Delapan tema karya seni dipamerkan di Sanggar Olah Seni, Babakan Siliwangi, Bandung dalam program Bacon Camp 2022, 27 November sampai 4 Desember 2022 lalu. Bertajuk “Epicentre: Bandung, Krisis, dan Kisah”, sejumlah perupa, desainer, dan penulis yang kesemuanya berusia 20 tahunan bekerja-bersama.
Mereka merespons kembali ingatan terdekat tentang Bandung, dalam lingkup generasi yang terbilang muda. Dalam catatan kuratorialnya, Jajang Supriyadi dan Wildan FA menulis karya-karya ini menampilkan visual di mana generasi muda memikul konsekuensi yang justru tidak diterima generasi sebelumnya.
“Mereka miliki perhatian, jauh dari asumsi tidak peduli pada sekitar. Membuka kepekaan diri, menghubungkan gejala sekitar sebagai cerapan. Mengenali dan beri tanggapan melalui rupa, ruang, bunyi, cahaya, dan suasana. Mereka menempuh pilihan-pilihan konsentrasi, mengurai dan menemukan hal apa yang penting bagi bingkai kesadarannya mengenai krisis di sekitar Bandung,” tutur Jajang.
Secara kasat mata, mengunjungi pameran ini menyadarkan kita pada latar belakang geografis Kota Bandung yang berada pada sebuah cekungan.
Di sebelah kanan dari pintu masuk, pengunjung langsung disajikan peta Kota Bandung dengan satu unit radio usang. Para perupa tampaknya coba menyambungkan keterkaitan antara realita Bandung sebagai kota metropolitan dengan segala kecanggihan di dalamnya.
Secara visual, sajian ini mengingatkan kehidupan Bandung di masa lampau, di mana radio usang inilah primadona dan sumber informasi kebanyakan masyarakat Bandung kala itu.
Begitupula tumpukan buku dan luksian potret wanita dan pria yang dibuat berserakan di sebelahnya.
Visual ini seolah membawa ingatan kita pada hiasan dinding era 70-80an, di mana gambar potret dua dimensi seperti ini menjadi hiburan tersendiri bila dipajang di salah satu bagian ruangan.
“Praktik seni rupa memiliki keintiman dengan kesadaran yang menempatkan analogi sebagai sandaran gagasan dan ungkapan,” kata Jajang.
Keterkaitan letak geografis Bandung dengan pameran ini tampak nyata pada karya “Ground Screams” karya Desyifa & Haviez Ammar. Karya dengan media tanah liat, kain, dan ban ini seolah menyiratkan kesan cekungan yang menjadi letak geografis Bandung Raya.
Lalu ada karya abstrak yang secara kasat mata tampak seperti pegunungan dan tekstur-tekstur geografis yang bisa kita nikmati secara langsung apabila sedang melihat wilayah Bandung dari ketinggian.
“(Karya-karya) merupakan emosi dan respons dari ambang ungkapan yang dapat dijejaki kembali secara ritmis; yang berpilin dengan kesedihan atau kebahagiaan, keresahan dan ketakutan, marah, kesal. Bahkan keingintahuan, serta pembayangan hidup dalam krisis, bersanding dengan keadaan Bandung di kemudian hari,” ujar Jajang.***