
Setelah lama tinggal di Bali, perupa Hardiman kembali ke Bandung dan menggelar pameran tunggal Harakat Warna Hardiman, di Griya Seni Popo Iskandar, 19 Oktober-7 November 2022.
Perayaan mudiknya Hardiman ini secara khusus menghadirkan seri karya terbarunya diantaranya adalah seri karya Jalak Bali dan juga Ikan. Dalam seri ini, Hardiman menampilkan karyanya dengan keistimewaan pilihan warna.
Kurator pameran ini, Rizki A. Zaelani mengatakan, Hardiman adalah perintis ‘seniman diaspora Bandung’ di kancah kemajuan seni rupa Bali. Meski berjarak, Bandung tak pernah merasa terpisah.
Di tengah padatnya agenda sebagai pengajar, penulis, kritikus, hingga kurator seni rupa Bali, Hardiman tekun memelihara khazanah seni Bandung dalam potensi kekuatan warna.
Ekspresi warna ini yang menurut Rizki adalah unsur penting. Bagi Hardiman, ungkapan warna ibarat memilih kata-kata untuk menjadi ungkapan baru tentang hal yang sebelumnya pernah dinyatakan pihak lain. Pernyataan seni bukan hanya urusan dialek ekspresi tapi soal maksud dari struktur pengalaman perasaan yang mendalam.
Kekuatan warna dalam lukisan Hardiman adalah kode estetik khas, sebagai “harakat warna” atau “tanda-tanda baca dalam warna.” Tanda semacam ini tak hanya menjadikan sebuah bentuk punya makna tapi juga terbedakan dari keadaannya yang semula.
“Peran warna bagi lukisan Hardiman tak hanya menyatakan ekspresi simbolik tapi juga hubungan sintagmatik tanda warna pada masyarakat dan budaya Bali. Bagi Hardiman, harakat warna dalam hubungan sosial-kultural semacam itu adalah dorongan untuk menyatakan tanda bahasa tanpa harus terbatas jadi bentuk komunikasi,” kata Rizki.

Anugerah
Pengelola Griya Seni Popo Iskandar Anton Susanto antusias menyambut pameran tunggal Hardiman ini. Pameran ini dilaksanakan 43 tahun sejak berdirinya tempat ini sebagai Museum Sanggar Seni Rupa, atau menjelang 22 tahun bertransformasinya menjadi Griya Seni Popo Iskandar pada tanggal 17 November 2022 mendatang.
Yang menjadi istimewa, ini merupakan pameran tunggal perdananya di Griya Seni Popo Iskandar, meski Hardiman merupakan sosok yang sangat dekat dengan figur Popo Iskandar juga Griya Seni Popo Iskandar.
Anton menuturkan, Hardiman adalah sosok seorang seniman serba bisa. Ia mengabdikan dirinya sebagai pelukis, penulis, kritikus, kurator, dan juga pengajar. Kesemuanya digeluti secara tekun oleh pria kelahiran Garut, 7 Mei 1957 itu.
Selain di wilayah kesenirupaan, ekspresi kreativitasnya pun muncul pada bidang-bidang lain seperti fotografi, teater dan sastra. Sebagai seorang pelukis yang diakui kontribusinya terhadap perkembangan seni rupa di Bali, Hardiman pernah menerima penghargaan Wijaya Kusuma yang dianugerahkan oleh Pemerintah Daerah Buleleng Bali.
Sebagai seorang penulis yang produktif yang menelurkan berbagai buku, Hardiman juga sempat dianugerahi Penghargaan Widya Pataka oleh Gubernur Bali. Sedangkan pada ajang International Printmaking and Paper Art yang diselenggarakan di Jakarta, karya Hardiman pun meraih predikat sebagai karya terbaik Paper Art.
Sebagai seorang seniman yang pernah bersekolah di IKIP (sekarang UPI) Bandung, yang mana salah satu pengajarnya adalah Popo Iskandar, sosok Hardiman merupakan sosok yang sangat akrab dan dekat serta memiliki penanda khusus bagi Popo Iskandar.

Popo Iskandar
Dalam beberapa pembicaraan, kata Anton, Popo Iskandar acap menyebutkan Hardiman sebagai salah satu mahasiswanya yang sangat berbakat dan potensial. Bahkan interaksi antara dosen dan mahasiswanya ini masih berlanjut setelah Hardiman lulus dari bangku kuliah dan kemudian berhijrah ke Bali.
Dialog-dialog terus dibangun secara jarak jauh selama bertahun-tahun melalui surat antara Popo Iskandar dengan Hardiman yang mana menjadi sebuah dukungan kepada Hardiman untuk terus membangun jati diri sebagai seorang seniman dengan memperhatikan aspek lingkungan sekitar yaitu tempat tinggalnya di Bali.
“Dan seorang Hardiman pun tidak berdiam diri, dengan segala tantangan dan rintangan sebagai seorang diaspora dari tanah Sunda di tanah Bali, Hardiman pun mewarnai Bali dengan seninya, dan mewarnai seninya dengan ke-Bali-annya,” tutur Anton.
Sebagai seorang pelukis, Hardiman memposisikan dirinya sebagai seorang formalis yang percaya pada persoalan visual. Dalam pernyataan pribadinya, Hardiman menilai lukisan adalah persoalan visual per se dan hal lain di luar itu hanyalah bumbu yang menghilangkan unsur pokok.
Pandangan ini cukup relevan terlebih dengan latar seni rupa modern yang sangat kuat menjadi pengaruh utama dalam modusnya berkarya khususnya pada karya-karya lukisnya.

Pada karya-karya Hardiman tidak akan ditemukan karya yang terlalu cerewet menyampaikan banyak hal sehingga tidak memberikan kesempatan yang lebih luang untuk menelusuri aspek-aspek formal dan pengalaman visual yang lebih personal saat berhadapan dengan karya-karya tersebut.
“Pola yang sama dapat kita temukan misalnya pada karya-karya Popo Iskandar. Popo Iskandar memiliki ghirah untuk menggarap satu tema secara berulang-ulang dengan tantangan untuk tidak menciptakan karya yang sama satu dan lainnya,” katanya.
Ia menyontohkan, pada tema lukisan ayam jago yang sudah muncul pada karya-karya Popo Iskandar sejak tahun 50-an hingga akhir hayatnya tahun 2000. Salah satu karya yang sedang digarap dan belum selesai saat wafat adalah tema ayam jago.
Dalam rentang waktu selama 40 tahun, Popo Iskandar menghadirkan banyak kemungkinan visual dari satu tema ayam jago tersebut.
Seperti halnya Popo Iskandar, yang memliki rentang tema yang sangat luas dalam tulisannya dibandingkan tema pada karya lukisnya, Hardiman pun merupakan seorang pemikir yang mampu menuangkan gagasan-gagasannya dalam banyak tulisan.
“Maka sangat mungkin inilah yang kemudian menjadi saluran seorang Hardiman menyampaikan banyak pemikiran dan gagasannya kepada publik, dan kemudian meredam kemunculannya pada karya-karya lukisannya. Dalam tulisannya ia bisa membahas tema yang beragam dengan sudut pandang beragam pula. Sementara lukisannya kemudian menjadi ruang yang cukup steril dari banyak hal yang menurut Hardiman dapat menjadi bumbu yang menghilangkan unsur pokok yaitu persoalan visual itu sendiri,” ujar Anton.
Pada karya-karya yang tidak gaduh memberikan pesan ataupun narasi pada karya-karya seperti karya Hardiman, akan memberikan ruang yang cukup luas bagi siapapun untuk kemudian melakukan interpretasi pada karya-karya tersebut sehingga terjadi interaksi personal dengan setiap audiensnya.
Burung Jalak Bali dan Ikan bisa jadi merupakan sebuah pesan yang Hardiman sampaikan dalam hal menggambarkan posisi dan identitasnya sebagai seniman yang memiliki akar dari wilayah Jawa Barat dan pengaruh seni modern yang berkembang di “Bandung” dengan ghirah kesenimanan dan kehidupannya sebagai seniman yang menetap di “Bali”.
Kepak sayap dan kicau Jalak Bali pada lukisan Hardiman merupakan sebuah pengejawantahan dari berbagai manifestasi latar pengaruh kecenderungan seni rupa Bandung yang ia hadirkan sebagai representasi gagasan dan visi tentang pembaharuan seni rupa di Bali yang terus ia cari.
Sebuah kesadaran yang secara konsisten ia bangun semenjak berhijrah dan berdomisili di Bali. Gagasan-gagasan yang tidak hanya digali dan dihadirkan melalui karya lukis namun juga dalam bentuk pemikiran yang disampaikan dalam bentuk tulisan kepada publik ataupun pengajaran dalam lingkungan akademisnya di Universitas Pendidikan Ganesha Bali, tempat ia mengajar.
Beberapa di antara mereka (mahasiswanya) kemudian berprofesi sebagai pengajar yang mampu menyebarkan gagasan-gagasan tersebut semakin luas.
Lukisan ikan merupakan sebuah simbol dari spirit yang melatarinya sebagai seorang “diaspora” orang Sunda yang berhijrah ke Bali.
Status dan posisinya yang secara khas membentuk cara berpikir Hardiman tentang seni rupa dengan menghubungkan aspek kenangan pada pengalaman masa lalu dengan seni rupa Bandung dan visinya terhadap masa depan seni rupa Bali.
Lukisan ikan Hardiman bukan ikan-ikan laut yang identik dengan Bali seperti halnya Burung Jalak Bali yang sangat identik dengan Bali. Ikan-ikan Hardiman adalah ikan yang hidup di air tawar, ikan-ikan yang berasal dari daratan tanah Parahyangan.
“Ikan-ikan yang mengikat memori historis dengan tanah kelahirannya. Bukan ikan-ikan yang berjejer atau bertumpuk di pasar ataupun jaring nelayan, tapi ikan hidup yang bergerak di air. Karena hanya ikan hiduplah yang mampu bertahan dan melawan arus,” kata Anton.***