
Banyak cara bagi jurnalis untuk meluapkan isi kepala yang dijejali kepungan fakta dan raupan masalah hasil liputan di lapangan, selain lewat tayangan berita. Selain lewat blog dan mikroblog sebentuk media sosial, medium karya musik bisa menjadi pilihan agar kepingan hasil liputan terpublikasikan lebih jernih dan transparan.
Abo, pewarta di sebuah surat kabar berpengaruh yang bermarkas di Bandung, Harian Pikiran Rakyat, memilih jalur band bergaya doom stoner/heavy rock/post-metal untuk menggambarkan isi keruhnya hidup di kota besar. Bersama rekan kerjanya sesama jurnalis, Hilmi (drum), serta Galih (bas) mereka menggerakkan Madah Tundra untuk menyatakan cerita di balik berita.
Dalam single “Himne Jalanan,” yang ia ciptakan, misalnya, menyoroti kelas pekerja yang ditempa derasnya kehidupan ibukota.
//Hilang. Hilang kau dalam sepi. Kota ini tidak akan melihatmu. Kota ini tidak akan memihakmu. Kota ini seakan kuburanmu. Engkau tersudut di pinggiran. Rasakan nyatanya ketimpangan. Kota ini tidak akan memihakmu. Kota ini seakan kuburanmu. Injak balik!//
Di tengah keriuhan kota, pemuda itu menjadi salah satu orang yang tidak menikmati keriuhan yang ditawarkannya. Ia terasing di tengah hiruk-pikuk.
Di tengah daya tarik kemakmuran dan kesejahteraan yang ditawarkan ekonomi kota, ada momentum ketercerabutan di sana: tercerabut dari asal muasal, tercerabut dari penguasaan atas tubuh dan pikiran.
Merentang Keadilan
Banyak yang beranggapan, bekerja di kota dapat meningkatkan derajat hidup. Namun, seiring tuntutan lembur di atas jam kerja normal, jauh berkurangnya waktu berharga bersama orang- orang yang disayangi karena tersita olehnya, pada saat bersamaan upah terasa semakin timpang dengan inflasi, peningkatan derajat hidup seolah hanya menjadi kata-kata yang hambar.
Sementara di sudut kota yang lain ada orang-orang yang teristimewakan: pemilik kuasa yang besar, sampai-sampai mampu melakukan pengusiran terhadap sesama spesiesnya. Keadilan dan kesetaraan hanya menguntungkan segelintir elit penguasa kapital.
“Memang ada frustasi dimana-mana, kemarahan dalam ketidakberdayaan, perampasan di segala bidang. Ya, memang ada yang tidak beres di dalam sebuah kota. Lantas mau apa? Di tengah lapangan pekerjaan tidak menentu, pendapatan tidak keruan, hidup masih harus tetap berjalan. Bagi pemuda itu, setidaknya biarkan untuk kali ini saja, kehidupan yang bergulir tak terkendali ini digontaikan oleh apapun yang memabukkan,” kata Abo.
Slow tempo yang menuntun sepanjang “Himne Jalanan” mengajak pendengarnya menelan pesan lirik merasuk perlahan. Sisanya, biarkan karakter vokal Abo yang berdistorsi mengiris-iris syair dengan tekanan parau yang melantang.
Distorsi yang mengiringi riff bersensasi rock membentuk raungan sonik membulat, dengan palm-muted yang mengepung tata suara meluncur berat. Melodi-melodi sederhana bersama selipan nuansa psikedelik di tengah track cukup ampuh untuk meredam ritme hidup pekerja urban dari siklus hari-hari mesin kapitalisme.

Mini Album
“Himne Jalanan” menjadi single Madah Tundra yang membuka jalan menuju perilisan mini album perdananya, Derau Kalabendu, di pengujung 2021. Album berisi tiga lagu berdurasi panjang disajikan melalui format kaset dan juga platform digital.
Adapun dua nomor lainya diisi “Zaman Bergerak” dan “Kiamat Gaya Bebas.” Dibandingkan single, kedua lagu lainnya menyajikan komposisi musik yang lebih kompleks dan dinamis. Distorsi berat dan noise menambah atmosfer lagu menjadi lebih kelam.
Lirik yang dibawakan dalam “Zaman Bergerak” masih mengusung tema demotivasional. Sementara “Kiamat Gaya Bebas” berupa karya instrumental dengan sentuhan drone yang kental.
Derau Kalabendu, secara sederhana bisa diartikan sebagai noise atau kebisingan di zaman yang kacau balau. Pemilihan judul itu terkait dengan situasi yang melingkupi lingkungan Madah Tundra sendiri selama periode produksi album pada tahun 2019-2021.
Pada tahun tersebut, wabah Covid-19 melanda dunia dan memberikan dampak yang serius bagi setiap segi kehidupan. Kemudian, masih pada periode yang sama pula, muncul demonstrasi-demonstrasi yang cukup serius sebagai respon terhadap kebijakan negara melalui pengesahan UU Omnibus Law.
Tundra
Madah Tundra adalah himne/nyanyian dari padang/gurun yang tandus. Nama Madah Tundra terinspirasi oleh album Godflesh berjudul Hymns yang kemudian diterjemahkan menjadi “madah” dalam bahasa Indonesia. Sementara kata “tundra” sendiri terinspirasi dari lagu “Pelican” dalam album Forever Becoming yang berjudul The Tundra.
Madah Tundra awalnya diinisiasi oleh Abo yang terinspirasi oleh band-band metal/doom/sludge/stoner/eksperimental dengan sound heavy pada dasawarsa 2000-2010, seperti Warhorse, Isis, Pelican, Neurosis, Godflesh, Cathedral, Teeth of Lions Rule the Divine dan lainnya.
Abo kemudian mengajak Hilmi mengisi drum untuk mengolah komposisi lagu sendiri yang terinspirasi dari band-band yang tersebut. Lalu, Irul masuk untuk mengisi bas. Irul yang akhirnya cabut karena mengisi prioritas lain digantikan. Fian.
Selama dua tahun, personel Madah Tundra fokus untuk menggarap lagu sendiri di dalam studio. Proses penggarapannya terbilang lama, mencapai dua tahun, karena setiap personel sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Pada tahun 2017, sebuah label bernama Royal Yawns (sekarang tidak aktif), tertarik untuk merilis lagu-lagu mereka. Kerja sama dengan Royal Yawns hanya berhasil membuahkan satu single “Malam Buas” pada 2018. Setelahnya, label tersebut tidak aktif.
Pada 2019, para personel Madah Tundra kembali masuk ke studio rekaman untuk merekam lagu. Dari hasil rekaman itu kemudian lahir mini album bertitel Derau Kalabendu pada akhir tahun 2021.
Tak lama dari rilisnya mini album perdana Madah Tundra ini, Fian keluar. Posisinya kemudian digantikan oleh Galih hingga saat ini. Album tersebut dirilis secara swadaya melalui format kaset dan digital. Untuk mendengarkan mini album dalam format digital, bisa langsung cek di songwhip.com.
Reaktor Doom
Corak Madah Tundra terancang dari Abo yang dirasuki lagu Anthem milik Godflesh dan Wills Dissolve dari Isis dalam putaran yang intens.
Nomor-nomor ini begitu menghipnotis, yang terkadang membawa kepada ingatan tentang sebuah antusiasme. Arah aliran musik itu kemudian mengalir dan mempertemukan Abi dengan track paling awal Warhorse dari album As Heavens Turns To Ash, yaitu “Doom’s Bride.”
“Lagu itu keras menghentak layaknya kerumunan Mammoth menghantam tubuh ringkihmu: temponya begitu pelan, tapi sekaligus terasa berat dan kencang,” kata Abo.
“Perjumpaan” yang mengagetkan dengan Warhorse itu kemudian menghantarkan ke hal-hal menarik lainnya: Earth, Pelican, Sunn O))), Cathedral, Boris, Electric Wizard, Goatsnake, hingga Elder.
“Di satu fase dalam perjalanan, sebuah dorongan terasa kuat untuk bisa menerjemahkan nada-nada yang samar berkelibat itu. Dorongan untuk tidak sekadar mengingat saja, tetapi juga berkreasi. Berangkat dari kondisi yang sangat sederhana, terbatas, dan dengan berjibaku mengakali tuntutan rutinitas harian, reinterpretasi atas nada-nada itu secara perlahan dirajut. Begitulah kemudian proses kreasi menggelinding,” ujar Abo.

Kritis-Dramatis
Tawaran gabung dari Abo membuat Hilmi menghabiskan waktu cukup lama untuk memahami musik post-metal dan selingkarnya. Teman seangkatan Abo di Harian Pikiran Rakyat itu dikenal aktif bermain untuk sebuah band bersama Weezerian Bandung.
“Abo meyakinkan saya kalau musik yang akan kami bawakan itu mudah. Dia bilang ‘Tempo drumnya pelan kok, gampang.’ Dia pikir begitu karena saya lebih sering memainkan ketukan drum bertempo sedang-cepat dan powerful bersama band terdahulu,” kata Hilmi.
Di satu studio bilangan Buah Batu, Bandung, Abo kembali menunjukkan lagu ciptaannya yang berjudul “Malam Buas.” Nomor itu yang akhirnya menjadi single perdana Madah Tundra yang diriis label independen lokal, Royal Yawns pada 2018.
Format musik yang terbilang baru bagi Hilmi itu diserap sebagai tantangan: meski sempat membuat terkejut dengan dinamika time signature dan tempo yang berubah-ubah sepanjang lagu. Untungnya Hilmi cukup intens mendengarkan Mastodon, Sumac dan band metal lain yang sering memainkan ritme yang agak janggal.
“Tapi tetap saja, saya lumayan babak belur mengikuti keinginan Abo. Kami bahkan berlatih hampir setiap pekan selama satu tahun lamanya hanya untuk menyamakan pemikiran dan perasaan membawakan satu komposisi itu saja,” ujarnya.
Hilmi juga merasa terhubung dengan lirik yang ditulis Abo, yang menularkan pesan skeptis dan demotivasional seperti yang dirasakan dalam lagu-lagu “Hymne Jalanan” dan “Zaman Bergerak.”
Kedua lagu tersebut berisi kegelisahan rakyat jelata di tengah hiruk-pikuk perkotaan yang dikuasai kapitalisme dan oligarki, buah pengamatan dan pemikiran kritis Abo. Hilmi menakar pesan yang terkandung di setiap lagu sangat kuat. Apalagi, setelah diekspresikan melalui komposisi musik post-metal/doom/stoner yang kelam dan dramatis.
“Sebagai wartawan yang pernah mengalami tugas di bidang perekonomian, perkotaan, daerah tertinggal hingga pemerintah pusat, Abo memiliki gambaran yang utuh mengenai kondisi proletarian,” katanya.
Gairah Hilmi di Madah Tundra juga tercipta karena musik seperti ini mungkin juga belum banyak dibawakan dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia.
“Harapan kami tak banyak, hanya ingin berbagi ide dan pengalaman hidup. Pesan demotivasional di lagu-lagu kami jangan dianggap pesimistis tapi justru untuk mengimbangi motivasi masyarakat modern yang berlebihan. Realistis saja,” kata Hilmi.

Artwork
Pengerjaan rilisan Madah Tundra kali ini tak lepas dari bantuan Satria T. Nugraha yang telah mencurahkan talentanya untuk menggarap bagian artwork. Seniman asal Bandung yang kini berdomisili di Bali ini telah menghasilkan sejumlah karya ciamik.
Madah Tundra cukup beruntung untuk menjadi salah satu bagian dari eksperimentasinya. Karya Satria kerap bercirikan kolase dari berbagai objek yang sekilas menghasilkan struktur yang tak beraturan, tetapi bahkan kekacauan mempunyai polanya sendiri.
Mayoritas karya Satria kerap didominasi oleh warna-warna cerah. Namun, kali ini ia telah membawa dirinya kembali ke kegelapan murni di saat cahaya penerang kali ini hanyalah sulutan api di atas puing-puing modernisasi yang sekarat.
Video
Pada Mei 2022, video musik dari single “Himne Jalanan” dirilis melalui platform YouTube. Video musik itu digarap oleh Yusuf Wijanarko dengan dukungan videographer Aditya Putra Sundawa.
Yusuf menafsirkan “Himne Jalanan” dari sebentuk kilatan-kilatan adegan mahakarya Andrei Tarkovsky, Stalker, yang terlampau surealis, serta bayangan lukisan-lukisan Edward Hopper yang begitu tekun merekam kekosongan.
Semua ditafsirkan ulang dan dikawinkan dengan tema kehidupan urban dari sudut pandang Madah Tundra. Muncullah visualisasi yang kotor, mentah, dan menolak keindahan. Namun, tetap ada upaya agar tidak tersesat di labirin dadaisme.
Di sisi lain, menyusun gambar berdurasi 11 menit tanpa cerita solid dan bertempo lambat, tapi mengentak khas doom metal, dirasa sangat menantang. Saat bicara soal jalanan, pikiran tak bisa lepas dari hal-hal seputar perjuangan kelas pekerja, perjuangan universal yang seolah berlangsung sepanjang zaman.
“Itulah kiranya kenapa peristiwa akhir dalam video ini sama dengan peristiwa awal, hanya tempat dan waktunya yang berbeda. Semoga bisa jadi pengingat bahwa kota dan masyarakatnya bisa sedemikian rusak,” kata Yusuf.
Bentukan Musik
Abo menyatakan, Madah Tundra tidak diliputi oleh ambisi yang tinggi untuk mencari bentuk orisinalitas, otentisitas atau apapun yang berorientasi menjadi pembeda seperti itu. Sebaliknya, membicarakan Madah Tundra ibarat melihat seorang bocah yang tengah belajar instrumen musik untuk yang pertama kalinya.
Madah Tundra berusaha keras memainkan lagu The Voyage of the Homeless Sapien dari Cathedral yang epik, lagu Glimmer dari Pelican yang sangat menyenangkan, lagu Shallow dari Porcupine Tree yang tak kalah mengasyikan dan banyak lagi.
Ia hanya meyakini, perjalanan karya perlahan akan membentuk sebuah komposisi musik dalam sebuah entitas bernama Madah Tundra.
“Bisa dibilang, ini adalah sebuah bentuk kecintaan seorang fans terhadap musik-musik yang didengarkannya selama ini. Madah Tundra adalah suka cita dan pujian bagi para pendahulu yang telah menyumbangkan karya musiknya yang begitu inspiratif,” kata Abo.***