
Sejak rampung pada 2019, lukisan Ruwatan Tanah Air Beta, Reciting Rites in Its Sites, karya Zico Albaiquni tak bisa meninggalkan ruang tempatnya dikoleksi, di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda.
Baru pada 8 April sampai 29 Mei 2022, karya berukuran 3×6 meter ini akhirnya bisa “dihadirkan” demi melengkapi bagian penting Pameran Menyatakan Jarak: Bandung-Leiden, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung.
Dengan keterbatasan izin National Museum van Wereldculturen, karya ini hanya bisa menampilkan citraan digitalnya, lewat proyektor yang menayangkannya di dinding Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space.
Karya ini menjadi permanent exhibition atau dipamerkan terus menerus di Tropenmuseum. Lukisan Ruwatan Tanah Air Beta, Reciting Rites in Its Sites menjadi hasil karya seniman Bandung, dibuat di Bandung, tetapi belum sekali pun dipamerkan di Tanah Air.
Karya Zico yang jauh terpisah ini mengingatkan kembali pada sejumlah warisan dan artefak penting sejarah bangsa Indonesia yang begitu berjarak pascakolonial.

Terhubung Imajinasi
Seniman Theo Frids Hutabarat menjadi inisiator terwujudnya Pameran Menyatakan Jarak. Proyeknya, Anonim, telah terpilih sebagai pemenang panggilan terbuka seniman Atelier KITLV (Koninklijk Instituut voor -Taal Land- en Volkenkunde) Belanda pertama, yang diadakan sepanjang 2022-2023.
Atelier KITLV merupakan program eksperimen pengetahuan dalam seni, aktivisme, dan akademia, bekerjasama dengan organisasi seni Framer Framed dari Amsterdam.
Presentasi hibrid Menyatakan Jarak: Bandung-Leiden adalah seri pertama dari proyek Anonim, yang terselenggara atas dukungan serta kerja sama Selasar Sunaryo Art Space dan Integrated Arts Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR).
Proyek besar Anonim memiliki latar ide dari dibukanya arsip-arsip kolonial di KITLV secara digital dan daring. KITLV sebagai institut riset telah menyimpan dan mempelajari bekas-bekas jajahan Belanda di Asia Tenggara dan Karibia sejak 1851.
Dibukanya arsip digital itu menjadi ambang kepada “dunia lain,” yang menyebut tanah dan ruang di Indonesia yang kita ketahui tetapi juga asing sebab ada di luar spektrum sejarah yang lumrah dikenal lewat pendidikan.
“Ini berakar dari pendidikan sejarah yang terpolitisir, di mana sejarah ‘nasional’ tersebar lewat kurikulum sekolahan, dan peredaran gambar-gambar yang ‘resmi’ dari sana. Berdasar pengalaman saya secara pribadi, di sini, sejarah malah menjadi lebih dibentuk berdasarkan keakraban terhadap gambar-gambar itu: di mana kita tahu apa yang kita wajib tahu, dengan tanpa ruang imajinasi,” tutur Theo, lewat pengantar kuratorial Pameran Menyatakan Jarak.
Theo menambahkan, pengekangan terstruktur atas informasi dan imajinasi ini begitu terlihat dalam keterangan-keterangan arsip foto sejarah. Wajah-wajah yang secara resmi dikenali disebut nama-namanya, sementara yang lain-lain, yang tak dikenal, hanya dilabeli anonim atau “tidak diketahui.”
Yang tak bernama atau yang tak diketahui itu dipahami sebagai ketiadaan hubungan, atau putusnya hubungan-hubungan kita dengan masa lalu. Arsip, terutama arsip fotografis, menjadi jejak dan sekaligus perantara untuk mengimajinasikan atau membayangkan kembali hubungan-hubungan itu kembali. Hubungan-hubungan yang dengan terpaut waktu dan ruang hidup menjadi “berjarak.”
“Proyek ini membayangkan bagaimana kita seolah-olah bisa kembali menjadi fotografer-fotografer yang mengambil gambar-gambar itu. Karya-karya dan kegiatan para kolaborator dalam proyek Menyatakan Jarak memberi ilustrasi bagaimana kesenian dapat menghidupkan kembali dan mewujudkan sejarah secara nyata, Menyatakan Jarak maka ingin mengangkat tafsir kontemporer yang relevan terhadap sejarah, untuk kita sekarang,” kata Theo.

Distorsi Sejarah
Karya Ruwatan Tanah Air Beta, Reciting Rites in Its Sites, yang dilukis Zico Albaiquni tentu menarik. Karya ini bicara tentang distorsi sejarah di atas kolonialisme di Indonesia, namun belum pernah gambarnya dilihat orang banyak di Indonesia setelah dikoleksi Belanda.
Zico menceritakan, karya ini merupakan hasil ruwatan terhadap ide didirikannya Kebun Raya Bogor. Proses lukis karya ini berbasis riset dan observasi. Ia bekerja sama dengan sejarawan, antropolog, sekaligus kurator, Sadiah Boonstra, yang tengah meriset Kebun Raya Bogor.
Sebelum menjadi kebun penelitian botani yang dirancang pemerintah kolonial Belanda, Kebun Raya Bogor merupakan ruang semedi penguasa Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi. Di dalam Kebun Raya Bogor, terdapat satu area penting cagar budaya yang dipilih Zico dalam lukisannya: Paniisan Siliwangi.
Saat dikuasai petinggi kolonial, Paniisan itu beralih fungsi menjadi gazebo yang tak lebih dari tempat bersantai. Dari ruang spiritual Prabu Siliwangi, Paniisan berubah menjadi tempat santai minum teh.
Pascakemerdekaan, lokasi ini kembali berubah fungsi menjadi Paniisan Soekarno. Fungsi dan makna tempat ini terus berubah, hingga kini menjadi sudut orang mencari wangsit.
Laboratorium Sawit
Di era kolonial, Kebun Raya Bogor menjadi bagian penting dalam mendanai penguasa saat itu. Kebun yang awalnya sakral menjadi laboratorium riset botani yang menghasilkan sains masa depan.
Dari hasil riset itu, pemerintah kolonial berhasil menumbuhkan kelapa sawit menjadi lebih besar. Narasi area spiritual telah berganti menjadi pencetak keuntungan yang patut diperhitungkan, dan mungkin hingga saat ini.
Dari penelusuran Zico, ruang yang sama juga memantik kisah menarik. Di situs itu terkumpul patung dan arca, tetapi dengan penempatan artefak yang terpisah-pisah, berjarak.
Di catatan Tropenmuseum, patung itu tercatat sebagai Patung Nandi, sapi perlambang kesucian Hindu. Dalam versi lainnya, patung itu bukan Nandi, tetapi Patung Mundinglaya, anak Prabu Siliwangi.
Penemuan lainnya, ada teks batu tulis. Banyak yang menyangka batu bertuliskan Sunda kuno ini ditemukan di seberang kolam. Ternyata batu itu dibuat orang Belanda sebagai dekorasi. Banyak juga yang menganggap ini petunjuk menuju harta karun.
Konteks sejarah berdasarkan kekuasaan ini menjadi sebuah jarak; sebuah arsip yang tidak dimiliki, sehingga orang menciptakan makna baru. Budaya menjadi berputar dan bergulir. Kemungkinan multitafsir luas terbuka.
Apalagi ada resureksi Sunda Wiwitan yang memfungsikan situs tersebut dengan posisi saat ini. Dalam prosesnya, Zico melakukan ruwatan sebagai pelengkap karya lukisan. Proses karya ini tidak langsung murni metoda. Ia memisahkan khazanah painting perspektif barat, menciptakan lukisan yang harus ada unsur spiritual.
“Posisi ruwatan itu mengandung makna ‘undo the wrong doing’. Kita bukannya melupakan, tetapi menyucikan niat menatap hal baru. Saya pakai untuk kritik institusi di sana,” ujarnya.
Zico menilai proses ruwatan merupakan ilmu yang penting untuk dipahami. Persoalannya, orang masih menganggap ritual tradisi sebagai konten pengetahuan yang tidak mengandung manfaat bagi peradaban modern.
“Selalu dianggap hierarki pengetahuan. Ruwatan itu hal yang belum kita pahami. Maka perlu dinaikkan, mistik ke harkat setara pengetahuan modern. Seringkali kacamata lampau dinilai primitif. Justru ini salah satu bagian pengetahun, yang mungkin didasari pengalaman intuitif atau spiritual. Justru menarik ketika proses dukun dan trans atau kemasukan, dan bercerita tentang keluarga, arsipnya ditemukan di sana. Memberi layer narasi yang bisa dibawa: bahwa Kebun Raya atau Indonesia punya banyak adegan yang bisa didefinisikan. Bangunan perspektif melawan luka kolonial, dan bagaimana dekolonial ini menjadi proses healing dari proses kolonial,” tutur Zico.

Merespons Masa Lalu
Theo menuturkan, Menyatakan Jarak adalah presentasi dari berkumpulnya seniman-seniman, pembuat film, peneliti, musisi, dan penulis di Selasar Sunaryo Art Space. Menyatakan Jarak menghimpun macam-macam cara realitas yang disampaikan dengan merespons dan memanfaatkan arsip masa lalu.
Kerja-kerja yang ditampilkan dalam kegiatan ini adalah kumpulan bahan perbincangan dan ruang interaksi untuk publik. Untuk memandang bentang lini narasi bersama; konstelasinya, dan alternatif-alternatif yang tidak lepas dari zaman dan pandangannya, dari konstruksi sosial, politik, bangunan resmi pengetahuan, serta budaya.
“Realitas pascakolonial sering membuat kita sebagai subjek lokal untuk justru asing kepada hal-hal yang semestinya bisa diidentifikasi sebagai dasar, latar, dan bagian-bagian diri kita dalam sejarah. Presentasi ini membayangkan satu situs jelajah bagi suatu ‘versi terbuka’ (unmediated versions) dari sejarah lewat bahan arsip, simbol-simbol, serta ungkapan-ungkapan seni,” kata Theo.
Selain Zico Albaiquni, format pameran dalam Menyatakan Jarak juga menampilkan Aulia Ibrahim Yeru, Bagus Pandega bersama Kei Imazu, Theo Frids Hutabarat, Zaldy Armansyah, dan lainnya.
Zaldy mencetak foto-foto yang ia unduh dari ruang digital arsip KTLV. Ia tertarik dengan foto satu sudut Sungai Citarum dan Taman Ganesa masa lalu. Zaldi mengajak pemirsa untuk menerka-nerka pandangan warga Bandung saat itu dengan suasana yang tampak dalam foto.
“Saya penasaran dengan sudah pudar, hitam-putih, seperti membayangkan masa lalu dengan warna sekitarnya. Saya beri kontras, material foto dengan material saat ini seperti plastik. Dulu kan belum ada plastik. Lanskap-lanskap masa lalu saya sengaja gabungkan mencoba memainkan masa lalu dengan warna-warna hari ini,” kata Zaldy.

Pasangan Bagus Pandega dan Kei Imazu membuat karya Artificial Green by Nature Green 3.0 yang berbentuk lukisan seputar sejarah pohon kelapa sawit di Indonesia. Berminggu-minggu, lukisan cat poster dan cat akrilik berwarna hijau rumput di atas kanvas itu perlahan-lahan dihapus oleh sapuan kuas dari mesin lukis elektronik.
Mesin lukis yang didukung synthesizer modular menggerakkan sinyal-sinyal listrik penggerak kuas, hasil koneksi jejaring kabel dari pohon kelapa sawit hidup yang ada di ruang pamer.
Karya ini melukiskan ide besar produksi masif perkebunan sawit yang akarnya dimulai sejak era kolonial. Fokus mendulang keuntungan dari sawit menghadirkan sistem tanam monokultur yang menghandurkan keragaman hayati.
Kanvas dipadati kolase penggambaran kedatangan Jepang. Mendominasi ruang kanvas, seorang pekerja berdiri di depan mesin kilang canggih buatan Surabaya untuk mengolah sawit. Bersama rencana mengambil alih kekuasaan, pasukan perang Jepang mengincar kilang minyak sawit di Sumatera untuk menebalkan pundi-pundi penyokong dana perang.
Selain menampilkan pergerakan dan tangkapan sejarah, karya dan program di Menyatakan Jarak juga menekankan aktivasi, sebagaimana ada kartu pos dari foto-foto arsip tentang Indonesia yang dicetak ribuan dan bebas diambil oleh pengunjung pameran.
Gambar-gambar ini dipilih dari foto yang beredar belakangan ketika arsip digital kolonial mulai dibuka. Dengan mengambil, pengunjung diharapkan untuk juga bisa menimbang soal kepemilikan cerita di balik gambarnya.
Pada hari pembukaan acara pendukung juga terhubung dengan tema pameran. Pengunjung mengalami karya dan ruang pamer sembari makan dan piknik dengan masakan-masakan Fajar Abadi dari Gelanggang olah Rasa lewat presentasi “Rentang (Rintang dan Ranting) Rantang”.

Fajar membuat makanan-makanan yang dibuat ulang dari buku besar komplit masakan Hindia-Belanda, Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek, karangan J.M.J. Catenius-Van Der Meijden.
Acara pembukaan pameran diisi Fauzie Wiriadisastra dan Rita Victoria Simanjuntak yang membawakan Kinanthie Sandoong (Kinanti Sandung) gubahan Ki Hajar Dewantara tahun 1916. Komposisi piano dan vokal sinden ini dimainkan dalam laras pelog Jawa, menggabungkan musik klasik Barat dengan budaya adiluhung Jawa pada masa kolonial.
Penggabungan ini menjadi bentuk perlawanan sekaligus aspirasi kesetaraan. Publikasi Kinanthie Sandoong bisa jadi adalah transkripsi tangga nada pelog pertama dalam notasi musik Barat.
Selama pameran, terdapat tiga film dari Ernst Karel bersama Veronika Kusumaryati, Riar Rizaldi, dan Rizki Lazuardi yang ditayangkan setiap akhir pekan di ruang pamer. “Expedition Content”, film dari Ernst dan Veronika, adalah film yang beberapa tahun terakhir hangat diperbincangkan di dunia film internasional.
Film ini menghadirkan sonic cinema atau film yang menampilkan bunyi saja. Hanya sedikit gambar yang ada, yang dikembangkan dari arsip audio yang direkam oleh Michael Rockefeller sebagai bagian Harvard Peabody Expedition pada tahun 1961, di Nugini Belanda atau sekarang Papua Barat.
Michael Rockefeller hilang secara misterius dalam ekspedisi itu. Ernst dan Veronika mempergunakan peninggalan audio Michael untuk bercerita tentang sejarah dan keadaan Papua Barat di tengah-tengah kekuatan-kekuatan kolonial Belanda, imperialisme AS, dan tempatnya di Indonesia.
Zaldy Armansyah menyajikan “Mendaratkan Ingatan: Bandung 2022.” Ditayangkan video statis suasana koridor gedung kolonial di kawasan Braga, Bandung saat ini, yang disandingkan dengan foto di sudut yang sama di masa lalu.
Zaldy ingin mempertemukan foto masa lalu dengan pemandangan masa kini, memancing rasa nostalgia dan romantisme, menakar apa yang dirasakan masyarakat di masa lampau.
Pameran Menyatakan Jarak turut mengadakan seri lokakarya yang berusaha mencipta dari tafsir-tafsir kontemporer itu. Meten is Weten (mengukur adalah mengetahui–peribahasa Belanda) oleh Audya Amalia mencoba mendekati patung Pastor Verbraak di Taman Maluku, Bandung, secara kritik seni.
Mereka ingin mengembalikan dasar apresiasinya sebagai patung dari sejarah modern. Dari sejarahnya, Pastor Verbraak merupakan pastor militer. Mereka berhadapan dengan bagaimana masyarakat Bandung lebih sering mengatributkan mitos dan mengimajinasikan misteri horor di atas jarak pengetahuan terhadap patung itu.
Peserta pameran diajak lokakarya Melantingatan oleh Sundea dan Yosefa Aulia. Orang-orang diminta bercerita tentang barang-barang warisan yang mereka dapat dari keluarga atau dari masa lalu. Sejarah-sejarah kecil pribadi ini dibayangkan kembali untuk jadi terhubung dengan eksistensi dalam kerangka waktu yang lebih besar, dan sekarang.
Sebagai penutup rangkaian, pemain alat musik sakral Sunda Tarawangsa yang kerap tampil secara kontemporer, Teguh Permana bermain musik bersama mahasiswa-mahasiswi program Integrated Arts-UNPAR, pada 28 Mei 2022.

Fotografer
Theo mengungkapkan, sebagai inisasi proyek yang pertama, penting untuk mengartikulasikan jarak dalam lingkup terdekat, dalam hal ini diwujudkan dengan dukungan Selasar Sunaryo Art Space dan program Integrated Arts – Universitas Katolik Parahyangan, untuk mengambil latar dan basis seputar Bandung.
Basis itu bertemu dengan komunitas KITLV di Leiden untuk memulai pertukaran dan perbincangan yang translokal. Kenyataan lokal jadi perhatian penting, dengan mengangkat dan mempertemukan sudut pandang-sudut pandang akan berbagai arsip dan peninggalan dalam berbagai selisih latar, modal, pandangan, sifat, dan kebiasaan. “Proyek ini berharap untuk bisa menjunjung peririsan-peririsan sikap dan urgensi bersama dalam melangkah di atas sejarah kolonial dan dekolonisasi,” katanya.
Pameran ini juga mengajak para pemirsanya untuk menjadi “Sang Fotografer.” Theo menambahkan, Sang Pengambil Gambar menjadi titik tetap untuk memandang kepada apa yang dibingkai dan momen yang dipotret, sekaligus menempatkan diri di momen tersebut di tengah arus waktu, bersama subjek yang dipotretnya.
Kehadiran dari tubuh si fotografer ini bagaimanapun mesti “tak tampak” di dalam bingkai, supaya ketiadaannya bisa diisi dengan kehadiran kita, sang penglihat. Bagi Theo ini penting: sebab kita tahu apa yang kita lihat adalah yang ia lihat, dengan diperantarakan kamera.
“Tapi, dengan membiarkan sang fotografer ‘menghilang,’ kita juga kehilangan informasi dari hubungan-hubungan intersubjektif yang terjadi di sekitar saat-saat ketika bukaan rana kamera dipicu. Pertanyaan soal ‘siapa mereka dan mengapa gambar mereka diambil’ akan bisa dengan mudah dijawab dari sudut pandang sang fotografer, sebab ialah yang membuat keputusan itu untuk menekan tombol picu,” katanya.
Pada sisi lain, arsip-arsip fotografis itu, kebanyakan, dinaungi oleh museum-museum atau lembaga-lembaga arsip, baik di Indonesia atau di Belanda. Kini, kita bisa mengakses koleksi digital mereka dan menggunakan gambar-gambarnya sesuai syarat dan ketentuan.
Laman-laman web ini juga biasanya menyediakan paparan-paparan pendek tentang kejadian yang digambarkan, dari sudut pandang orang ketiga. Upaya untuk mengenali dan untuk terhubung kepada masa lalu, suka tidak suka, diperantarakan oleh suatu “narasi resmi.”
“Sebagai salah satu lembaga yang menaungi arsip dari masa Hindia Belanda, KITLV dan koleksi digital mereka punya kemampuan untuk membuat narasi semacam itu, selagi secara bersamaan meninggalkan ruang bagi banyak cerita-cerita yang tak ternarasikan, cerita-cerita tak diketahui (dan aktor-aktor) yang tak dikenal. Hampir-hampir “(sengaja) dibuat untuk menjadi anonym,” ujar Theo.
Maka, proyek ini mencoba untuk menekankan hubungan intersubjektif yang ada sebelumnya pada waktu gambar itu diciptakan. Sang fotografer, paling tidak, secara sadar menangkap momen itu selagi sang subjek yang dipotret bisa jadi ada pada keadaan yang lebih pasif atau tak sepenuhnya sadar.
Reka ulang hubungan ini, yang ada sebelum “narasi-narasi,” bisa membuka cara berbeda untuk terlibat dengan arsip-arsip fotografis. Ketimbang mengandalkan deskripsi yang sudah ada, kita dapat menempatkan diri pada posisi yang aktif, baik sebagai fotografer, atau subjek yang dipotret, dan melahirkan skenario tertentu yang hanya mungkin berdasarkan pengalaman masing-masing.
“Saya percaya gambar-gambar arsip punya kuasa perubahan, yang seturut pula, menciptakan dan melanggengkan kekuasaan. Lebih dari lembaga, lebih dari narasi-narasi adalah kita: masyarakat. Mari kita buat versi-versi sejarah ‘tanpa perantara,’ yang dibangun di atas keterlibatan nyata terhadap gambar dan imajinya, dengan informasi serta imajinasi yang tepat. Mari menyatakan jarak kita kepada sejarah, di mana ‘sang anonim’ telah mengambil bagian besar darinya,” tutur Theo.

Kolaborator Pameran
Menyatakan Jarak: Bandung-Leiden yang berlangsung 8 April hingga 29 Mei 2022 di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, merupakan hasil kerja sama antara Atelier KITLV dengan Selasar Sunaryo Art Space, Integrated Arts Fakultas Filsafat UNPAR, Framer Framed, dan CA3A Studio.
Menyatakan Jarak: Bandung-Leiden mempertemukan kolaborator-kolaborator proyek yang berbasis di Bandung dengan para peneliti KITLV di Leiden. Pameran Menyatakan Jarak diisi oleh peserta dari ragam latar belakang yakni:
Arnoud Arps
Arnoud Arps adalah seorang akademisi di bidang Media dan Budaya yang bekerja sebagai dosen Studi Film di Universitas Amsterdam. Penelitiannya saat ini berfokus pada posisi media dan budaya populer (dengan minat khusus pada film dan sastra) dalam bidang studi media, studi memori budaya dan studi pascakolonial dengan Hindia Belanda dan Indonesia sebagai topik penelitian utamanya.
Atep Kurnia
Penulis, peneliti literasi, penerjemah, dan editor. Lahir di Bandung, 10 Mei 1979. Tulisan-tulisannya yang berbahasa Indonesia dimuat di Pikiran Rakyat, Kompas, Koran Tempo, Tribun Jabar, Galamedia, Karsa, Geomagz, Berita Geologi, Energia, LSF, dan majalah kebudayaan Basis. Sementara yang berbahasa Sunda dimuat pada Cupumanik, Mangle, Galura, Seni Budaya, Bina Da’wah, dan Ujung Galuh. Untuk tulisan ilmiahnya dimuat dalam Jurnal Manuskrip Nusantara, Seri Sundalana dan Jurnal Lopian.
Audya Amalia
Audya (l.1996) lulus dari Institut Teknologi Bandung pada tahun 2019 dengan gelar Sarjana Seni. Sebagai seorang seniman, ia memiliki keterikatan yang tinggi pada teknik crochet dan karya tiga dimensi. Metode-metode ini berlaku untuk karya-karyanya yang dikontekstualisasikan tentang perempuan dan domestikasi.
Aulia Ibrahim Yeru
Aulia Yeru dikenal sebagai dosen, peneliti, dan seniman visual. Ia mengajar di Intermedia Studio di Universitas Telkom, Indonesia. Saat ini sedang mengejar PhD di bidang Seni di University of New South Wales, Australia. Karya seni dan penelitiannya difokuskan pada hubungan praktik artistik, perubahan lingkungan, dan produksi spasial.
Bagus Pandega
(l. 13 Juni 1985) adalah seorang seniman patung Indonesia asal Jakarta. Ia dikenal untuk eksplorasinya dalam karya seni rupa patung dalam bentuk instalasi kinetik. Dalam karyanya, Bagus cenderung menantang hubungan biasa antara objek dan penikmat dengan cara menekankan ruangan fisik yang berada di sekitar penikmat. Ia juga biasa mencampurkan berbagai sistem elektronik seperti perekam suara, kaset, lampu dan sirkuit elektrik untuk menimbulkan akumulasi persepsi. Kebanyakan karyanya mengajak penikmat untuk berinteraksi melalui gerakan, suara, dan cahaya.
Kei Imazu
(l. 1980, Yamaguchi, Jepang) Melalui lukisan dan instalasi, Kei Imazu memanfaatkan lingkungan internet kontemporer untuk mengembangkan kesadaran yang sangat sensitif terhadap hal-hal yang ada di dalam dan di luar bentuk gambar. Setelah mempelajari secara menyeluruh data yang terkumpul dalam jumlah besar, dia mendistorsi, merekonstruksi, dan membuat sketsa melalui perangkat lunak komputer dan kemudian mengubah referensi ini menjadi komposisi kompleks dalam lukisannya.
Veronika Kusumaryati
Veronika Kusumaryati adalah antropolog politik dan media di Universitas Georgetown di Washington DC. Ia meraih gelar sarjana seni dari Institut Kesenian Jakarta dan gelar PhD dari Departemen Antropologi dengan bidang sekunder dalam Studi Film dan Visual di Universitas Harvard.
Penelitiannya berfokus pada isu-isu kolonialisme, identitas, dan sejarah di Papua Barat, sebuah istilah pengenal diri yang mengacu pada provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia. Dia berafiliasi dengan Sensory Ethnography Lab di Harvard, sebuah laboratorium eksperimental yang mempromosikan kombinasi inovatif antara estetika dan etnografi.
Esther Captain
Dr. Esther Captain adalah peneliti senior dan anggota staf di Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) di Leiden, Belanda. Di KITLV, dia saat ini sedang mengembangkan jalur penelitian baru tentang Belanda pascakolonial, dengan hubungan ke Indonesia dan Karibia. Selain itu, ia juga peneliti pada program ‘Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia 1945-1950’ di lembaga yang sama.
Fajar Abadi (Gelanggang Olah Rasa)
Fajar adalah seorang seniman. Perihal memasak, masakan, serta makan untuk Fajar, semuanya adalah suatu usaha untuk menghantarkan (memasukan)gagasan karya dan memastikannya sampai kepada (kedalam) pemirsa karyanya kemudian menjadikan gagasan tersebut sebagai bagian dari (tubuh) pemirsanya. Oleh karena itu, performatif, partisipasi dan relasional selalu menjadi kata yang berdengung kencang di relung pikir Fajar.
Fauzie Wiriadisastra
Fauzie Wiriadisastra adalah seorang komposer, konduktor dan multi instrumentalis asal Bandung, Indonesia. Ia adalah seorang musisi profesional yang memainkan flute, terom- pet, horn, klarinet, oboe, saksofon, gitar, piano, kecapi, dan masih banyak lagi. Ia pernah bermain antara lain sebagai principal flute di Bandung Armonici Polifonia, horn dan kecapi di Bandung Philharmonic Orchestra, dan bersama band Behind The Actors sebagai artist in residence di Tong tong Festival, Den Haag.
Hammad Zahid Muharram
Zahid adalah seorang psikolog komunitas yang saat ini berprofesi sebagai dosen dan peneliti. Minat penelitiannya meliputi psikologi komunitas, psikologi perkotaan, psikologi untuk keberlanjutan, penelitian sosial kualitatif, dan metode etnografi. Proyek terbaru Zahid di antaranya adalah komunitas Kampung Kota, Jakarta dan komunitas di sekitar Gunung Manglayang, Bandung.
Ignatius Bambang Sugiharto
Prof. Dr. Bambang Sugiharto mendapatkan S2 dan S3 (summa cum laude) di bidang Filsafat dari Universitā San Tomasso, Roma, Italia. Ia penulis berbagai buku ihwal postmodernisme, persoalan kebudayaan, agama, dan seni kontemporer; di antaranya: buku “Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi” (Yogyakarta: Kanisius, 2019); “Overlapping Territories: Asian Voices on Culture and Civilization” (Cambridge Scholars Publishing, 2011); “Humanisme dan Humaniora” ( Yogyakarta: Jalasutra, 2008), “Untuk Apa Seni?” (Bandung, Matahari, 2013) dan “Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat” (cetakan ke 12, Yogyakarta: Kanisius, 2017). Mendapat Anugerah Budaya Kota Bandung 2013. Pernah menjabat sebagai President of Asian Association of Christian Philosophers (2006-2008), dan Sekjen International Society for Universal Dialogue (2005-2007). Ia adalah fellow pada beberapa institusi filsafat,
antara lain: di Tokyo, Copenhagen, Washington DC, dan Hongkong. Saat ini ia mengajar di Universitas Katolik Parahyangan, Pascasarjana FSRD ITB, dan UIN Sunan Gunungjati, (Bandung).
Marieke Bloembergen
Marieke Bloembergen adalah peneliti senior di Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), dan profesor dalam Studi Warisan dan Pascakolonial dalam Sejarah Indonesia di Universitas Leiden. Minat penelitiannya menyangkut dinamika politik produksi pengetahuan budaya di Indonesia kolonial dan pascakolonial, sebagaimana dipahami dalam dimensi lokal, antar-Asia dan global, dalam kaitannya dengan budaya material, praktik warisan, agama dan kekerasan
Riar Rizaldi
Riar Rizaldi bekerja sebagai seniman dan pembuat film. Praktik artistiknya sebagian besar berfokus pada hubungan antara kapital dan teknologi, pandangan dunia, dan kemungkinan fiksi teoretis. Karya-karyanya telah ditampilkan di berbagai festival film internasional (termasuk Locarno, IFFR, Viennale, BFI London, Cinema du Reel, Vancouver, dll), NTT InterCommunication Center Tokyo, Centre Pompidou Paris, Times Museum Guangzhou, Biennale Jogja, dan National Gallery of Indonesia).
Ridwan Hutagalung
Ridwan Hutagalung menghabiskan hampir seluruh masa hidupnya di Bandung. Sejarah menjadi salah satu minat utamanya di samping ketertarikannya pada musik, film serta urusan audio. Kegiatan berbasis perpustakaan adalah bidang yang menjadi rutinitasnya, di samping juga sempat menggeluti dunia radio. Ia sempat mengelola perpustakaan buku, musik dan film koleksi pribadi yang diperuntukan bagi umum (di Bandung dan Jatinangor). Belakangan aktivitasnya lebih banyak mengaping sebuah komunitas sejarah bernama Klab Aleut, sebuah komunitas dengan pegiat anak-anak muda Bandung.
Rizki Lazuardi
Rizki Lazuardi adalah seorang seniman dan programmer yang bekerja secara ekstensif dengan gambar bergerak, suara, dan perfilman. Praktik artistiknya berpusat pada ide-ide yang terkait dengan produksi dan proses penyusunan atau institusionalisasi informasi. Rizki tinggal dan bekerja di Bandung, Indonesia.
Sadiah Boonstra
Dr. Sadiah Boonstra merupakan direktur PT Cultural Lab Consultancy,kurator independen dan sejarawan budaya yang berbasis di Jakarta, Indonesia. Ia juga peneliti
pasca-doktoral dalam program penelitian Pressing Matter: Ownership, Value and the Question of Colonial Heritage in Museums di VU University Amsterdam dan Honorary Fellow di Melbourne University. Sadiah menggabungkan karya kuratorial dan akademiknya dengan membuat program publik dan memproduksi seni pertunjukan. Sebelumnya Sadiah mengkurasi pameran antara lain di Framer Framed (Amsterdam), Galeri Nasional (Jakarta), Erasmus Huis (Jakarta), British Museum (London), dan Tropenmuseum (Amsterdam).
Sundea
Penulis kelontong yang jatuh cinta setiap hari kepada kata-kata yang membayankan hidup. Dea mencatat apapun dengan mata pena dan mata hati, sebab percaya setiap peristiwa dan tafsir adalah mata rantai dari rentang kisah yang lebih panjang.
Theo Frids Hutabarat
Theo Frids Marulitua Hutabarat (l.1987) adalah seorang seniman asal Bandung, Indonesia. Theo mendapatkan gelar Magister Seni Rupa dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung dan telah berpartisipasi dalam berbagai pameran kolektif di di Bandung, Bangkok, Jakarta, Kuala Lumpur, Seoul, Singapura, Turin dan Yogyakarta.
Tri Joko Her Riadi
Tri Joko Her Riadi adalah Pemimpin Redaksi Bandung Bergerak.id (2021- ), Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung (2021-2024), dan Pengajar Penulisan Kreatif di Universitas Parahyangan Bandung.***