Menyusuri Jantung Kota Bandung Bersama Riau Riung

GoetheKonter kembali hadir mengalirkan ide besar yang kali ini dipresentasikan melalui program Riau Riung. Program kolaborasi Goethe-Institut Bandung dengan Indeks ini menampilkan karya-karya ringkas tiga seniman yakni Yudrika Nur Adilla, Faqih Allawii, serta Gandhi Eka.

Karya yang dipamerkan sepanjang 20 November hinga 11 Desember 2022 ini merespons pengalaman dan persoalan yang sering ditemui, atau boleh jadi luput dari perhatian di seputaran Jalan L.L.R.E. Martadinata, atau yang lebih dikenal dengan Jalan Riau, Bandung.

Dinukil dari catatan Indeks, radius satu kilometer atau 10 menit berjalan kaki dari Goethe-Institut dipilih menjadi sampel spasial dari gagasan ini. Dalam radius tersebut, Jalan Riau menjadi penghubung bagi kegiatan vital perkotaan – pemerintahan sipil, kawasan olah raga, perniagaan, administrasi pertahanan militer, dan ruang rekreasional lainnya.

Payung gagasan ini menjadi titik berangkat untuk melihat bagaimana ruang perkotaan sekaligus berfungsi sebagai ruang sosial untuk bertemu, berinteraksi, bertukar gagasan, dan, pada titik tertentu, menegosiasikan perubahan.

Perubahan fisik dan fungsi ruang, tentunya berkelindan dengan bergesernya perilaku sosial. Peran multifacet yang dimiliki kawasan Jalan Riau turut melandasi pemilihan para seniman GoetheKonter.

Masa Inkubasi

GoetheKonter di Riau Riung ini diawali dengan proses inkubasi selama enam minggu sejak Oktober 2022. Program ini diikuti tiga seniman Bandung. Dari hasil inkubasi ini, seniman mengisi masing-masing dua buah Konter, atau galeri mikro dengan karya mereka yang berukuran tidak lebih dari 40x40x80 sentimeter. Karya-karya ini dipamerkan di Goethe-Institut Bandung, Seroja Bake, dan Yumaju Coffee.

Pada periode inkubasi, ketiga seniman melakukan serangkaian observasi lapangan dan dialog bersama para impuls yang terdiri dari Ismail Reza (perancang perkotaan), Jeong-ok Jeon (kurator seni rupa), dan Aprianti (praktisi ilmu filsafat).

Dialog bersama impuls merupakan kesempatan di mana para seniman dapat bertukar gagasan dan mendapat masukan agar lebih kritis melakukan pengamatan, mengolah temuan lapangan, dan mengerucutkan gagasan artistiknya. Proses ini berjalan paralel dengan produksi kekaryaan seniman di studio.

Proses inkubasi ini efektif memperluas jangkauan riset para seniman partisipan, dan secara bersamaan mempertajam ekstraksi artistiknya. Proyek yang subyek amatannya berangkat pada aspek yang kasat mata – infrastruktur fisik ruang dan perilaku manusianya – akhirnya termanifestasi pada narasi-narasi kecil yang terelaborasi dengan lebih fokus.

Mikrobiologi

Ketiga seniman yang terlibat memiliki praktik artistik yang secara gagasan dan pendekatan formal cukup beragam satu sama lain. Yudrika Nur Adilla adalah seniman trimatra yang akrab dengan medium tekstil sebagai elemen soft sculpture.

Sementara Faqih Allawii adalah seniman yang kerap bereksperimen dengan mikroorganisme untuk instalasi seni-media. Adapun pendekatan yang lebih naratif dan figuratif tampak pada praktik Gandhi Eka, seorang illustrator yang banyak bekerja dengan sequential arts.

Selain keragaman pendekatan artistik, dialog intergenerasi turut menjadi pertimbangan agar proyek seni ini juga bisa menjadi pembacaan atas berbagai perubahan spasial, yang biasanya terekam sebagai fragmen ingatan pada sebagian kelompok yang tumbuh pada rentang waktu tertentu.

Sebagian lainnya secara tersaji sebagai sebuah observasi yang lebih dekat, layaknya kultur mikroorganisme di cawan petri sebagai residu perjumpaan manusia yang dihadirkan pada karya Faqih Allawii, yang dengan mudah mengingatkan kita pada perubahan perilaku mawas kebersihan personal pascapandemi.

Faqih menguak bagaimana manusia berinteraksi dengan alam dan sesamanya. Riau Riung ini ia respons dengan menangkap mikroorganisme yang tersisa dari momen pertemuan dan cengkerama manusia.

Faqih mengambil sampel jejak tangan dari ruang publik dan fasilitas umum di sekitar Riau, Saparua, tempat duduk, sendok makan, gantungan baju, hingga tiang halte. Jejak mikrobiologi ini memvisualisasikan pertemuan yang tidak terlihat. Sampel itu ia olah di laboratorium mikrobiologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

“Kita sebenarnya saling bertukar mikrobiologi. Itu jadi inspirasi awal dua tahun lalu, saat penyebaran Covid-19 begitu masif. Hal sekecil apapun bisa mengubah semuanya,” ujar Faqih.

Dalam sajian audio-visual, bakteri yang ditampilkan secara makro divisualisasikan melalui LCD 6 inch. Karya Faqih juga diperoleh dari bakteri keringat hasil pasangan penampil performing dance pasangan yang saling menyentuh kulit satu sama lain.

Dalam proses pertemuan mikrobiologi ini tertangkap elemen visual berupa bentuk, warna, pola, dan tekstur yang berkoloni dan saling berkoneksi.

“Dalam sebuah pertemuan terhasilkan sebuah ikatan, layaknya koneksi antara manusia dan lingkungannya sebagai simpul dan ikatan,” ucap lulusan prodi Desain Komunikasi Visual, Universitas Telkom, Bandung.

Trotoar

Pendekatan interaktif pada Konter milik Yudrika memungkinkan audiens untuk menyentuh karya secara langsung. Ini dapat dilihat sebagai sebuah simulasi perilaku terhadap guiding block, subyek yang menjadi tema sentral karya Yudika, seharusnya berfungsi secara sensoris.

Yudrika memburu jenis bahan yang spesifik dan beredar terbatas dari pakaian impor di Pasar Gedebage. Material itu yang membentuk soft sculpture bersama silicon yang dibalut benang.

Karya mahasiswi lulusan pendidikan Seni Rupa di Institut Seni dan Budaya Indonesia, Bandung itu menggambarkan kesemerawutan trotoar yang tak beraturan.

Melalui karya-karya “Sidewalk Series” Yudrika berupaya menyentil kesadaran audiens akan fenomena trotoar di Jalan Riau yang seringkali rumpang. Penyelesaian misi sederhana untuk mencari dan melengkapi detail karya yang hilang; pemilihan berupa kain dan benang yang aksesibel untuk audiens dengan keterbatasan penglihatan; serta dikemas dalam permainan sensorik berkontinuitas di antara karya dijadikan metode untuk membangun interaksi pengalaman unik dengan audiens.

“Karya ini membahas tentang bagaimana trotoar belum inklusif. Guiding block yang belum sepenuhnya menghadirkan fungsi. Banyak sekali trotoar sempit ditempatkan bollard. Masalah utama trotoar itu keamanannya. Apalagi bagi orang hamil dan mereka dengan keterbatasan,” tutur Yudrika.

Selokan

Pada karya Gandhi, yang berfokus pada soundscape infrastruktur drainase di sejumlah brandgang, melibatkan elemen audio, yang bisa jadi malah lebih dulu menjangkau audiens bahkan sebelum mereka melihat atau sadar akan keberadaan Konter dan karyanya.

Ia berangkat dari riset kamar mandi yang mengungkit peran selokan dalam fase selanjutnya. Ini mengingatkan kembali dirinya betapa selokan itu seumpama siklus aliran di tubuh manusia.

“Semua tergantung pada bagaimana memperlakukan saluran serta kebersihannya.

Bagaimana kita mengelola dan menyadari ada kehadiran selokan. Paling tidak mengetahui langkah berikutnya, apa yang sebaiknya kita lakukan dengan selokan ini. Dari video ini kita bisa melihat lebih dekat kehidupan di selokan,” ujar Gandhi, desainer yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung itu.

Dari hasil pengamatannya, selokan di sekitaran Jalan Riau memang cenderung bersih dan berkarakter selokan kering. Tetapi ia menemukan beberapa titik selokan yang teraliri berbagai macam air buangan.

Tinggi muka airnya memang tak signifikan. Warna air pun terhitung masih bening, tak terlalu keruh hitam atau kecoklatan. Gandhi memanfaatkan action-cam GoPro miliknya untuk menjelajahi dasar selokan.

Kamera kecil yang ditautkan ke tongkat ini menyusuri ekosistem selokan yang dipenuhi ragam objek seperti batu hingga tanaman selokan. Dalam kotak pamer GoetheKonter di Yumaju Coffee, karya Gandhi dibarengi dengan headphone dan mini LCD untuk menikmati karya audio-visual itu.

Gandhi juga membuat ragam karya ilustrasi seperti infografis perjalanan air dari kamar mandi hingga mengalir ke berbagai tujuan, atau yang percakapan para tikus got bernada menggelitik semacam “di-slow kan” sampai “Kisah Kasih Di Selokan.”

Konter

Indeks mencatat, narasi-narasi seputar ruang perkotaan dan perubahannya yang dibawa sebagai tema GoetheKonter edisi kedua ini secara tidak langsung merefleksikan karakter teknis Konter sebagai galeri mikro.

Sejak awal, konter-konter transparan ini digagas sebagai ruang presentasi gagasan artistik yang adaptif terhadap berbagai batasan spasial, menjangkau khalayak yang sebelumnya berjarak dari ruang pamer yang mapan, dan alternatif bagi skala produksi yang terbatas secara logistik.

Pada perhelatan pertama, seniman yang terlibat “patuh” pada kapasitas dimensional konter. Sedangkan di perhelatan yang kedua ini, sebagian seniman menunjukan usaha untuk keluar dari batasan ruangnya, seperti karya Yudrika yang memungkinkan disentuh langsung spektator.

Selama periode presentasi karya, sejumlah program publik seperti walking tour dan program partisipatoris oleh masing-masing seniman digelar secara berkala.

Ruang studio tempat seniman menghabiskan enam minggu untuk melakukan produksi karya, dibuka untuk publik dan menjadi ruang perpanjangan gagasan artistik yang lebih luas dari konter transparan tempat karya dipamerkan.

 

Seniman

Faqih Allawi (lahir 1998) lulus dari prodi Desain Kommunikasi Visual, Universitas Telkom, Bandung. Selain berkerja sebagai seorang desainer, Faqih tertarik dengan praktik kekaryaan lintas disiplin yang melibatkan entitas mikrobiologi. 

Gandi Eka (lahir 1987) adalah desainer yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Ilustrasi-ilustrasinya telah menjadi bagian dari beberapa proyek, antara lain sampul album Muchos Libre dan poster Sundance Film Festival Asia 2021. 

 Yudrika Nur Adilla (lahir 1998) menyelesaikan pendidikan Seni Rupa di Institut Seni dan Budaya Indonesia, Bandung. Karya-karya patung dan instalasinya mengeksplorasi berbagai kemungkinan artistik, seperti material resin dan teknik rajut.

Impuls

Aprianti adalah mahasiswi jurusan Filsafat Budaya. Beberapa minat studinya seringkali berkaitan dengan filsafat Timur, filsafat feminisme, persoalan ketubuhan, hingga kosmologi Sunda. Aprianti merupakan bagian dari Kelas Isolasi, sebuah platform kelas filsafat online yang diinisiasi secara independen.

Ismail Reza adalah seorang Urban Designer yang telah memiliki pengalaman profesional di konsultan lokal maupun internasional untuk proyek masterplan, juga merupakan anggota aktif Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Ketertarikannya pada Seni Visual menjadikan Ismail Reza sebagai salah satu pendiri Bandung Center for New Media Arts pada tahun 2001.

Jeong-ok Jeon adalah kurator dan pengajar asal Korea yang berbasis di Jakarta, ia memiliki ketertarikan kuat terhadap seni media baru, seni dan sains, dan pendidikan kurator. Jeon saat ini menjabat sebagai direktur ARCOLABS, sebuah inisiatif kurator independen dan dosen tetap jurusan Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Indeks

Diinisiasi pada Februari 2020, Indeks memiliki tiga tujuan utama: melacak kembali perkembangan ekosistem seni rupa di Bandung, mengisi peran sebagai pusat penelitian independen dan platform pengarsipan crowd-sourced, serta memupuk dialog dan mendorong pertukaran pengetahuan di antara para praktisi seni rupa. Fokus Indeks adalah pada arsip dan perpustakaan, penelitian dan pengembangan, residensi seniman, program film dan gambar bergerak.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: