Saksofonis bariton asal Jerman, Kira Linn, menggelar konser di Indonesia bersama bandnya, Linntett, sebagai bagian dari tur perdana di Asia Tenggara.
Linntett tampil di Goethe-Institut Bandung pada 21 Mei dan di GoetheHaus Jakarta pada 24 Mei. Linntett membawakan sejumlah lagu, termasuk dari album ketiga Kira Linn, Illusion.

Penampilannya di Goethe-Institut Bandung direspons dengan syahdu oleh penonton.
Set panggung di tengah hijaunya rerumputan didukung atmosfer gedung klasik Goethe-Institut Bandung di kawasan Jalan Riau, Bandung, menyempurnakan ambiens konser malam itu.
“Saya merasa tempat ini begitu nyaman, dan rasanya sangat intim. Saya bisa merasakan terhubung langsung dengan audiens. Kalau boleh, saya lebih memilih konser intim seperti ini ketimbang di hall besar yang berjarak dengan audiens,” kata Kira Linn.

Audiens makin betah dengan aksi atraktif dari para personel Linntett, dengan sederet breakdown solo yang juga ditunjukkan Nino Wenger (saksofon alto, seruling), Freek Mulder (bas elektrik), dan Johannes Koch (drum).
Nuansa jazz yang dihadirkan Kira Linn mampu menawarkan keintiman bersama audiens berkat keragaman unsur pop, indie, elektro, neo-soul, hingga RnB di dalam karyanya.
Unsur elektronik, terutama untuk mendukung sisi vokal ini yang cukup dominan ditonjolkan Kira Linn sebagai komposer dan penulis lagu karya-karyanya.

Rancangan musik yang menyerap pengaruh musik pop, elektronik, dan RnB itu sejalan dengan misi Kira Linn untuk menyasar anak muda agar mengenal dan mencintai jazz. Di Jerman, ia masih melihat penyuka jazz didominasi kalangan dewasa.
Maka, ia mencoba untuk membuat jazz lebih nyaman bagi anak muda sekaligus menyajikan topik yang terhubung dengan masa kini.
“Saya dengar banyak lagu pop. Saya sangat menyukai Billie Elish, dia merupakan inspirasi terbesar saya. Itu bisa jadi alasan kenapa produksi lagu-lagu saya banyak menaruh unsur elektronik. Saya mencoba banyak keragaman gaya, mengembangkan banyak gaya dari pop, RnB, musik elektronik bersama dengan jazz,” tuturnya.

Satu lagu menjelang penutup konser, “Women to Sky” yang dipetik dari album Illusion, misalnya, merupakan sampel dari struktur lagu segar dengan sisipan musik elektronik yang mampu menaikkan tensi tontonan malam itu.
Bas berdentum yang sesekali diisi beatdown dengan ritmik RnB dan hiphop memicu anggukan dari para pendengarnya. Kira Linn mengalunkan lirik puitik yang menaruh spirit bagi para perempuan agar berani keluar dan berdaya.

Apalagi musik jazz masih didominasi oleh musisi pria. Banyak penyanyi jazz perempuan, tetapi tidak begitu dengan pemain instrumen wanita. Oleh karena itu, ia merasa harus menunjukkan bahwa perempuan bisa menyajikan karya terbaik di ranah jazz.
“Saya berharap bisa jadi inspirasi bagi perempuan muda lain yang sedang menekuni musik, menjadi musisi, berkarya, dan meningkatkan keahlian instrumennya. Perempuan yang mendengarkan karya saya bisa bangkit dan merasa berdaya, percaya diri, memperjuangkan apa yang mau mereka lakukan,” kata Kira Linn.

Sedari awal, Kira Linn begitu bersungguh-sungguh dalam upaya meraih visinya, yang akhirnya mencapai kesuksesannya kini. Kira Linn menunjukkan keseriusannya mendalami jazz lewat gelar sarjana ilmu saxophone jazz dari University of Music Nuremberg, dan mendapat gelar master dari Jazzcampus, Basel.

Ia telah bermain di banyak panggung di New York dan Afrika Selatan bersama berbagai proyek musik dan ansambel musik ternama, termasuk German National Youth Jazz Orchestra, Frankfurt Radio Bigband, dan Swiss Jazz Orchestra.

Sebelum konser di masing-masing kota, Kira Linn dan para personel Linntett juga menjadi narasumber dalam lokakarya musik. Di Bandung, lokakarya dilangsungkan di Ruang Putih, dan di Jakarta, diselenggarakan di Universitas Pelita Harapan yang bekerja sama dengan Program Studi Musik.***