
Mengenal DJ Selector: Menata Mood Playlist dari Tumpukan Vinyl

MIKROFON.ID – Menyajikan musik yang murni dari hasil rekaman vinyl, bukan digital, menjadi kelebihan yang dimanfaatkan para DJ selector. Apalagi sejak awal kemunculannya, piringan hitam terlahir dengan keistimewaan tata suara.
DJ selector layaknya juke box dengan kemampuan algoritma tinggi, menata materi lagu menjadi playlist, menjaga mood bagi penikmat yang ada di hadapannya.
Selector kerap disebut disk jockey (DJ), meski yang populer masih profesi DJ memainkan teknik scratch; menahan atau menggosok laju putaran piringan hitam, demi menyesuaikan beat yang diinginkan.
Tetapi dengan racikan para selector, kualitas suara dari pelat karya musisi ternama menjadi terdengar istimewa.
Ketebalan suara tentu berbeda dengan musik berformat digital, kaset, atau CD. Walau demikian, masing-masing vinyl juga punya karakter sendiri: dinilai dari segi rekaman atau rilisan.
Oleh karena itu, peran DJ selector cukup penting mengingat perlunya komposisi pengaturan suara agar bisa mencapai eargasm. Bandung punya Usin Nisu, yang telah mengawali penggalian menjadi DJ selector sejak 2012.
Gaya dan Teknik
Di Amerika Serikat, DJ selector populer salah satunya DJ Edan, dan dari Jepang banyak yang telah mengenal DJ Koco aka Shimokita.
Teknik chopping masih diandalkan para DJ. Teknik ini memainkan lagu yang telah jadi, mengubah versi tempo, transisi lagu hingga mampu berpindah langsung ke refrain, mengejar tempo setara, hingga membagi bar struktur lagu dan me-remix lagu jadi versi yang beda.
Usin jarang memberikan efek. Kalaupun ada, sedikit efek digunakan untuk rasa flanger agar suara lebih “lancip” saat cut-off tempo. Adapun pilihan efek lain yakni bisa mengubah echo jadi makin menggema, hingga menambah ketebalan porsi suara drum and bass.
Pada turntable, terdapat pitch control untuk mengatur naik-turun beat lagu. Semakin tinggi angkanya, pitch control memutar vinyl semakin cepat.
Tempo lagu bisa diatur di +30 BPM dan -30 BPM. Lagu yang dimainkan Usin akan disesuaikan dengan ambience yang ia amati di hadapannya.
Audiens akan melantai keasyikan tanpa terpengaruh transisi dua lagu berbeda, meskipun Usin menaikkan tensi menjadi 120 BPM untuk kemudian memandu pendengar menurunkan tempo dance dengan settingan 100 BPM.
Ini menjadi bukti kepiawaian Usin memahami keinginan pendengar –yang mungkin acak-selera, di sekelilingnya.Di beberapa acara, banyak orang awam menganggap enteng kemampuan DJ-selector karena dianggap sekadar put and play. Ketika dicoba, mereka kelimpungan.
“Saya menonjolkan orisinalitas musik dari vinyl, insting lagu beralih ke lagu berikutnya. Memang enggak mudah karena harus tahu rasa musik sekaligus sejarah musisi yang ada di koleksi,” tutur Usin.
Selector
Di awal kariernya, Usin hanya berbekal satu turntable Technic SL-1200 MK-2, yang sering digunakan DJ dengan teknik scratching. Meski proses looping untuk menjaga irama dalam turntable bisa mencapai 20 detik, proses transisi bisa merepotkan.
Apalagi tidak semua mixer tersedia fitur looping. Lalu, pria bernama asli Cepy Wira Sanjaya itu menambah turntable Technic SL-1200 MK-5. Dengan dua perangkat ini akan membuat transisi lebih mulus, tidak ada jeda.
Komunitas Bandung telah mengenal Dave Syauta dan Usin Nisu, yang telah mengawali kemunculan selector sejak 2012.
Usin dan Dave Syauta mengawali karier dari pengaruh koleksi piringan hitam warisan orang tua. Koleksi lama itu kebanyakan meliputi musik rock, jazz, keroncong, hingga lagu Sunda. Makin kepincut, mereka mulai berburu.
Di Bandung, vinyl mudah dicari lapak barang bekas hingga toko resmi, mulai kawasan Cihapit, Cikapundung, hingga Setiabudi.
Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menguji kualitas vinyl atau mencari koleksi baru. Kalau beruntung mereka bisa mendapatkan koleksi langka, dengan harga sama.
Dave mulai mengoleksi sejak awal 2000. Saat itu, dengan Rp20 ribu Dave bisa ditawari setumpuk lebih dari 10 piringan hitam, termasuk kondisi tanpa cover.
Di tengah tren koleksi vinyl saat ini, harganya bisa mencapai lebih dari Rp500 ribu per vinyl. Usin juga banyak memanfaatkan jasa titip saat temannya bolak-balik ke Jepang atau Inggris.
Dari titipan itu ia bisa mengoleksi album langka yang sulit ditemui di Indonesia. Sekarang, Dave dan Usin masing-masing telah mengoleksi hingga lebih dari 500 piringan hitam.
Mereka memperlakukan piringan hitam layaknya karya seni. Bentuknya elegan, klasik, dan berkelas. Sampulnya yang besar dengan artwork yang menonjol menjadikan rilisan fisik ini sebagai karya seni istimewa.
Usin malah tertarik pada cover, meskipun musisinya tak dikenali. Ia mendengarkan musik aneh dari pembelian acak. Tetapi cara itu mampu mengenalkan pria kelahiran 1989 itu dengan aransemen-aransemen baru.
Dave menjelaskan, karakter vinyl tentu berbeda-beda. Itu pentingnya tata suara dijaga oleh selector. Bahkan, terkadang rilisan terasa berbeda meski dari musisi dan label yang sama. Tetapi selebihnya, vinyl unggul dari kualitas suara.
“Suara beda banget. Kayak enggak kebawa angin. Kepuasannya juga beda. Bedanya dengan digital, hasilnya enggak sama dengan yang di vinyl. Ada album The Beatles hasil re-mastered digital yang terlalu bright. Vinyl rilisan lawas itu ada yang suaranya kependam, tetapi lebih anget, lebih clear,” kata Dave, saat diwawancara beberapa waktu silam.
Selector juga menakar setiap perkembangan rilisan dari masa ke masa. Setiap dekade muncul perubahan tata suara baru, termasuk genre elektronik yang bangkit sejak era 60an.
Karier
Dave mengawali peran sebagai selector pada 2012, di sebuah tempat di Bandung bernama Birhaus yang dibuka bersama temannya. Berbekal turntable double-deck merek Stantone, pria kelahiran 1977 itu memboyong koleksinya dari rumah.
Awalnya ia, Usin, dan teman Harold, Edo, serta Zafir, hanya bermain untuk menghidupi Birhaus. Respons audiens mulai terlihat dari suasana yang berubah seolah kelab musik. Mereka terus mengguyur pengunjung Birhaus dengan koleksi rock lawas, hingga pop.
Tak lupa, hits reggae dan rocksteady mendatangkan komunitas makin getol hadir di Birhaus.
“Senang aja lihat orang senang. Bikin mereka enggak berhenti goyang, bikin mereka lepas. Kadang orang enggak dengerin lirik, tetapi malah menikmati beat. Kalau lagi hot, pitch (tempo) dinaikin dikit, orang enggak sadar. Dari awal tujuannya enggak untuk eksklusif, di sini kita sharing musik,” ujar Dave, yang juga merupakan personel band The Paps itu.
Sejak saat itu, tawaran main di sejumlah tempat bermunculan. Kebanyakan dari café ke café. Terkumpul menjadi komunitas pemutar piringan hitam, para selector mulai membuat gigs istimewa.
Dari hasil mengeksplorasi kemampuan menyuguhkan lagu melalui turntable, sekarang Usin dan Dave bisa menghasilkan pemasukan. Modalnya dengan membeli koleksi vinyl tambahan.
Bagi Usin, semakin banyak orang menyewa jasanya, semakin memberi semangat membeli lebih banyak koleksi. Selama kurun waktu beberapa tahun terakhir, tawaran mengisi acara terus bertaburan, mulai dari kegiatan perusahaan, outing, pesta privat, atau gelaran santai barbeque backyard.
Jasa tampil yang berkelanjutan berasal dari pesta pernikahan. DJ Nisu juga banyak mengisi acara besar semacam opening-closing road race motor di Sirkuit Armed Purwakarta pada 2020, opening konser The Paps dan Rub of Rub dan acara BBQ Ride pada 2021, hingga gigs independen di Bandung.
“Kebanyakan di wedding. Sejauh ini hasilnya bisa memenuhi kebutuhan ekonomi istri dan anak. Kalau brief dengan klien, saya cocokkan pakai kebudayaan apa, konsep resepsi, keinginan klien. Apakah diperbanyak lagu lovers, pop, atau juga keinginan menghindari keroncong. Kalau mau mengajak orang tua nostalgia, ya tinggal siapin lagu keroncong,” ujarnya.
Di pesta, muncul ketertarikan dari banyaknya undangan yang mendekat melihat sistem turntable. Beberapa merasa aneh melihat set-up. Tetapi dengan begitu ia banyak melakukan interaksi, terutama dari audiens yang bertanya-tanya tentang koleksi vinyl.
Usin menyiapkan konsep dan pemilihan daftar koleksi lagu sesuai brief klien. Terapannya di acara, ia benar-benar membaca situasi yang muncul di pesta. Sambil mengatur lagu, Usin mengamati gestur audiens di hadapannya.
Jika undangan terlihat asyik mengobrol, sambil menikmati lagu, ia berikan musik berirama slow-tempo. Saat terlihat ada yang mulai joget, ia naikkan pitch lagu.
“Dari kepuasan klien berterima kasih, respons orang joget, saya merasa berhasil mencocokkan suasana tempat, membuat hangat suasana. Khalayak yang memandang bahwa selector patut diapresiasi menjadikan saya terus menekuni bidang ini,” tutur Usin. ***
Tinggalkan Balasan