ruang.

Sebagai ruang baru dari Selasar Sunaryo Art Space, Selasar Pavilion dirancang untuk misi pendidikan publik yang lebih luas di luar disiplin seni rupa, berkembang sebagai ruang pamer beserta ekosistem pendukungnya untuk memproduksi pengetahuan seni terapan, desain, arsitektur, atau kerajinan.

Mendiang Dodong Kodir. Foto: Arsip Selasar Pavilion.

Dodong Kodir

Karya pertama tersaji dari mendiang Dodong Kodir. Pria kelahiran Tasik 8 November 1951, yang meninggal di Bandung pada 7 Januari 2016 ini adalah seniman, musisi, dan perancang alat musik daur ulang.

Sejak tahun 1980-an Dodong aktif menciptakan alat musik dan bunyi-bunyian secara otodidak dengan memanfaatkan barang bekas juga limbah keseharian yang ada di sekitarnya.

Dodong dikenal sebagai seniman yang banyak pengalaman dalam bidang seni, khususnya karawitan. Keterampilannya dalam membuat alat musik ini dimulai dari perannya di lingkungan seni sebagai pereka bunyi-bunyi khusus dalam pertunjukan tari sehingga menjadi langganan musik tari karya Indrawati Lukman, Irawati Durban, Gugum Gumbira, ataupun ilustrasi musik pertunjukan teater dan sastra.

Foto: Selasar Pavilion.

Sejak tahun 2002, Dodong dan kelompok musiknya, Lungsuran Daur Contemporary Instrument, aktif berkegiatan untuk menciptakan dan memainkan berbagai alat musik berbahan limbah hingga ke berbagai festival musik internasional.

Hingga kini, kurang lebih terdapat sekitar 100 buah alat musik daur ulang yang telah dibuat oleh Dodong bersama kelompok Lungsuran Daur Contemporary Instrument. Di luar sepak terjangnya sebagai seniman dan pembuat alat musik, semasa hidupnya Dodong pernah aktif menjadi pengrawit, manajer tari di Institut Seni dan Budaya Bandung, pengajar seni dan juga penggiat lingkungan hidup.

Teknik

Proses pembuatan alat musik dari Dodong Kodir bersumber dari kepiawaiannya memproyeksikan karakter suara maupun menerka kegunaan teknis dari barang temuannya yang acak sekalipun.

Di dalam perjalanan menuju tempat kerjanya Dodong Kodir kerap menyempatkan diri untuk mampir ke daerah Astana Anyar di Kota Bandung yang merupakan tempat berkumpulnya barang-barang bekas. Cara yang sama juga Dodong lakukan ketika ia memiliki waktu luang saat berada di luar kota maupun luar negeri. Proses pengepulan barang tersebut ia lakukan secara intuitif dan bertahap.

Dalam proses perakitan, Dodong akan memberdayakan katalog barang temuannya dan mencocokkan ketersediaan bahan baku tersebut terhadap kejaran suara yang ia cari.

Proses matchmaking dan trial-error ini menjadi metode yang kentara yang pada akhirnya dapat membentuk kolase kegunaan dari alat musik a la Dodong Kodir.

Foto: Selasar Pavilion.

Tornadong (2005)

Mendiang Dodong Kodir membuat alat musik Tornadong (permainan kata tornado dan Dodong) untuk menciptakan suara guntur dan pusaran angin yang menggelegar dari fenomena alam angin tornado.

Terinspirasi dari berita bencana yang ia saksikan lewat layar TV, Dodong lantas mencoba mengimitasi suara tornado melalui rangkaian bahan bekas waluh kukuk  (buah labu)yang dikeringkan, lembaran fiber tutup pagar dan per pegas tekan buatan Jerman.

Ruang resonansi dari alat ini terpusat pada volume labu kering dengan bentuknya yang membulat beserta corong yang dapat dipegang pada bagian atasnya. Getaran per tarik pegas yang dimainkan akan menggasak lembaran fiber yang nyaring dan bergema di dalam ruang resonansi.

Dalam beberapa kesempatan penggunaan, bunyi dari alat ini dipercaya dapat memicu perubahan cuaca dan turunnya hujan.

Foto: Selasar Pavilion.

Sagara (2008)

Sagara adalah alat bebunyian berbentuk segi empat yang terbuat dari sebingkai kanvas bekas, lingkaran jam dinding bekas, serta butiran peluru dari roda sepeda (ball bearing) bekas.

Alat musik ini dapat menirukan suara deburan ombak yang sengaja dirancang oleh Dodong untuk mengenang bencana Tsunami Aceh pada tahun 2004. Bebunyian dari alat ini dihasilkan dari gesekan peluru roda pada tekstur kanvas yang kemudian diperkuat oleh

rakitan tutup kaleng pada bagian belakangnya.

Sagara dilengkapi oleh torehan lukisan yang dibuat oleh Dodong sendiri untuk memberikan konteks naratif bagi sang alat maupun bebunyian yang dikeluarkannya.

Fauzie Wiriadisastra. Foto: Arsip Selasar Pavilion.

Fauzie Wiriadisastra

Fauzie Wiriadisastra adalah seorang komposer, konduktor, multi-instrumentalis dan teknisi alat musik asal Bandung. Ia memperoleh penghargaan dari Yazeed Djamin Award pada tahun 2006 dan penghargaan 50 Tahun Avip Priatna pada tahun 2015.

Saat ini ia menjabat sebagai direktur musik dari Laurentius Symphony Orchestra dan studio animasi Aniwayang dan juga aktif sebagai pengajar di program Integrated Arts Universitas Katolik Parahyangan dan Sekolah Musik Allegria.

Ketertarikannya pada eksplorasi alat musik diawali dengan seruling, kelompok instrumen sederhana yang ia koleksi sejak masa sekolah. Sebagai salah seorang pendiri dari Bandung Philharmonic Orchestra, perancangan alat musik dari Fauzie juga ditujukan untuk menciptakan bentukan alat-alat baru sebagai alternatif dari alat musik orkestra yang yang konvensional ataupun yang sulit didapatkan.

Baca Juga :   Melebur Apresiator Modular Synthesizer di Bandung Synth Meet #1

Cara

Dengan latar belakang pendidikan teknik mesin dan pelatihan musik klasik, alat musik yang dirancang oleh Fauzie menitikberatkan eksplorasi mekanik serta kualitas bebunyiannya yang dapat diharmonisasikan ke dalam bentuk orkestra.

Selain kejaran eksplorasi suara yang dihasilkan, aspek perancangan yang ada di dalam alat ciptaan Fauzie juga menawarkan teknik instrumentasi yang lebih fleksibel, adaptif dan relatif lebih mudah dalam hal penggunaanya.

Foto: Selasar Pavilion.

Beberapa alat yang ia rancang menghadirkan fungsi hybrid untuk memudahkan variasi tangga nada maupun ergonomi penggunaan alat. Tegang bentang di antara metode perancangan DIY terhadap kegunaanya sebagai instrumen orkestra menjadi acuan eksperimen dari alat-alat yang ia ciptakan.

Pertemuannya dengan (alm.) Dodong Kodir menjadi salah satu inspirasi bagi Fauzie untuk dapat mengubah nilai properti sederhana dari bahan-bahan keseharian menjadi instrumen baru dengan keluaran suara yang istimewa.

Di luar dari pelatihan formalnya sebagai musisi, Fauzie juga banyak mempelajari tentang anatomi dan cara kerja instrumen musik dari pengalamannya memperbaiki alat- alat musik yang telah rusak.

Foto: Selasar Pavilion.

Serulina (2006)

Serulina merupakan penggabungan antara seruling bambu dan ocarina. Alat musik ini dibuat dari sepotong bambu pendek yang diberi beberapa varian lubang, dengan lubang tiup yang berada di tengah.

Ia memiliki kemampuan untuk memainkan nada-nada kromatis seperti ocarina, yang notabene sulit dimainkan pada seruling bambu tanpa adanya katup mekanis. Di sisi lain, penggunaan lubang tiup terbuka memberikan alat musik ini fleksibilitas embouchure seperti seruling bambu horizontal.

Foto: Selasar Pavilion.

Tubular Bell (2017)

Di Tubular Bell, pipa kuningan dengan pemberat, digantung pada rak besi dengan mekanisme peredam, kemudian dipukul menggunakan palu karet. Alat musik ini dapat mengimitasi bel gereja, namun dengan ukuran yang relatif lebih mudah untuk dipindahkan dan nada yang lebih mudah untuk diharmonisasikan dengan alat musik lain.

Suar Nasution Genta Guitar. Foto: Arsip Selasar Pavilion.

Genta Guitar

Genta Guitar didirikan pada tahun 1959 oleh Muhammad Husni Nasution dan Ki Anong Naeni. Selang 60 tahun dari awal perjalanannya, Genta Guitar kini dikenal sebagai produsen alat musik yang telah memproduksi berbagai macam varian gitar dengan penggunaan material berkualitas tinggi.

Berkantor pusat di Bandung, Indonesia, Genta Guitar saat ini mempekerjakan hampir 100 orang dan memproduksi sekitar belasan ribu gitar per bulan di kompleks pabriknya di Ujung Berung.

Instrumen buatan Genta Guitar dibuat dari kayu solid kelas premium yang dikenal karena kualitas nada suara, kekuatan, dan keindahannya. Soundboard yang digunakan di dalam instrumen Genta Guitar terbuat dari kayu cemara sitka, cemara eropa, cemara engelmann, cedar merah, mahoni, mangga, akasia jawa dan beberapa tonewood lainnya yang tumbuh di Indonesia.

Foto: Selasar Pavilion.

Selama bertahun-tahun Genta Guitar terus menyempurnakan keterampilan pembuatan gitar dari berbagai aspek. Genta Guitar telah berkembang menjadi salah satu produsen gitar akustik, ukulele, akustik/elektrik, dan elektrik premium di Indonesia. Sebagai sebuah perusahaan, Genta Guitar berperan aktif di dalam jaringan ritel di seluruh Indonesia dan mengelola distribusi internasional ke Eropa dan Amerika Serikat dengan merek dan model ubah suai.

Proses

Dengan cakupan produksi dan pemasaran berskala internasional, Genta Guitar mengoperasikan setidaknya dua buah tempat produksi yang berlokasi di Ujung Berung, Bandung dan di Paseh, Sumedang.

Dari kedua lokasi produksi tersebut, Genta Guitar mengerahkan hampir 100 orang tenaga ahli berupa karyawan, teknisi dan juga pengrajin tangan untuk memenuhi kapasitas produksi per tahun sebesar 18.000 unit.

Genta Guitar selalu berusaha untuk menghasilkan produk- produk premium dengan menggunakan bahan-bahan maupun teknik perakitan (tangan maupun mesin) yang berkualitas. Bahan kayu yang merupakan bahan baku utama Genta Guitar sebagian besar diperoleh dari dalam negeri.

Sebagian besar konsumen Genta guitar berasal dari Amerika Serikat, Inggris dan Belanda, di mana beberapa di antaranya sudah bekerja sama lebih dari 10 tahun dengan sistem dan prosedur yang terstandarisasi. Dengan skala dan cakupan operasi yang terbilang besar, kualitas dan detail tetap menjadi nilai utama yang selalu dikedepankan di dalam pembuatan setiap produk-produk Genta Guitar. Oleh karena itu, riset dan pengembangan dari produk Genta Guitar tetap berorientasi pada sisi fundamental pengguna gitar maupun pengrajin tangan pembuat gitar.

Foto: Selasar Pavilion.

Genta Guitar C0 700

Seri gitar C0 700 dirancang menggunakan variasi kayu nusantara dengan bagian badan utamanya yang terbuat dari kayu solid mangga bercorak hitam (spalted mango).

Baca Juga :   Gandeng Saladdays, Slowanderer Lepas Debut Single ‘You Should’

Bentuk badan gitar ini dikategorikan ke dalam tipe concert cutaway yang relatif lebih kecil, ringan dan berkontur untuk memudahkan ergonomi pengguna ketika memainkan gitar sambil berdiri.

Variasi kayu mahoni digunakan sebagai bahan utama leher gitar sementara kayu trembesi gelap digunakan pada bagian rosette dan binding gitar. Permukaan badan kayu secara umum dilapisi oleh finishing natural gloss untuk menegaskan corak coklat keemasan kayu mangga yang tergolong kayu keras dan finishing satin pada leher untuk memperhalus bidang sentuh pada leher gitar.

Foto: Selasar Pavilion.

Genta Guitar UC 700

Genta Guitar UC 700 merupakan variasi seri Genta Guitar berbahan top solid kayu mangga dalam format ukulele. Selain perbedaan tuning dan jumlah senar yang lebih sedikit dari gitar, ukuran scale yang lebih kecil dari skema Baby Genta menjadikan tipe ini lebih mudah lagi untuk digunakan apabila dilihat dari ergonomi jangkauan tangan.

Penggunaan kayu mangga pada ukulele seri ini menghasilkan suara yang lebih hangat dan frekuensi mid-range yang sangat baik.

Evans Teviana Susandi. Foto: Arsip Selasar Pavilion.

Störn System

Störn System adalah studio dan produsen synthesizer analog yang berasal dari Bandung, Indonesia. Evans Störn (Evans Teviana Susandi) adalah seniman musik elektronik atau eksperimental, pembuat instrumen, dan praktisi elektronik DIY yang mendirikan Störn System pada pertengahan dekade 90an.

Dengan berbekal pengalaman otodidak, Evans Störn mulai mengembangkan ketertarikannya pada perancangan alat musik di usia muda dan menjadi ahli reparasi instrumen konvensional seperti gitar dan piano. Melalui era formatif tersebut, Evans memperkaya kosakata dan teknis perancangan instrumennya hingga saatnya kini memiliki fokus pada pembuatan synthesizer analog.

Keluaran artistik Evans Störn seringkali berbentuk karya seni relasional atau instalasi interaktif yang bersumber pada modifikasi instrumen dan suara. Selain menjalankan operasi Störn System sebagai pembuat synthesizer ubah suai dalam cakupan nasional maupun internasional, Evans kerap terlibat dalam beberapa lokakarya perancangan synthesizer dan proyek-proyek kolaboratif bersama pelaku musik lain.

Foto: Selasar Pavilion.

Rancangan

Evans Störn mengawali sepak terjang Störn System dari praktik hariannya sebagai spesialis reparasi instrumen analog. Ketertarikannya terhadap proses  pembongkaran,  penggambaran ulang skema kerja dan juga pembangunan instrumen, ia tekuni melalui pekerjaan reparasi yang datang dari beragam kliennya.

Tidak jarang pekerjaan tersebut pun membuka wawasan Evans terhadap spare part alat-alat musik yang langka yang sulit didapatkan dari belahan dunia manapun.

Secara perlahan, kumpulan proyek tersebut berperan dalam menambah kosakata perancangan alat yang dimiliki oleh Evans; baik dilihat dari segi bahan baku, kompleksitas bahkan dari segi desain dan estetikanya.

Kualitas dan kepresisian alat yang ia pelajari dari produk global keluaran dekade 1970 hingga 1980 an, menjadi acuan standar yang ia pegang hingga saat ini. Gagasan praktik yang Evans lakukan selama bertahun-tahun ibarat sebuah proses dekonstruksi alat-alat industri yang telah rusak, yang kemudian ia rancang ulang melalui pemahaman dan tangannya sendiri. Pada awalnya, produk Störn System hanya dipasarkan sebagai bespoke instruments dan hanya bertumpu pada keterampilan majemuk Evans sendiri. Seiring terbukanya akses informasi dewasa ini, Störn System kini telah membangun jejaring pengrajin lokal di kota Bandung yang ia kelola sebagai lini perakitan independen.

Bagi Evans, perancangan instrumen adalah praktik yang artistik dan juga ideologis. Beberapa alat yang Ia rancang adalah penerjemahan aspirasi pribadinya terhadap fenomena keseharian yang ada di sekelilingnya. Di balik aspek tektonik yang ada pada perancangan instrumen analognya, Evans selalu terdorong oleh motif-motif lain yang menyentuh perihal tradisi, sosial, politik atau kesenian secara umum.

Foto: Selasar Pavilion.

Anomali (2010)

Anomali pada awalnya dibuat sebagai alat edukasi dan juga medium nostalgia Evans Störn terhadap model synthesizer (khususnya Moog Synthesizer) di era 1970 dan 1980 an.

Ciri khas model tersebut ditandai dengan susunan kabinet tumpuk yang diselimuti oleh housing kayu berbentuk trapesium. Anomali sendiri dirangkai menggunakan kayu mahoni koleksi Evans yang berumur hampir 30 tahun sehingga memiliki serat yang padat dan lebih durable terhadap ancaman rayap. Spesifikasi modul-modul inti yang dimiliki oleh alat ini adalah: sepuluh modul oscillator, dua modul filter, 2 modul envelope/ADSR, 1 modul LFO (Low-Frequency Oscillation), 2 modul mixer, 1 modul sequencer, 1 modul MIDI dan 1 modul external processing. Karakter teknikal yang digunakan pada perangkat dalam Anomali secara mayoritas menggunakan recahan discrete components untuk meminimalisir pemakaian chip dan memperkuat karakter analognya sebagai synthesizer berbasis transistor.

Evans merancang Anomali dengan modul yang lengkap untuk menghasilkan sintesa suara yang dapat mendekati akustik dari instrumen-instrumen konvensional.

Kelengkapan modul yang dirakit di dalam Anomali juga dapat mempermudah demonstrasi cara kerja synthesizer pada lokakarya yang Evans kerap lakukan pada kalanya. Evans merancang Anomali dengan karakter formal menyerupai Korg MS-20 namun dengan kejaran performa a la russian tank, yaitu memiliki properti fisik yang tahan banting, solid, presisi dan durable.

Baca Juga :   Gangga, Teddy Adhitya dan Voxxes Ikat Kolaborasi Musisi Indonesia-Thailand
Foto: Selasar Pavilion.

E-bab / Electronic Rebab (2012)

E-Bab merupakan instrumen musik hybrid yang dirancang oleh Evans atas dasar ketertarikannya pada alat musik tradisi Sunda. Keengganan Evans untuk terjun ke dalam praktik seni tradisi yang konvensional memacu Evans untuk menciptakan bentukan baru dari sebuah rebab. Baginya, bentuk ekspresi berkebudayaan dapat diterjemahkan

ke dalam bentukan yang lebih luas dan tidak perlu dipenjarakan oleh konvensi sebuah alat, oleh sebab itu

E-bab pada dasarnya adalah sebuah penerjemahan ulang frekuensi-frekuensi tradisional yang diproduksi dari skema instrumentasi yang baru.

Bahan utama yang digunakan pada badan alat ini adalah kayu mahoni solid berserat padat yang diambil dari bagian tunggul pohon dan telah berusia sekitar 80 tahun. Badan kayu solid tersebut lantas dikombinasikan dengan kayu sonokeling pada bagian fingerboard-nya. Kombinasi tonewood mahoni yang dikenal lebih warm dan kaya pada bass diseimbangkan dengan kayu sonokeling yang kuat pada frekuensi middle dan treble nya; sebuah konsekuensi langsung dari tingkat kekerasan dan kepadatan suatu material kayu. Penggabungan dua karakter kayu ini ibarat proses equalizing di antara properti material instrumen yang perlu diutamakan, mengingat bentuk padat dari badan E-bab tidak dapat menyediakan ruang resonansi dan vibrasi seperti halnya badan gitar klasik.

E-bab dirancang dengan format fretless untuk memberikan keleluasan pemilihan tangga nada dan hanya memiliki dua senar; senar di atas difungsikan sebagai nada konstan berfrekuensi rendah (drone) sementara senar bawah berfungsi untuk memainkan notasi melodi. Mekanik pembunyian alat ini bertumpu pada putaran rotor logam yang tersusun dari rangkaian mesin colt diesel dan roda caster bekas. Penggunaan panel logam pada bagian badan juga sengaja dipilih untuk membuat kualitas akustik terdengar lebih bright.

Foto: Selasar Pavilion.

Intuisi

Kurator Pameran Cocok Nada Artiandi Akbar menuturkan, beragam alat musik dan bebunyian pada pameran ini hadir sebagai medium refleksi di dalam konteks disiplin desain. Rentang objek telaah yang ditampilkan meliputi alat musik konvensional hingga alat bebunyian yang dibuat secara intuitif maupun eksperimental.

Dalam pameran ini, dapat terlihat komposisi elemen dari sebuah alat dan relevansinya terhadap suatu kejaran kualitas tertentu. Proses “penyetelan” (tuning) yang cukup familiar dalam keseharian bermusik, secara langsung menjadi metode yang logis dalam proses perancangan alat musik dan bebunyian itu sendiri.

“Proses tersebut dapat dianalogikan sebagai rangkaian iterasi untuk mencapai kecocokan yang akhirnya disepakati perancang maupun pengguna. Sebab itu juga, pameran ini hadir untuk mengangkat beragam aktor, faktor dan jejaring yang mendukung tercapainya nilai ‘kecocokan’ di dalam pembuatan alat musik dan bebunyian,” katanya.

Ia menambahkan, beberapa alat yang dibuat di sini adalah objek perancangan yang melibatkan proses lini perakitan, beberapa yang lainnya adalah hasil pembuatan perorangan yang menempatkan dirinya sebagai pengepul, pemahat, teknisi, pandai besi, tukang, perancang grafis, dan juga perancang suara di saat yang bersamaan.

Proses yang majemuk tersebut memberikan gambaran bahwa di dalam konstruksi alat musik dan bebunyian, diperlukan peran dan juga lintas keterampilan yang tidak kalah majemuknya.

“Dengan terungkapnya relasi dan kesepakatan di antara berbagai aspek tersebut, sebuah alat musik dan bebunyian pada akhirnya dapat kita pahami sebagai suatu komposisi yang utuh. Cocok Nada di dalam hal ini, adalah konsekuensi langsung dari kumpulan hal-hal yang berbeda sifat, yang bersatu padu sebagai sebuah desain,” tuturnya.

Tentang Selasar Pavilion (Selasar Pav)

Selasar Pavilion

Pada paruh kedua tahun 2022, Selasar Sunaryo Art Space membuka ruang baru bernama Selasar Pavilion (Selasar Pav). Pembangunan ruang baru ini mendapat dukungan dari keluarga dan teman Selasar yang bekerja sama untuk misi pendidikan publik yang lebih luas di luar disiplin Seni Rupa.

Melalui inisiasi resminya di awal tahun 2023, Selasar Pav akan dikembangkan sebagai ruang pamer beserta ekosistem pendukungnya untuk memproduksi pengetahuan seni terapan, desain, arsitektur, dan kerajinan.

Selasar Pav menghuni salah satu area terpisah di sekitar Selasar Sunaryo Art Space dan dilengkapi oleh ruang pameran tertutup, teater terbuka, area kantin, kantor dan fasilitas umum lainnya. Dalam penyelenggaraan program jangka panjangnya, Selasar Pav akan menginisiasi program-program mandiri, kemitraan maupun bentukan penyelenggaraan lainnya sebagai platform pendidikan yang inklusif di tengah masyarakat Indonesia maupun dalam lingkup internasional.

Galeri berisi foto-foto karya Pameran Cocok Nada bisa diakses melalui link berikut: Galeri Pameran Cocok Nada.***

Posts created 399

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top