Lawangwangi Pamerkan Dystopian Diffraction: Reality Reconstruction

Karya dalam Pameran Dystopian Diffraction: Reality Reconstruction sebagai bagian dari Bandung Photography Triennale 2022 di Lawangwangi Creative Space, 30 September-30 Oktober 2022. Foto: Bandung Photography Triennale.

Ruang pamer Lawangwangi Creative Space menampilkan sepilihan karya fotografi seni yang memperlihatkan cara seniman merespon dunia sekelilingnya; baik dunia dalam maupun dunia luar dirinya.

Kurator Pameran Dystopian Diffraction: Reality Reconstruction, Danuh Tyas Pradipta menuturkan, di dalam karya-karya ini para seniman merekonstruksi kembali persoalan yang ada, dengan mengkonfigurasikan kode-kode visual dalam karyanya yang berasal dari berbagai realita: kode-kode personal, maupun yang telah dikenali dan disepakati secara sosial.

“Beberapa seniman memilih berfokus pada dunia dalam; rekonstruksi atas memori dan pengalaman personal mereka,” ujar Danuh.

Kamila Kobierzyńska dari Polandia menampilkan citra burung merpati di tengah bidang biru. Bagi masyarakat Polandia, burung merpati adalah pertanda lingkungan yang bersih.

Sebagian citra burung digambarkan menyaru dengan latar biru yang mengingatkan pada warna langit yang bersih; seolah sesuatu yang tampak samar-samar, menyiratkan ingatan atau hasrat atas sesuatu yang samar dan tidak benar ada lagi.

Sementara perupa dari Jerman, Larissa Mühlrath menampilkan beberapa citra. Masing-masing memperlihatkan tiga buah jarum dikelilingi guratan-guratan garis yang tidak ajek karena terbuat dari bahan semacam bubuk atau pasir. Konfigurasi tersebut bisa bisa menggugah permenungan pada waktu yang selalu berubah dan sifat kesementaraan.

Dari Indonesia, Krisna Trisila Satmoko menampilkan foto-foto makanan yang ditransfer ke atas piring. Foto-foto tersebut diambil dari hasil kerja fotografinya di masa lalu.

Krisna menampilkan konfigurasi sejurus sikapnya pada makanan selama ini. Persandingan citra makanan dengan piring yang konkret memberi kode lain.

“Betapa hari ini, menyantap makanan tidak lagi sederhana; mengecap rasa makanan boleh jadi tidak lebih penting dari ritual memotret dan membagikannya di sosial media. Di situ, makanan dengan segala bahan, tekstur dan rasanya yang kongkret seolah dapat terwakili melalui citra digitalnya yang diunggah di sosial media,” ujarnya.

Laurent Millet dari Prancis, menampilkan citra objek berbentuk polyhedron di tengah bidang hitam. Objek-objek tersebut adalah hasil rekonstruksinya atas rumusan matematik yang dibuat oleh seorang pandai emas terkenal: Wenzel Jamnitzer; yang dikenal juga dengan pendekatan kerjanya yang ilmiah untuk mendapakan bentuk yang presisi.

Objek-objek transparan dengan latar hitam sepintas seperti usaha memperlihatkan struktur objek, baik detil maupun kerumitannya. Penggunaan material fotografi yang rumit dan mahal, memperlihatkan makna lain: penghargaan atas gagasan atau cita-cita di masa lalu dan capaian perwujudannya di masa kini.

Karya dalam Pameran Dystopian Diffraction: Reality Reconstruction sebagai bagian dari Bandung Photography Triennale 2022 di Lawangwangi Creative Space, 30 September-30 Oktober 2022. Foto: Bandung Photography Triennale.

Ranah Sosial

Danuh mengatakan, sebagian seniman lainnya memilih berfokus pada dunia luar; rekonstruksi atas fenomena yang terjadi di lingkungan sosial mereka. Seperti Piyatat Hemmatat dari Thailand yang menampilkan citra objek geometris dan organis berlatar hitam.

Apresiator diajak menikmati tampilan bentuk-bentuk tersebut. Detail bentuk-bentuk objek terkespose dengan sangat baik, kontras dengan latar. Bentuk-bentuk itu berasal dari senjata api: bagian dari pistol, bekas proyektil peluru, momen letupan tembakan atau residu mesiu.

Sikap kritis dari situasi ironi muncul di sana: apa yang kita cerap sebagai bentuk indah dan menarik, sebetulnya berasal dari sesuatu yang dapat mematikan. Fenomena sosial tentang penembakan di ruang-ruang publik belakangan, menambah urgensi atas sikap kritis tersebut.

Perupa Thailand lainnya, Naraphat Sakarthornsap menyajikan rekonstruksi atas rangkaian bunga. Citra berbagai rangkaian bunga ditampilkan, namun dengan kejanggalan di beberapa bagian.

Kejanggalan tersebut berupa bagian batang dan daun bunga yang dibentuk membentuk sebuah kata berupa kata-kata umpatan dan vulgar. Di dalam masyarakat Thailand, rangkaian bunga adalah benda elite yang hanya dimiliki oleh kelas sosial atas. Karya ini menyodorkan gugatan atas pembedaan kelas sosial.

Chien-hua Huang dari Taiwan menawarkan hasil penggabungan citra dari berbagai realita. Hutan, berbagai hewan dari daerah berbeda, hewan-hewan laut, virus hingga kendaraan. Konfigurasi tersebut menciptakan pemandangan yang surreal dan imajinatif.

Konsep gabungan citra tersebut merepresentasikan situasi hidup hari ini. Dengan kemajuan teknologi yang ada, kita dapat dengan mudah memanipulasi, menciptakan fantasi-fantasi kita sendiri, dan bahkan memposisikannya sebagai realita dan dunia ideal bagi kita.

Dari Indonesia, Wimo Ambala Bayang menawarkan persepsi yang ganjil terhadap hal-hal yang biasa kita temui sehari-hari. Karya-karyanya menampilkan citra yang fantasi, dengan cara menambah, mengurangi serta menggabung citra berbagai objek di sekitar kita. Ia merekonstruksi foto-foto lama yang pernah ia buat.

Wimo memantik fenomena kemajuan teknologi digital yang telah mengakibatkan keterbatasan yang dulu ada, kini terlampaui; imajinasi terbang tak terbatas. Apa yang sudah terlanjur ada, kini dengan mudah dapat direvisi seperti apa yang kita mau dan anggap ideal.

Karya dalam Pameran Dystopian Diffraction: Reality Reconstruction sebagai bagian dari Bandung Photography Triennale 2022 di Lawangwangi Creative Space, 30 September-30 Oktober 2022. Foto: Bandung Photography Triennale.

Alam

Dunia luar seniman tidak saja berupa lingkungan sosial, melainkan pula lingkungan alam. Di Lawangwangi, sejumlah seniman mencoba merekonstruksi persoalan yang berkaitan dengan situasi alam di sekitar mereka.

Oh Soon-hwa dari Singapura menampilkan foto dokumenter yang memperlihatkan sekelompok orang bersanding dengan aliran sungai Mekong. Konfigurasi terjadi antara semua citra dalam karya; situasi proyek pembangunan bendungan, aliran sungai yang terasa dangkal, serta beberapa orang di sekitar aliran sungai yang tampak pasif –tanpa melakukan aktivitas apapun.

Konfigurasi tersebut boleh menyiratkan relasi: pembangunan bendungan untuk pembangkit listrik di aliran sungai Mekong –sebagai sumber energi di perkotaan-memberi dampak lain bagi segala macam kehidupan di sepanjang aliran sungai.

“Ekosistem yang rusak akibat pembangungan, serta terganggunya aktivitas matapencaharian masyarakat di sekitar aliran sungai akibat terbatasnya pasokan aliran air akibat proses pembendungan,” kata Danuh.

Kelly Hussey-Smith dari Australia juga berurusan dengan lingkungan alam dan sosial sekaligus. Berkolaborasi dengan co-author Allan Hill, ia menampilkan citra-citra dokumentatif yang ia ambil dari beberapa bagian proyek pembangunan di Central Queensland.

Konfigurasi antara citra-citra seperti: tiang tiang gardu listrik, alat-alat berat, mesin-mesin besar, hamparan tanah luas, atau padang rumput, serta sosok manusia, menghasilkan tegangan antara sesuatu yang industrial dengan yang natural.

Pembangunan yang dilakukan manusia, atas nama modernisasi, kemajuan serta kesejahteraan ekonomi seringkali berimbas pada rusak dan hilangnya lingkungan alamiah; dan mengiringi itu berubah pula situasi hidup (sosial) masyarakat yang hidup di sekitar wilayah tersebut.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: