Menelisik Perkembangan Otokritik di Medan Seni Rupa

Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) menggelar diskusi publik bertajuk “Seni, Medan Seni, dan Otokritik Seni” pada 26 Mei 2023. Acara ini menghadirkan pembicara Azizi Al Majid, Herry Sutresna, Krishnamurti Suparka, dan Pidi Baiq, serta dimoderatori oleh Heru Hikayat.

Diskusi ini dibuka untuk menanggapi pameran “U R My InspiraŁion: Love Letters to the *** World” karya seniman dengan pseudonim Beyond Crap yang sedang pameran di SSAS.

Pameran “U R My Inspiration” menampilkan sekumpulan karya seni dari entitas Beyond Crap.

Karya yang dipamerkan mayoritas hadir berupa digital prints bergaya visual ilustrasi kartun atau komik, lengkap dengan speech bubbles berisi percakapan atau monolog, mirip seperti yang dapat ditemui di media-media cetak seperti New Yorker, Mad Magazine, dan sejenisnya.

Pesan yang ingin disampaikan dari berbagai karya tersebut tampaknya adalah kritik atau sindiran kepada dunia/medan seni, dengan berbagai kekhasan cara bermain serta dinamika internal yang sering dijumpai di dalamnya.

Sebagai kurator tamu dalam pameran itu, Khrisnamurti mengulas awal kemunculan karya-karya bermuatan autokritik Beyond Crap sebagai pendar dari sejarah komik strip di surat kabar, hidup-mati pergerakan conceptual art, hingga fenomena Banksy.

Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) menggelar diskusi publik bertajuk “Seni, Medan Seni, dan Otokritik Seni” pada 26 Mei 2023. Foto: Selasar Sunaryo.

Khrisnamurti menjelaskan, sebagian besar orang sudah terbiasa untuk menikmati kritik dalam bentuk karya seni. Di ranah publik, para komikus telah mengenalkan karakter ciptaan dan coretannya dengan materi hasil masukan, aspirasi, atau bahkan privilese dari berbagai info “orang dalam” untuk menyampaikan kritik sosial, politik di surat kabar.

Di Indonesia orang mengenal Om Pasikom yang hadir di surat kabar Kompas, serta Mang Ohle di koran Pikiran Rakyat.

Meski berawal dari ranah digital, gagasan yang diusung oleh Beyond Crap sebenarnya merujuk pada karya-karya ilustrasi dari medium cetak itu.

Karya BC terbentuk dari wujud bahasa komik strip yang ter-apropriasi. Gaya dan perilakunya vintage, mencerminkan kegemaran dan rujukan BC pada salah satu masa keemasan ilustrasi di Amerika Serikat, era 40-an, 50-an, dan 60-an.

Ada nama-nama masyhur seperti Abner Graboff, Peter Arno, dan Charles Addams sebagai inspirasi utama BC.

Karya Beyond Crap di Selasar Sunaryo Art Space (SSAS). Foto: Selasar Sunaryo.

Dalam karya-karyanya yang masih dipamerkan di Selasar Sunaryo, Beyond Crap meluapkan banyak humor di dalamnya. Sempilan-sempilan pesan menyindir fakta-fakta di lingkungan seni rupa, baik yang lumrah diketahui maupun yang biasa tersembunyi.

Khrisnamurti mengungkap bagaimana “alter ego” di balik moniker Beyond Crap memainkan peranan penting dalam seni rupa seperti pada kasus-kasus Rrose Selavy, Ziggy Stardust, SAMO, Bob & Roberta Smith, serta Banksy.

Wacana autokritik yang jadi penopang narasi BC sebenarnya bukan hal baru di dunia seni. Tradisi autokritik di Barat, kata Khrisna, sudah terjadi di era 1960-an ketika conceptual art menjadi gerakan tandingan hegemoni seni yang dikuasai galeri saat itu.

Baca Juga :   Selain Seliyan, Rekaman Visual Anton Ismael dan Bastian Hansen di Atas Kanvas

Akan tetapi, semangat awal pergerakan yang bertujuan menginterogasi institusi seni dan menantang komersialisasi seni itu dianggap proyek gagal pada 1973.

Pemicunya, seniman yang aktif di pergerakan conceptual art satu per satu dikooptasi oleh galeri di New York.

Kritikan terkait kuasa galeri pada karya-karya seniman juga sempat ramai lewat esai Brian O’Doherty berjudul “Inside The White Cube: The Ideology of the Gallery Space,” juga mengkritisi hegemoni white cube gallery.

“Dia membahas tentang kenapa karya selalu horizontal. Memposisikan galeri space sebagai simbol hegemoni yang dulu dilawan conceptual art dan masih berlangsung sama sekarang,” kata Khrisna.

Dari lingkar desain grafis, ada “First Things First Manifesto” yang dipublikasikan pada 1964 oleh Ken Garland dan mendapatkan ratusan pendukung dari profesi serupa. Sikap mereka bangkit untuk membentuk kultur tandingan.

“Sekelompok desainer itu berpikir enggak harus jadi budak korporat. Harus punya peran lebih dalam aktivitas sosial yang lebih bermakna,” katanya.

Karya Beyond Crap di Selasar Sunaryo Art Space (SSAS). Foto: Selasar Sunaryo.

Sedangkan nama belakangan yang melambung, Banksy, sempat menjadi simbol perlawanan terhadap lingkar seni rupa konservatif, walaupun akhirnya karya Banksy yang populer dari street art ini banyak mengisi berbagai galeri dengan harga memukau.

Meski begitu, ia menakar Banksy, atau gerakan serupa seperti kelompok kolektif Adbusters telah meleburkan pelabelan atas karya yang dulu mahfum dengan segregasi high, low, popular, atau eksklusif.

Pertanyaan yang akhirnya muncul dalam diskusi ini tentu menyoroti keberadaan karya BC di pameran Selasar Sunaryo. Bagi Khrisna, BC sedang mencoba kesempatan untuk testing the water.

Ia menambahkan, Beyond Crap merupakan “orang dalam” seni rupa, pelaku. Itu yang menjadikan isitlah autokritik digunakan. Secara sadar BC menggunakan pengalaman apapun yang sudah dilalui sebagai seorang aktor di dunia seni.

“Awalnya sesederhana ingin menyampaikan yang tidak bisa disampaikan oleh orang lain atau lewat meme-meme tersebut. Saya lihat banyak kemiripan dengan Rage Against The Machine ketika band tersebut memutuskan masuk major label biar dapat funding kencang tetapi produksi karya yang politis bisa menjangkau lebih jauh,” tuturnya.

Akan tetapi, Khrisna tak ingin menyimpulkan terlalu dini: Apakah yang dilakukan BC ini tulus atau kooptasi atau penaklukan (atas galeri).

“Dengan segala macam kelebihan dan kekurangannya, BC ini cuma mindahin medium dari digital ke print. Tidak ada penyesuaian dalam kaitan mengkritik insititusi dia berada. BC memang dihadapkan pada kenyataan di lapangan, apakah pragmatis pada akhirnya? Apakah punya nilai jual, mungkin enggak sih? Ini upaya testing the water dia,” katanya.

Baca Juga :   Foto Karya Pameran Preliminaries Orbital Dago

Bagi Khrisna, ruang diskusi publik ini yang menjadikan dirinya, atau mungkin Beyond Crap bersemangat memantik otokritik, senapas karya-karya yang sedang dipamerkan.

Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) menggelar diskusi publik bertajuk “Seni, Medan Seni, dan Otokritik Seni” pada 26 Mei 2023. Foto: Selasar Sunaryo.

Perupa, yang juga peneliti seni, Azizi Al Majid menilai karya-karya Beyond Crap selayaknya direspons lebih luas. Pameran kali ini merupakan kesempatan. BC punya privilese di sebuah panggung yang spesial, di satu ruangan yang besar, menampilkan reproduksi dari sosial media.

“Seharusnya lebih dari itu. Mengkontekskan ulang kegiatan BC di sosmed yang punya kemungkinan lebih fluid. Posisi BC bisa lebih dimainkan. Mungkin karena BC tidak banyak yang tahu,” tuturnya.

Ia mengharapkan BC bisa mencuri perhatian dengan karyanya di media sosial. Dalam diskusi itu, Azizi memaparkan tentang penelitiannya melihat perkembangan seni rupa di ranah digital lewat materi “Meme in Contemporary Art Scene.”

Ia menampilkan banyak contoh akun-akun media sosial yang ramai dikomentari dari konten yang “menyenggol” para pelaku dan karya seni rupa. Akun meme seni rupa ini kebanyakan dibuat di bawah nama anonim. Biasanya plesetan dari nama sudah hadir seperti akun Jerry Gogosian di Instagram, yang menjadi parodi kritikus seni Jerry Saltz dan Gagosian Gallery. Atau versi Indonesia ada Indoartno, plesetan dari media seni rupa Indo Art Now. Yang populer lainnya di IG ada Freeze Magazine dan Antikolektifkolektifclub.

Akun-akun ini mengunggah gambar-gambar berformat meme. Bentukanya sederhana, cukup menampilkan gambar atau teks yang diparodikan menjadi celotehan, rumor, bahkan kritik yang berputar di medan seni rupa.

Yang sempat mengguncang yakni lunturnya topeng alter ego Jerry Gogosian karena terlalu banyak terlibat di banyak hal berkaitan seni rupa. Diketahui, orang di balik akun itu adalah Hilde Lynn Helphenstein yang merupakan seorang art dealer dan memiliki agensi.

Dari tersingkapnya topeng akun populer ini menunjukkan bahwa akun anonim yang mencoba berbicara seni rupa adalah seseorang yang punya privilese dan bisa mengakses banyak tempat di seni rupa.

Kekuatan ini yang sebenarnya membuat karier Beyond Crap terbuka dan bisa menjanjikan di kemudian hari.

“Akun-akun ini bisa membahas soal kolektor, galeri, soal seni rupa yang terjadi, juga membahas kehidupan seniman muda yang belum mapan. Mereka biasanya perorangan, biasanya. Freeze Magazine salah satu page yang sifatnya anonim. Dia memiliki kemiripan dengan BC yang menggunakan alias, mencoba untuk tidak muncul, menggunakan sosial media. BC ini punya identitas artistik sendiri. Meme identitasnya bisa gampang dikenali audiensnya,” ujarnya.

Baca Juga :   Life Cycles: Siklus EP Penggerak Rosehearts di Ranah Hardcore
Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) menggelar diskusi publik bertajuk “Seni, Medan Seni, dan Otokritik Seni” pada 26 Mei 2023. Foto: Selasar Sunaryo.

Hadir menjadi pembicara lainnya, ada Herry Sutresna atau yang biasa dikenal Ucok Homicide/Morgue Vanguard. Meskipun pernah studi seni rupa di ITB dan banyak menekuni cetak sablon, ia mengaku tak banyak mengamati perkembangan lingkungan seni rupa.

Ucok menawarkan perspektif autokritik dari ranah musik yang ia jalani bersama label Grimloc Records.

Ia berpendapat, kritik sebagai ujung dari sikap tidak sepakat takkan pernah mengubah apapun. Untuk menyatakan antitesis, perlu langkah berwujud melampaui kritik selayaknya skema Do It Yourself (DIY) yang menjadi kultur tandingan di ranah musik.

Ia mengambil contoh band punk asal Inggris, Crass yang mengkritik Sex Pistols dan mencoba menjadi antitesis Sex Pistols. Saat itu, Sex Pistols mengkritik monarki, tatanan sistem, estetika, tetapi kemudian menjadi sesuatu yang dikritiknya sendiri.

Tetapi Crass tak hanya berhenti di kritik. Mereka membentuk kolektif musik, dan juga seni, dengan corak produksi, label, jaringan distribusi, hingga ekosistem bentukan sendiri, sebagai embrio dari semangat DIY.

Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) menggelar diskusi publik bertajuk “Seni, Medan Seni, dan Otokritik Seni” pada 26 Mei 2023. Foto: Selasar Sunaryo.

Di Indonesia, konsep ini juga berjalan baik hingga sekarang. Setidaknya kondisi itu yang dirasakan langsung Ucok bersama teman-temannya di Grimloc Records.

“Saya besar dengan perspektif: kalau enggak setuju dengan sesuatu, bikin tandingannya. Kalau engga, ya enggak akan pernah kemana-mana. Kalau berhenti di kritik, tidak akan ada skena independen. Itu yang saya yakini hingga sekarang. Bahkan akses produksi saat ini menyempurnakan indie,” katanya.

Buat Ucok, selepas kritik harus ada hal yang lebih besar, yang lebih konstruktif.

“Saya selalu menempatkan kritik sebagai bagian dari bangunan utuh. Enggak pernah berdiri sendiri sebagai kritik, bagian dari wilayah praktik. Diusahakan sedekat mungkin. Misalkan, kami bikin swakelola koperasi yang menjadi antetisa brand yang mengkooptasi subkultur. Dengan swakelola koperasi, kami mencoba melampaui kritik itu,” ujarnya.

Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) menggelar diskusi publik bertajuk “Seni, Medan Seni, dan Otokritik Seni” pada 26 Mei 2023. Foto: Selasar Sunaryo.

Pidi Baiq tidak memikirkan maksud atau tujuan konsep di balik setiap pameran, termasuk pameran Beyond Crap. Bagi seniman, musisi, dan juga penulis itu, ia hanya mencoba menikmati karya yang dipamerkan.

Pidi tak ingin mengambil pusing soal kritik. Buat dia, dengan berpameran saja seseorang sudah cukup layak dihargai.

“Tetapi setelah itu yang saya sukai, dia (BC) mau pameran. Saya hargai dia sudah pameran. Itu merupakan percikan yang dibalas percikan, yang meramaikan seni rupa di Indonesia,” tuturnya.***

Posts created 399

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top