Aditya Wisesha, Dimas Budiman, Fatur Rahman, dan Gazza Ryandika, beruntung memiliki pemilik kos yang ramah. Mereka diizinkan menjadikan kamar kos di kawasan Cigadung, Bandung, sebagai studio bersama.
Hidup dan bekerja di bawah atap yang sama, mereka menamai studio itu, Stud. Bagi mereka, kata Stud dapat diartikan sebagai laki laki yang penuh energi dan gairah.
Makna ini cukup merepresentasikan kehidupan mereka yang memiliki rasio yang curam antara bekerja dan bersantai dalam kamar kos tersebut.
Impresi bakal dirasakan berbeda ketika memasuki ruangan studio dan melihat kasur tipis di sisi kamar, bantal yang disembunyikan di bawah easel, atau cat akrilik yang bersanding dengan bumbu dapur di sebuah rak kecil.
Pada mulanya Stud didasari oleh kebutuhan akan studio kekaryaan dalam rangka memenuhi tugas akhir. Saat mereka memutuskan menyewa sebuah kamar kos di masa pandemi, studio kampus masih tidak memungkinkan untuk dijadikan tempat mengerjakan tugas akhir. Proses mereka berkumpul dalam satu atap ini pun terasa organis, tidak direncanakan oleh keempat anggotanya.

Stud lantas dapat dilabeli sebagai studio berbagi. Praktik ini lazim dilakukan oleh banyak seniman, terutama dalam kategori emerging artist.
Hal ini merupakan siasat untuk memiliki studio dengan dana yang terbatas dibandingkan dengan menyewa suatu lahan ataupun gudang. Beruntungnya, di kota Bandung banyak penyewa kamar kos, ataupun rumah kontrakan yang mengizinkan tempatnya difungsikan sebagai studio seniman.
Waktu yang dihabiskan dalam keseharian di Stud dimaknai oleh mereka sebagai suatu babak yang absurd. Dimulai saat berkumpulnya mereka di sana, dan bagaimana cara mereka menjalani keseharian. Kumpulan pengalaman dan interaksi yang terkumpul pada akhirnya, disadari, dimaknai, dan menghasilkan pemahaman tersendiri mengenai waktu.
Mereka mencoba untuk memahami tentang; Bagaimana waktu berjalan? Apa saja hal yang terbentuk dalam berjalannya waktu? Siapa yang membentuk momen-momen dalam waktu yang berjalan?, dan bagaimana kita mengingat waktu-waktu yang telah berlalu?
Praktik ini memungkinkan seniman untuk saling berbagi sumber daya, informasi, pengetahuan, dan hal lain yang mampu menunjang awal karier kekaryaan mereka. Hal menarik kemudian, mereka memiliki basis kekaryaan yang berbeda.
Hal ini lah yang membuka ruang diskusi bagi anggota Stud untuk saling mengembangkan praktik kekaryaan dan memajang karya dari Stud ini dalam sebuah pameran bertajuk “Click Clack tud.. Tud.. Stud!”, di Kunasi Indonesia, Jl. Gandapura No.61, Merdeka, Kec. Sumur Bandung, Kota Bandung, 11-25 Maret 2023.


Karya
Aditya menekuni seni patung dengan olahannya terhadap medium lilin. Melalui judul karya “A Representation of Human State-of-mind Within a Steel Frame,” Aditya merepresentasikan sudut pandang dirinya yang acap kali berinteraksi pada lingkup sosial yang berbeda-beda.
Keseharian di Stud membawa Adit pada penyadarannya mengenai interaksi sosial yang datang dan pergi, pada akhirnya bersifat sementara. Bentuk pemikiran, perbincangan, dan pertukaran selalu saja berbeda tergantung pada siapa, di mana, dan kapan; masuk, bertukar, dan pergi.
Momen-momen itu membeku dan terukir di dalam memori dengan bentuk buah pemikiran dari proses interaksi yang telah terjadi pada kurun waktu tersebut.
“Semuanya kembali ke dalam balok-balok pemikiran dan sudut pandang yang bisa jadi kekal abadi ataupun hancur diputarbalikkan, paradoks yang dapat muncul tergantung pada lingkup sosial yang akan dijejaki selanjutnya,” kata Aditya.


Dimas, yang merupakan lulusan program studi desain interior, belakangan mengembangkan kekaryaannya dalam seni lukis. Ia membawa pengalaman selama berada di Stud dalam karya “To Not Forget, Connect Like Poetry”.
Dimas memaknai Stud sebagai memori mengenai tempat, mencoba memindah sudut-sudut ruangan Stud dalam imajinya, tanpa fotograf.
Ia menyadari akan ruang dan benda dalam kesementaraannya, namun memori akan tetap tinggal.
“Usaha untuk mengingat dengan tak hanya menulis, tapi juga dengan melukis. Melihat ke masa depan atau bisa dilihat sekarang di mana semua benda memiliki imortalitas, tapi tubuh ini pun kemungkinan tak akan sampai pada umur emas.Atas nama ingatan saya persembahkan semua irisan-irisan lukisan yang sudah menjadi sebuah keseharian, dan orang-orang di dalamnya,” tutur Dimas.


Fatur, dalam “To Embrace The Bygone, o Pursue The Unknown, to Cherish The Here and Now”, berangkat dari banalitas keseharian. Titik itu membawanya melihat keterkaitan waktu, antara yang lalu, kini dan masa depan pada tiga kualitas substansial; melankoli, ketakutan dan kegembiraan, yang disajikan dalam karya lukis, sebagai retrospeksi dalam kekaryaannya yang dulu sangat akrab sebelum menekuni animasi.
Fatur, yang telah lama menekuni time based-art dalam media animasi ini merespons payung besar mengenai waktu, penulis melakukan pembacaan dengan menilik kembali narasai-narasi mengenai memoar, ketidakpastian, probabilitas, dan hal-hal diantaranya.
Ia berusaha melihat keterkaitan yang terjadi antara masa lalu, saat ini, dan masa depan, benang merah dalam ruang yang saling terikat satu sama lain, sebagai sarana dalam berkontemplasi demi merayakan hakikat penulis sebagai individu.
Animasi sebagai teknis medium time-based yang dekat dengan dirinya, memunculkan kualitas yang sama dengan konsep waktu: konkritnya masa lalu, gairah spontanitas dalam keberlangsungan (here and now), dan usaha-usaha untuk menciptakan kendali atas ketidakpastian, melawan keterbatasan sebagai manusia dalam memahami waktu.
Dalam kekaryaan kali ini ia mencoba untuk menangkap habitus dari ketiganya, bagaimana aktivitas penciptaan (dalam medium animasi) layaknya laku kehidupan dalam keseharian, yang kemudian dituangkan dengan medium lukis dalam idiom-idiom estetika.


Dalam karya “An Ode to Inhuman Human Made Objects,” Gazza melihat kehidupan manusia dalam waktu yang progresif. Ia membawakan pesannya melalui objek-objek banal, yang mungkin “terlalu” samar untuk kita rasakan keberadaannya saat ini.
Sebagai desainer produk yang saat ini tengah menekuni teknis 3D Print, Gazza mengamati kehidupan manusia pada zaman modern merupakan kehidupan yang dikelilingi dengan bentuk dan benda yang bersifat tidak natural secara sifatnya. Garis lurus, sudut menyiku dan bentuk bentuk geometris, hanya dapat dibuat oleh manusia. Aktivitas tidur, bekerja, dan makan, dilakukan didalam suatu kubus, piring, gayung, meja, gelas, terbuat dari dasar bentuk-bentuk geometris.
“Lambat laun, bentuk-bentuk ini sudah banal di pikiran manusia, lupa atas perannya yang mengangkat seekor manusia dari sekadar mahluk hidup belaka menjadi mahluk hidup yang mendominasi dunia. Karya ini merupakan bentuk bersyukur terdalam kepada perkembangan manusia dan hanya manusia,” ujarnya.
Pameran ini terjadi berdasar atas diskusi-diskusi yang terjadi di dalam waktu-waktu yang dihabiskan di Stud. Waktu yang dihabiskan dimaknai sebagai suatu babak yang absurd, yang dimulai saat berkumpulnya mereka di sana.
Kumpulan pengalaman dan interaksi yang terkumpul pada akhirnya, disadari, dimaknai, dan menghasilkan pemahaman tersendiri mengenai waktu, yang menjadi gagasan utama dari karya-karya yang dihasilkan pada pameran ini.
“’Click Clack tud.. Tud.. Stud!’ sebagai presentasi seniman Stud dalam memaknai waktu akhirnya mengajak kita untuk juga memaknai waktu dan apa yang terjadi pada sekitar. Bagaimana kemudian waktu yang kita jalani? Bagaimana “waktu-waktu” yang terbentuk oleh sekitar kita?” demikian catatan para peserta pameran.
Foto karya-karya pada pameran ini bisa dikunjungi di Galeri Foto Mikrofon.id, dengan akses melalui link berikut: Foto Pameran “Click Clack tud.. Tud.. Stud!”.***