Pameran Ajeg Melampaui Diri: Pijar Beuys di Kegelapan Bioskop Dian


Goethe-Institut Bandung dan 13 seniman menyajikan pameran ‘Ajeg Melampaui Diri’, di eks Bioskop Dian, Bandung, 17 Maret-24 April 2022. Foto: Muhammad Fikry Mauludy/mikrofon.id.

MIKROFON.ID – Urukan tanah setinggi 30 sentimeter dibentuk keliling menjadi dinding sebuah kolam seluas 4×2 meter. Kolam ini membendung air bertabur bunga-bunga, yang mengambang begitu tenang.

Di sejumlah penjuru tertancap bongkahan beton, yang diselingi wadah bambu berisi bunga.

Kolam itu mengisi ruang yang dahulu berderet kursi-kursi penonton film layar lebar, di kolong atap tinggi, di bawah langit-langit rompal, di eks Bioskop Dian Bandung.

Kolam itu merupakan karya Farhan Deniansah, satu dari 13 seniman yang menghidupi “gelapnya” eks Bioskop Dian lewat Pameran ‘Ajeg Melampaui Diri’, di eks Bioskop Dian, Bandung, yang digelar 17 Maret-24 April 2022.

Dari karya itu, Farhan melihat manusia bukanlah penghuni tunggal bumi, namun seringkali berlagak layaknya yang berkuasa. Alam dijajah, tanah dikeruk, danau diuruk, mahluk dianiaya dengan cueknya.

Generasi terus berganti, semua sudah rusak, semua sudah hilang, namun manusia justru saling menyalahkan.

“Karya ini mengajak untuk mengenang bahwa pada mulanya tanah Bandung merupakan danau purba besar, sehingga memiliki banyak danau-danau besar dan kecil yang tersebar di dalamnya,” tutur Farhan, mahasiswa Seni Rupa Murni FSRD Universitas Kristen Maranatha yang fokus di studio mix media dengan keahlian lukis dan patung itu.

Goethe-Institut Bandung dan 13 seniman menyajikan pameran ‘Ajeg Melampaui Diri’, di eks Bioskop Dian, Bandung, 17 Maret-24 April 2022. Foto: Muhammad Fikry Mauludy/mikrofon.id.

Dari layar lebar bioskop rancangan Wolff Schoemaker itu, ada karya Shelvira Alyya Putri Anjani. Mahasiswi program studi Film dan Televisi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung ini menayangkan soal pernikahan dari perspektif perempuan lewat film pendek “Lamun.”

Tayangan film berdurasi 7.31 menit itu seakan memutar ulang sejarah gedung, yang sejak nyaris 100 tahun lalu berfungsi sebagai ruang hiburan warga penikmat visual-bergerak.

Melalui “Lamun,” Shelvira mencoba menerka-nerka posisi perempuan di tengah peradaban. Berawal dari berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar, terutama kepada lingkungan perempuan terdekat mengenai pernikahan, Shelvira terdorong membuat karya yang membicarakan pernikahan dan perempuan.

Memaknai kata “lamun” dari bahasa Sunda yang berarti “jika”, “kalau”, “semisal”, ia membayangkan peristiwa yang telah atau sedang dialami oleh lingkungan perempuan dan akan atau bisa jadi tidak mungkin terjadi kepada dirinya sebagai perempuan.   

“’Lamun’ menjadi sebuah judul yang berarti ‘kalau’, menceritakan bagaimana kalau hal yang biasanya dilakukan oleh laki-laku berubah menjadi dilakukan oleh perempuan,” tuturnya.

Goethe-Institut Bandung dan 13 seniman menyajikan pameran ‘Ajeg Melampaui Diri’, di eks Bioskop Dian, Bandung, 17 Maret-24 April 2022. Foto: Muhammad Fikry Mauludy/mikrofon.id.

Dari karya foto hadir Dike Trivinggar dengan judul “Bioskop Dian”.  Melalui serangkaian foto-fotonya, Dike menangkap gelap dalam makna indrawi di tengah gedung minim pencahayaan, dan gelap yang bermakna “asing.”

Dike memaknai gelap dalam dwimakna sebagai kualitas yang positif, dan juga “asingnya” ruang sesungguhnya menandakan bahwa ada “sesuatu lain” yang inheren dengan Bioskop Dian, yang menunggu untuk dikenali dan diekspresikan.

Bagi Dike, bermain cahaya adalah pilihan yang masuk akal untuk merespons atmosfer Bioskop Dian. Ia melakukan sedikit intervensi singkat terhadap permukaan bagian interior bioskop di lima titik berbeda yang ia anggap menarik.

Intervensi yang dilakukan yakni mengaplikasikan material reflector yang dapat memantulkan cahaya ketika tersorot sinar dalam area gelap, untuk kemudian dipotret dengan kamera beserta lampu kilat.

“Lewat seri karya fotografi berjudul ‘Bioskop Dian’, saya bermaksud menciptakan ruang yang ‘baru’ dari ruang yang lama dan memberi penegasan atas kehadiran Bioskop Dian,” ujar Dike.

Warisan Beuys

Eksplorasi artistik oleh 13 seniman ini dihadirkan bersama dua kurator pameran ‘Ajeg Melampaui Diri’ Erik Pauhrizi dan Tisna Sanjaya, serta Goethe-Institut Bandung.

Berdasarkan catatan kuratorial pameran ini, ‘Ajeg Melampaui Diri’ merupakan proyek pameran dalam merespons pengembangan keberlanjutan estetika warisan Joseph Beuys.

Sebuah proyek pameran yang dilandasi oleh proses lokakarya “Ajeg Pada Jejak”, interaksi antara psikologi manusia, artefak representasional, konteks sejarah, lingkungan digital dan identitas budaya nusantara yang mendasari pemahaman komprehensif juga pengalaman estetis untuk merekam reaksi emosional dan memberikan kontribusi terhadap penyelidikan praktik estetika.

Pameran ini menjadi laboratorium untuk melakukan perluasan terhadap konsep seni dari prinsip-prinsip artistik yang mapan, di mana setiap seniman muda belajar dan berpartisipasi secara aktif untuk bertindak dalam menyelaraskan logika, spiritual dalam diri, memperpanjang bagaimana budaya adat leluhur lebih suka menjalin, membuat hubungan dalam mempengaruhi dan menghasilkan pemikiran dan perasaan.

Beuys yang tidak henti-hentinya menyerang gagasan tradisional seni modern dengan demokrasi dan radikalisasi tentang konsep seni dalam wacana interpretatifnya sendiri.

Ia menghapus pemahaman umum tentang peran tunggal seniman dan menunjukan bahwa seniman dapat berperan lebih dari satu bahkan dua, tidak hanya menjadi pelukis atau pematung tetapi bisa juga secara bersamaan menjadi politikus, filsuf, sejarawan, etnolog, memproyeksikan citra dirinya kepada publik menjadi seorang visioner, spiritualis, dan penyembuh.

Memahami Beuys yang kemudian diartikulasi ulang oleh seniman-seniman muda pada Pameran ‘Ajeg Melampaui Diri’, beberapa seniman di antaranya menggunakan proses seni sebagai ruang penyembuhan dari keyakinan yang berlebihan dan harus dibebaskan dari kepercayaan patologis kuasa akal.

Kolaborasi

Goethe-Institut Bandung bersama Erik Pauhrizi dan Tisna Sanjaya berusaha mengelaborasi interaksi antara psikologi manusia, artefak representasional, konteks sejarah, lingkungan digital, dan identitas budaya Nusantara melalui pameran ‘Ajeg Melampaui Diri’ yang diselenggarakan pada Kamis, 17 Maret sampai dengan Minggu, 24 April 2022.

Pameran ini dilandasi oleh proses lokakarya ‘Ajeg Pada Jejak’ yang diadakan pada Oktober 2021 dalam mengembangkan warisan estetika Joseph Beuys.

Ketiga belas seniman terlibat memiliki latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang beragam, dari mahasiswa di perguruan tinggi negeri dan swasta, tenaga pengajar, pekerja lepas, desainer, hingga pegiat seni tradisi.

Mereka mendaftarkan diri mereka untuk lokakarya ‘Ajeg Pada Jejak’, dan kemudian diberikan alokasi waktu selama dua bulan untuk memproduksi karya yang kemudian dipamerkan.

Seniman yang terlibat dalam pameran ini yakni Agung Eko Sutrisno, Antonia Putri, Audya Amalia, Dike Trivinggar, Dimas M. Iqbal P. B., Dwi Prayudha, Farhan Deniansah, Fatimah Afnantwina Refyan, Nur Ilham Natsir, R. Reihan A. Bratasoerja, Shelvira Alyya Putri Anjani, Tara Shakin, dan Widi Asari.

Erik Pauhrizi dan Tisna Sanjaya selaku kurator berusaha untuk mempertemukan berbagai disiplin dalam penyusunan seniman terlibat.

Pameran ‘Ajeg Melampaui Diri’ diselenggarakan bekerja sama dengan Fakultas Pendidikan Seni dan Desain UPI dan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.

Rangkaian pameran ‘Ajeg Melampaui Diri’ juga menyediakan berbagai kegiatan pendukung yang bisa diikuti oleh publik. Tur berjalan kaki hari Jumat, 18 Maret bersama Bandung Good Guide menelusuri sejarah yang hidup di kawasan Jl. Asia Afrika dan berakhir di eks Bioskop Dian.

Sesi diskusi terbagi menjadi dua, sesi wicara seniman diadakan pada Jumat, 25 Maret 2022 dan sesi wicara kurator diadakan hari Jumat, 1 April 2022.

Aktivitas lain yang juga terbuka bagi publik adalah pemutaran film yang dilangsungkan setiap Sabtu tanggal 9, 16, dan 23 April 2022, pukul 14.00 WIB.

Goethe-Institut Bandung dan 13 seniman menyajikan pameran ‘Ajeg Melampaui Diri’, di eks Bioskop Dian, Bandung, 17 Maret-24 April 2022. Foto: Muhammad Fikry Mauludy/mikrofon.id.

Berikut ini sekilas biografi singkat kurator dan seniman Pameran ‘Ajeg Melampaui Diri’ yang diperoleh dari data Goethe-Institut Bandung:

Kurator

Erik Pauhrizi menyelesaikan Diplom Freie Kunst pada tahun 2012 di Hochschule für Bildende Künste Braunschweig (HBK), berikut Meisterschüler Freie Kunst pada tahun 2016 dengan penghargaan Meisterschüler Prize 2016.

Erik saat ini mengajar di Program Studi Film dan Televisi UPI dan juga aktif berkarya dan berpameran baik di dalam maupun di luar negeri dengan fokus kepada isu-isu Post-Kolonial/ De-Kolonial melalui pendekatan seni visual dan film eksperimental.

Adapun Tisna Sanjaya adalah dosen di Institut Teknologi Bandung dan pernah terlibat di berbagai perhelatan seni di dalam maupun luar negeri. Tisna Sanjaya kuliah seni di Indonesia dan Jerman.

Praktik artistik Tisna sering mengangkat isu-isu politik, sosial dan juga lingkungan hidup. Ia kerap melakukan proses penciptaan di ruang publik secara interaktif untuk memantik kesadaran masyarakat tentang kenyataan-kenyataan sosial yang timpang.

Seniman

Agung Eko Sutrisno Visual dan Performance Artist yang tinggal dan bekerja di Kota Bandung, menempuh program studi patung ISBI Bandung mendirikan prfrmnc.rar yang konsen dalam Pengumpulan Arsip, laboratorium, ruang diskursus performance art di Bandung dan juga pendiri KAPITAL SPACE bandung. Dalam praktik keseniannya ia tertarik pada sejarah, nilai-nilai arsip dan pelestarian ingatan kolektif dan ia menelusuri ulang hubungan sejarah dan antroposentris sebagai upaya melihat peristiwa kota yang terjadi.

Pada tahun 2019 Eko masuk menjadi Semifinalis Bandung Contemporary Art Awards (BACAA 6). Biennale performance art Singapore Power Play (2020). Ring project Jakarta Biennale (2021)

Antonia Putri akrab disapa Antonia, Dian, Putri, atau Depe. Dari kecil ketertarikannya terhadap seni, seperti bernyanyi, menggambar, dan menulis cerita. Saat ini sedang masih menjadih mahasiswi seni terpadu (Integrated Arts) dengan konsentrasi seni visual di Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR).

Dalam praktik karyanya ia kerap berimajinasi dan menumpahkannya pada gambar dan tulisan.

Audya Amalia lahir di Bandung pada tahun 1996. Ia menempuh pendidikan di Studio Patung Seni Rupa Institut Teknologi Bandung dan lulus pada tahun 2019. Dalam proses pembuatan karya, Audya memliki ketertarikan pada patung, instalasi, dan seni serat.

Dalam karyanya dua tahun terakhir, ia menerapkan proses berkarya dengan pendekatan relasional dan dialogis. Ia pun memiliki kedekatan dalam topik domestik, perempuan, dan sejarah.

Dike Trivinggar adalah perupa dan pengajar yang kini berdomisili di Bandung menyelesaikan studi seni di Universitas Telkom pada tahun 2019. Di tahun yang sama melakukan pameran tunggal pertamanya di Studio Batur, dan di tahun 2021 pameran mini tunggal yang bertajajuk “6 Degrees” di galeri Konter, Bandung.

Selain berkarya kini ia mengajar mata kuliah Studio Lukis dan Studio Intermedia di Universitas Telkom sebagai Asisten Dosen dan aktif sebagai salah satu anggota Indeks, sebuah inisiatif riset independen seni yang berbasis di Bandung.

Dimas M. Iqbal P. B. lahir dan melanjutkan studi di Bandung, Dimas merupakan seorang pekerja lepas setelah menuntaskan studinya di bidang desain interior. Karya yang dibuatnya sering mengangkat tema tentang „memori beserta ruang yang dimiliki manusia,, dan dalam eksplorasi karyanya ia menerapkannya dalam bentuk dua dimensi dan bahkan tiga dimensi.

Dwi Prayudha menyelesaikan studinya dengan jurusan ekonomi management di Binus University. Ketertarikannya terhadap seni disalurkan dalam praktinya menggambar, melukis, membuat patung, dan bercerita melalui gambar bergerak. Dalam praktik seninya ia tertarik membahas tentang manusia, ekosistem dan alam.

Farhan Deniansah Lahir di Tangerang dan tumbuh besar di Jakarta. Mahasiswa Seni Rupa Murni FSRD Universitas Kristen Maranatha dan fokus di studio mix media dengan keahlian lukis dan patung. Ketertarikannya terhadap seni kontemporer baik dari segi visual maupun konseptual. Pada tahun 2019 menjadi finalis 24 besar Kompetisi Trimatra Salihara.

Fatimah Afnantwina Refyan merupakan mahasiswi semester 5 di jurusan Desain Komunikasi Visual di ITENAS Bandung. Dalam praktik di displinnya ia terbiasa dengan membua elemen-elemen visual dan merancang konsep desain.

Hal apa yang dia pelajari memberikan ketertarikan tersendiri terhadap seni sebagai eksplorasi pemikiran imajiner, ekperimental. Baru-baru ini mengikuti program kreativitas mahasiswa, yang di mana menggunakan pendekatan iptek dengan objek penelitian Seniman di Desa Lukis Jelekong.

Nur Ilham Natsir alumni Seni Rupa Universitas Telkom tahun 2019. Setelah menyelesaikan masa studi ia menggelar pameran tunggal pertama berjudul ‘Dalam Ruang Pertemuan’ dan ikut serta dalam perhelatan BIJABA #1 Biennale Jawa Barat di Thee Huis Gallery, Taman Budaya Jawab Barat, Bandung.

Dalam praktik kerja keseniannya kerap “bermain-main” dengan objek benda-benda, visual ataupun teks dan sejak 2021 bergabung dan berkontribusi dalam kelompok teater Samana.

Reihan A. Bratasoerja mahasiswa di program studi Film & Televisi Universitas Pendidikan Indonesia. Karya seni yang ia kerjakan secara khusus adalah audio visual, tetapi ia pun menggambar, melukis dan melakukan eksperimen dengan berbagai macam media.

Apa yang ia coba angkat dalam karyanya membahas soal diri sendiri dan berhubungan dengan ingatan masa lalu, yang merupakan bagian dari sejarah.

Shelvira Alyya Putri Anjani lahir di keluarga yang cukup kental akan kesenian tradisi, seperti penari, sinden, reog dan pencak.

Hal tersebut memberikannya cukup banyak pengaruh dalam praktik berkarnya, sekarang ia sedang melakukan studinya di program studi Film dan Televisi UPI.

Secara kekaryaannya Shelvira fokus dalam praktik tari dan peran, kemudian dua hal tersebut ia kembangkan dan eksplorasi dengan medium gambar, video atau film. Isu yang sedang ia kerjakan sekarang mengenai perempuan, sebagai sebuah proses mengenal diri berdasarkan respon, pengalaman, pengetahuan dan energi di lingkungan sekitar dari perempuan itu sendiri, untuk dirinya atau yang lain.

Tara Shakin adalah seniman lukis dan drawing yang karyanya mencoba memahami trauma masa lalu yang kemungkinan memberikan dampat pada Kesehatan mental, melalui proses berkarya yang ia lakukan, seni dapat diterapkan menjadi sebuah terapi untuk meleburkan trauma.

Ia menyelesaikan studi seni rupa murni di FSRD Universitas Kristen Maranatha. Lalu pada 2019 ikut serta dalam pameran “Asia International Friendship Exhibition (AIFE)”, Tokyo, Japan dan selama 2020 dan 2021 aktif dalam pameran virtual.

Widi Asari seorang fashion designer yang melihat residu tekstil sebagai penyebab “luka” baik bagi manusia dan non-manusia. ia tinggal di kawasan industri tekstil dan melakukan praktik fashion dengan menggunakan material dari residu tekstil. Menciptakan karya fesyen/tekstil menggunakan perspektif area abu-abu yang sering tidak terlihat dan mengkomunikasikan “luka” yang membentang dari hulu-hilir industri tekstil.***

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top