Open Arms: Melihat Seni dari Mata Disabilitas

Yayasan Selasar Sunaryo (YSS) menggelar Dengar Pendapat dan Diskusi Terpumpun Open Arms/Lengan Terkembang bertajuk “Seni di Mata Kami: Kesenian dalam perspektif disabilitas”, pada 8-9 Maret 2023, di Selasar Sunaryo Art Space.

Open Arms/Lengan Terkembang adalah program yang bertujuan mendorong penguatan inklusivitas di bidang seni rupa di Indonesia.

Hadir sebagai pembicara, Faisal Rusdi, seorang seniman penyandang disabilitas asal Bandung yang aktif berpameran di Indonesia, Singapura, Jepang, Myanmar, hingga Australia. Ia bercerita tentang sulitnya memperoleh kesempatan menghidupi hobi seni rupa; soal sempitnya akses pendidikan, berkeringat menaklukkan venue tak ramah kursi roda, atau ketakutan menemui toilet umum yang sungguh menyiksa teman disabilitas.

Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS Indonesia), Farhan Helmy, menyingkap sederet program yang terus diperjuangkan untuk mendorong pembenahan infrastruktur oleh pemerintah.

Sementara Dessy Nur Anisa Rahma, membagi kisah ceria tentang bagaimana keterampilan kerja teman disabilitas yang sebenarnya punya potensi berkembang jika diberi kesempatan. Dessy menciptakan lapangan pekerjaan yang ramah difabel lewat Pulas Katumbiri (PUKA) yang ia dirikan, sebuah studio yang menyediakan ruang dan media kreasi bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus.

Para pembicara ini juga mengalirkan kisah inspiratif: mampu menyiasati halangan dari keterbatasan fisik sekaligus menaklukkan hambatan yang “dibatasi” lingkungan, hingga saat ini.

Faisal Rusdi merupakan seorang seniman penyandang disabilitas asal Bandung yang tergabung organisasi internasional bernama Asosiasi Seniman Lukis Mulut dan Kaki atau Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA) sejak tahun 2002.

Ia aktif berpameran di Indonesia, Singapura, Jepang, Myanmar, Alice Springs Australia. Pameran tunggal pertamanya digelar di Adelaide Australia. Pendiri Bandung Independent Living Center (BILiC) tahun 2003 ini juga aktif mengadvokasi isu disabilitas dan aksesibilitas lewat seni dan tamasya edukasi.

Yayasan Selasar Sunaryo (YSS) menggelar Dengar Pendapat dan Diskusi Terpumpun Open Arms/Lengan Terkembang bertajuk “Seni di Mata Kami: Kesenian dalam perspektif disabilitas”, pada 8-9 Maret 2023, di Selasar Sunaryo Art Space. Foto: Muhammad Fikry Mauludy/mikrofon.id.

Akses Terbatas

Sebelum mencapai sederet pencapaian di atas, Faisal mengalami banyak goncangan di awal pergerakannya. Sejak kecil, orang tuanya mengarahkan Faisal agar berupaya keras mandiri, nyaris dalam segala hal.

Ia mendapatkan “pendidikan seni” secara tidak sengaja di Sekolah Luar Biasa (SLB) karena itu menjadi satu-satunya pilihan yang disarankan terapis. Saat itu, SLB dianggap masih berlaku diskriminatif dengan mempertimbangkan kadar disabilitas untuk bisa mendapat akses dan kesempatan belajar.

Hanya penyandang disabilitas “ringan” yang dianggap layak menerima pendidikan formal.

“Di SLB masih ada diskriminasi. Melihat fiisik kita, bukan dari sisi intelektualnya. Tetapi disabilitas fisik berat seperti saya, itu lebih banyak difokuskan ke terapi. Mereka mendesak kita tidak bisa normal seperti orang lain karena dianggap akan menyusahkan masyarakat lainnya, membuat beban bagi orang lain,” kata Faisal, menceritakan masa-masa awal memburu akses pendidikan.

Rupanya stigma-stigma, yang dibentuk di lingkungan sekolah khusus itu sendiri, yang akhirnya berdampak panjang pada sisi kepercayaan diri teman disabilitas. Diksi “menyusahkan orang lain” yang juga diterima dari lingkungan terdekat dan banyak diucapkan berulang menanamkan ketakutan berkepanjangan.

Emosi Faisal berkecamuk saat dihadapkan kesulitan, karena di sisi lain hatinya memaksa untuk menghindari pertolongan orang lain.

Akhirnya, teman-teman terapis mengarahkan dirinya untuk memilih menekuni keterampilan di seputar bidang elektronik atau kesenian. Kursus memperbaiki alat elektronik ini mahfum diterima banyak teman disabilitas, karena dianggap mudah dilakukan tanpa harus beranjak dari satu area kerja.

“Kesenian pilihan saya karena saya hobi menggambar. Ketika orang tua dan guru bingung mengarahkan, saya belajar di sebuah sanggat untuk meningkatkan keterampilan melukis dan menggambar,” tuturnya.

Selesai SLB, ia banyak bersosialisasi di sejumlah sanggar lukis di Kota Bandung, dan mulai beradaptasi. Adaptasi itu berjalan cukup lama. Berada di luar lingkaran teman disabilitas menyulitkannya beradaptasi karena ia merasakan tremor, berkeringat, dan mudah terkejut karena gugup.

Sanggar itu membuatnya jenuh dan bosan. Penyebabnya, ia tak diberi kesempatan melukis benda atau model. Bahkan komunikasi dengan guru pun tergolong jarang, hanya terbantu seorang asisten.

Keputusan untuk pindah belajar dari sanggar ke museum pun rupanya tak menghentikan rintangannya. Ayahnya harus meluangkan waktu dan tenaga untuk menggendong Faisal naik-turun tangga karena akses yang tersedia hanya bagi nondisabilitas.

Akhirnya ia memilih belajar dengan asisten di sanggar awal yang memang suportif.

“Saya harus beradaptasi arus menggali keterampilan saya sendiri, karena memang potensi yang ada di diri sendiri cuma kita yang tahu. Paling tidak saya diberi keesmpatan untuk mencoba dengan metode formal bagi murid nondisabilitas. Saya coba patung lilin, tanah liat, cukil kayu, woodcut, ternyata bisa walaupun caranya berbeda. Berarti tidak ada hambatan,” katanya.

Dari perkembangan melukis, meski dengan mulut, ia mulai menunjukkan kematangan melukis. Saat kepercayaan diri mulai mengembang, ia berjejaring dengan banyak seniman, pelukis senior, dan komunitas di Kota Bandung.

Bergerak Bersama

Faisal sempat kembali frustasi karena berkumpul di pameran berarti harus menaklukkan ruang-ruang yang tak ramah disabilitas. Berjuang memperluas jejaring, bagi dirinya, terasa merepotkan.

“Hampir sempat setahun saya diam di rumah. Tetapi saya instrospeksi, kalau saya tidak ada di ruang publik, masyarakat tidak tahu ada seniman penyandang disabilitas. Akhirnya saya banyak berdiskusi dengan seniman, pemerintah, masyarakat. Banyak kolaborasi dengan seniman dan komnitas. Teman-teman disabilitas seniman mulai banyak muncul di media. Saya datang dengan rasa bangga dan senang,” katanya.

Sorotan media juga pernah membuat perasaan teman disabilitas terluka, termasuk Faisal. Penyandang disabilitas dengan keterampilan tertentu lebih banyak ditampilkan sesuatu yang patut dikasihani, atau bahkan dianggap “aneh”.

“Tidak hanya belas kasihan, komoditas tayangan. Saya pernah, saat ditayangkan di tv melukis dengan mulut tetapi digabung dengan adegan binatang berkaki tiga. Dari situ saya begitu selektif menerima tawaran wawancara media televisi. Termasuk menyeleksi undangan pameran yang disinyalir bakal “didompleng” seolah-olah organisasi pengundang,” ujarnya.

Hingga di satu masa, ia mulai bisa berpameran, termasuk di luar negeri. Ia mulai memikirkan nasib teman disabilitas berat yang tidak punya kesempatan seperti dirinya.

Sebagai seniman, ia merasa harus memberikan masukan dan dorongan, bersama menjadi agen perubahan, bergerak bersama mengubah aksesibilitas bagi disabilitas.

Termasuk soal kesulitan mengakses kebutuhan penting di ruang publik seperti toilet ramah difabel. Dalam satu pameran, ia dan teman-temannya melelang karyanya untuk didonasikan ke ruang publik seni yang bisa mendukung kehadiran mereka seperti ramp dan toilet nyaman di Gedung Indonesia Menggungat pada 2016.

“Selain kami mengkritik, kita seharusnya bisa memberikan kontribusi atau contoh. Mudah-mudahan GIM ini menjadi contoh bagi ruang seni lainnya,” tutur Faisal.

Yayasan Selasar Sunaryo (YSS) menggelar Dengar Pendapat dan Diskusi Terpumpun Open Arms/Lengan Terkembang bertajuk “Seni di Mata Kami: Kesenian dalam perspektif disabilitas”, pada 8-9 Maret 2023, di Selasar Sunaryo Art Space. Foto: Muhammad Fikry Mauludy/mikrofon.id.

Pergerakan Disabilitas

Farhan Helmy merupakan Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS Indonesia) periode (2022-2024). Perkumpulan ini didirikan bersama sembilan belas kawannya.

Ia mengalami kecelakaan tahun 2016 menyebabkannya menjadi seorang difabel paraplegia. Farhan aktif sebagai Ketua Thamrin School of Climate Change and Sustainability, menjadi relawan di berbagai organisasi nasional dan internasional di antaranya Policy Advisor pada Indonesia Climate Reality Project, En-ROADS Ambassador dari Climate Interactive, dan Sekolah Ayah, Pusat Pembelajaran Keluarga

Farhan menayangkan video perjalanan dirinya berkegiatan di pusat Kota Bandung untuk menceritakan keseharian sebagai pengguna kursi roda. Video itu mempertontonkan trotoar yang rusak, tak layak, tak ada ramp, terhalang pohon, PKL, atau zebra cross di tengah lalu lintas berkecepatan tinggi.

Kursi roda seharga 4 ribu dolar AS yang ia gunakan tak ada artinya saat dipertemukan dengan permukaan rompal atau bergelombang.

“Makanya saya ke mana-mana pakai helm karena saya sudah empat kali terguling. Kalau soal aturan, ada kewajiban negara di dalam menghormati dan melindungi hak disabilitas dan lansia. Secara normative aturanyya sudah ada bahkan di level teknis. Kalau kita naik bus, transportasi itu sudah seharusnya tersedia. Jadi aturan itu sudah cukup memberi ruang dan menempatkan penyandang disabilitas atau lansia sebagai subjek, bukan sebagai objek,” katanya.

Farhan menjelaskan, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas itu konteknya ekosistem. Diperlukan dukungan masif dari warga untuk dapat bersama-sama menyediakan akses ramah bagi teman disabilitas.

“Kondisi infrastruktur ini merupakan keretakan dalam kehidupan sosial. Harapan saya, bisakah seni menjadi media untuk melakukan perubaham perilaku yang sistemik? Perubahan mungkin hadir kalau ada keberpihakan dan literasi dari pembuat kebijakan,” ujarnya.

Akses Pekerjaan

Dessy Nur Anisa Rahma adalah pendiri Pulas Katumbiri (PUKA), sebuah studio yang menyediakan ruang dan media kreasi bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus. Visi PUKA adalah untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang ramah difabel.

Dengan latar belakang kuliah bisnis manajemen, ia menggeluti usaha crafting seni dan gambar meski tidak ahli melukis atau desain grafis. Dessy memproduksi tas laptop dari karung goni dengan berbagai hiasan dan berbagai ATK.

Ia dipertemukan dengan anak-anak SLB Al Masduki, Garut, yang menyediakan keterampilan vokasional bidang tata rias, memasak, pertukangan, dan crafting.

“Ternyata setelah dicoba, dibuat produk , responsnya sangat baik. Ketika tahu produk hasil tangan teman disabilitas, respons makin bertambah baik. Untuk perajut tuna daksa, kami kirim materinya ke rumahnya. Kalung, gelang, strap masker, permintaan pasarnya banyak.

Kolaborasi bersama produsen sneakers habis tiga hari,” tuturnya.

Lengan Terkembang

Open Arms/Lengan Terkembang adalah program Yayasan Selasar Sunaryo (YSS) yang bertujuan mendorong penguatan inklusivitas di bidang seni rupa di Indonesia. Program ini terdiri dari rangkaian kegiatan riset, ceramah, dengar pendapat, diskusi terpumpun, lokakarya dan pameran yang berlangsung sepanjang 2023.

Program ini berangkat dari kegiatan mengunjungi pameran, festival, dan biennale seni rupa telah menjadi bagian dari gaya hidup perkotaan yang semakin populer di Indonesia dalam dua puluh tahun terakhir. Namun, persentase rendah partisipan maupun pengunjung pameran dari kalangan penyandang disabilitas menunjukkan bahwa pameran seni rupa belum menjadi ruang edukasi yang inklusif.

Pameran-pameran dan kegiatan-kegiatan edukasi pendampingnya (seperti tur pameran dan lokakarya) cenderung minim inovasi, dan belum memberikan prioritas layanan kepada para penyandang disabilitas sebagai bagian dari publik yang juga berhak atas pendidikan melalui seni.

Belum lagi minimnya aksesibilitas dan kenyamanan untuk kehadiran mereka di ruang-ruang seni seperti galeri, museum atau ruang-ruang pamer lainnya. Belakangan ini, beberapa inisiatif yang mempromosikan seni dengan disabilitas telah muncul di berbagai kota di Indonesia.

Seniman-seniman difabel juga memiliki kelompok/komunitas yang mengorganisir pameran dan kegiatan mereka sendiri. Namun demikian, sebagian besar pameran mereka cenderung dilihat sebagai peristiwa yang berbeda, bahkan terpencil dari kegiatan dunia seni secara umum.

Peluang bagi seniman difabel untuk dapat bergabung dengan proyek atau pameran yang dikuratori di museum dan galeri utama masih jarang. Penyelenggara dan lembaga seni juga tidak memberikan kesempatan kerja yang cukup bagi para penyandang disabilitas untuk bekerja di bidang seni.

Secara keseluruhan, situasi saat ini menunjukkan bahwa kesadaran tentang inklusivitas di dunia seni masih harus didorong lebih kuat lagi. Jejaring kerja sama yang lebih luas di antara Lembaga atau organisasi seni untuk mempromosikan inklusivitas juga harus dirintis.

Diskusi Terpumpun mempertemukan para pengelola ruang, penyelenggara pameran, festival dan biennale seni rupa (dari pemerintah maupun swasta) untuk mendiskusikan langkah-langkah bersama yang dapat dilakukan untuk membuka kesempatan kepada para penyandang disabilitas agar dapat berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan seni rupa di Indonesia.

Hasil diskusi akan digunakan sebagai dasar-dasar penyusunan modul atau buku panduan Lengan Terkembang yang akan didistribusikan secara gratis kepada organisasi dan ruang-ruang seni di Indonesia.

Diskusi terpumpun ini difasilitasi oleh perwakilan aktivis dan seniman difabel yang selama ini aktif mengkampanyekan inklusivitas, antara lain: Sukri Budi Dharma (Butong), seniman, pegiat seni disabilitas/pendiri Yayasan Jogja Disability Arts) dan Irpan Rustandi (aktivis Disabilitas Bergerak Indonesia, Bandung), dengan moderator: Dr. Anne Nurfarina, advokator disabilitas dan akademisi Universitas Multimedia Nusantara, Jakarta.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: