Sebanyak 10 fotografer musik menggelar pameran bertajuk “Kilas”. Pameran ini menampilkan kedekatan para fotografer musik dengan kesehariannya mendokumentasikan kegiatan para musisi.
Mereka adalah Anggra Bagja, Assiva Rizki Safaat, Aziz Rustanto, Bimantara Septianto, Fahmi Ramdhani, Hary Septiadi, Ibrahim Partogi, Prita M, Sinda Muhamad Hupron, dan Weganaldi. Kesepuluh fotografer menambah embel-embel “Volume 0” pada pameran kali ini.
Dalam pengantar pameran tersebut, Bani Hakiki menulis kehadiran fotografi dan videografi yang menyumbang banyak gerbang eksploratif serta reflektif dalam kancah musik, seperti halnya dalam fotografi seni.

Lebih lanjut ia menerangkan, kata “kilas” sebagai judul pameran ini sebetulnya bersifat manasuka (arbitrer), tanpa perumusan yang serius atau bahkan proses berpikir yang menguras pikiran dari para inisiatornya.
Namun, kata itu merangkum cukup banyak makna di balik penyusunan pameran ini sendiri.
Mulai dari ide dan proses komunikasi yang selintas hingga mengikat seluruh rangkaian gambar yang sebelumnya hampir usang dan tidak berarti tanpa adanya gairah untuk mengingat dan merefleksikan kembali cerita di balik setiap karya baik sebelum, saat, dan setelah lensa menangkap momennya.

“Gelaran ‘volume 0’ ini juga hadir sebagai bentuk keresahan yang muncul atas dasar kesadaran bahwa pengarsipan berupa dokumentasi foto dan gambar bergerak sangatlah penting entah bagi pegiat musik atau khalayak umum. Dan diharapkan dapat menarik perhatian lebih dalam dunia dokumentasi terutama di ranah musik sambil melanjutkan nafas pengarsipan yang sudah lebih dulu dijalani para pendahulunya di Kota Bandung maupun kota-kota lainnya,” kata Bani.

Tak hanya menampilkan dokumentasi foto dan video saja, instalasi pameran menghadirkan juga pernak-pernik berupa kartu tanda pengenal (ID Card), akses masuk di beberapa acara musik dari skala kolektif hingga festival, juga barang-barang personal para peserta pameran.
Fahmi Ramdani, salah satu fotografer yang ikut serta yang berbincang dengan kami menyebut hadirnya pernak-pernik tersebut bukan sekadar gimmick belaka, namun mendekatkan sisi personal para pameris dengan audiensnya.
“ID card, dan berbagai pernak-pernik ini yang membawa kita sampai bisa menghasilkan karya. Kalau enggak ada pernak-pernik ini, mungkin karyanya pun enggak akan ada,” ucapnya.

Fahmi mengaku pameran “Kilas” merupakan keresahan pribadinya, yang kemudian ditularkan kepada rekan-rekan pelaku dokumentasi musik.
Gayung bersambut, keresahannya tersebut mendapat respons positif. Berbekal relasi kolektif dan semangat yang sama, proses kreatif pameran “Kilas” mulai digarap.
“Konsep awalnya dokumentasi musik. Walau begitu, kami meyakini pasti ujung-ujungnya karyanya foto atau videografi panggung. Dan benar saja. Tetapi meski begitu, enggak salah juga. Karena kami membebaskan para pameris untuk menampilkan ekspresi mereka,” ucap fotografer yang banyak terlibat dalam pendokumentasian aksi panggung grup musik Under 18 ini.

Sisi personal dari tiap karya pun diperkuat dengan cerita di masing-masing karya tiap pameris. Anggra Bagja misalnya, yang mendedikasikan karyanya untuk Almarhum Eben (Burgerkill) dan tentunya untuk Burgerkill itu sendiri.
Ratusan, mungkin lebih, panggung sudah didokumentasikan Anggra, dan ia mengisahkannya dalam pameran ini.
Periode karya yang dipamerkan pun beragam. Tak melulu karya terbaru, melainkan karya yang memang punya memori personal dengan para penyajinya.
Sementara Fahmi menampilkan tiga karya foto hitam putih yang menurutnya punya memori kuat.
“Kalau boleh jujur sih, secara teknis banyak kekurangan di karya tersebut, juga pencahayaan dan lain sebagainya. Tetapi memorinya yang enggak bisa saya lupain,” ujarnya.

Berseri
Pameran ”Kilas” bukanlah akhir dari segalanya. Para pameris bertekad mewujudkan volume-volume berikutnya, tentu dengan konten yang juga tak kalah menarik.
Fahmi menyatakan, pada volume berikutnya seluruh pameris bakal menggandeng lagi kolaborator lainnya. Ia menyebut hal ini dengan istilah “menularkan keresahan”.
“Mimpi sih boleh ya. Kepengin kolaborasi dengan lebih banyak pihak, lebih luas. Tapi, buat saat ini kami berpikir kayaknya di Bandung dulu,” ucapnya.

Pameran berseri ini disebut Fahmi, juga sebagai upaya merangkul kawan-kawan yang tak tampak di permukaan saat pagelaran musik berlangsung.
Menurut dia, dari sebuah pertunjukkan musik, bukan hanya berbicara sebuah nama besar musisi, melainkan juga orang-orang di dalamnya. Tanpa terkecuali pihak yang menyebarluaskan informasi dari kegiatan tersebut.
“Tetapi kadang mereka tuh kayak enggak kelihatan. Nah, kadang kita enggak notice sama hal-hal seperti itu,” tuturnya.

Meski belum terverifikasi waktunya, yang jelas, ia menyebut rangkaian pameran “Kilas” setidaknya bakal digelar satu hingga dua kali dalam setahun.
Untuk edisi Volume 0 pun, mereka memperpanjang durasi pameran hingga akhir Maret 2023 dengan beberapa aktivasi mulai dari diskusi karya, dan beberapa aktivasi lainnya.
“Nanti di volume berikutnya, kami-kami bisa saja ‘digantikan’ wajah-wajah baru, yang tentu merupakan kolaborator kami juga,” tuturnya.***