Kecermatan Sunaryo Memadu Materi dalam Pameran Puisi Kertas & Refleksi

Karya Somewhere Out There 1 (2007) Sunaryo, dalam Pameran Puisi Kertas & Refleksi, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 1 Maret-24 Juli 2022. Foto: SSAS.

Berbarengan dengan gelaran Pameran Merumuskan Asal, Selasar Sunaryo Art Space menghadirkan koleksi karya Sunaryo lewat Pameran Puisi Kertas & Refleksi selama 1 Maret hingga 24 Juli 2022.

Dari Pameran Merumuskan Asal serta Pameran Puisi Kertas & Refleksi, pengunjung dibawa mengenal lebih dalam tentang latar belakang karier Sunaryo berkarya di ruang seni rupa. Bagian pertama adalah Kertas. Bagian ini menampilkan karya-karya berbasis kertas yang diolah dari beragam teknik dan dipadukan dengan ragam material lain.

Kecermatan Sunaryo dalam memadukan materi ini membentuk karyanya senada puisi. Penulis yang juga kritikus seni, Sanento Yuliman melihat kecenderungan dalam seni lukis seperti ini sebagai “Lirisisme”.

“Pelukis menciptakan susunan rupa yang ekspresif bagi emosinya (segi liris) dan memuaskan perasaannya akan rupa (segi estetis). Segi liris dan segi estetis ini yang diterapkan Sunaryo pada penjelajahan di wilayah seni grafis, dan mempertemukannya, sebagai pribadi, dengan khazanah tradisi utamanya dari wilayah Papua dan Aborigin Australia,” kata Sanento, dalam sebuah kesempatan wawancara bersama SSAS.

Karya Sunaryo dalam Pameran Puisi Kertas & Refleksi, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 1 Maret-24 Juli 2022. Foto: SSAS.

Berdasarkan catatan kuratorial Heru Hikayat, langgam lirisisme ini berorientasi pada penciptaan susunan rupa yang ekspresif bagi atau mewakili emosi sang seniman. Sunaryo bergerak berdasarkan intuisi, perenungan, penghayatan.

Citraan terbentuk mengalir, tidak terencana, disertai penambahan-penambahan yang dilakukan dalam perjalanan. Dalam perjalanan tersebut, muncul kejutan: citraan yang menggugah, padahal tidak terpikirkan atau terencanakan sebelumnya.

Karya terus berkembang, berhenti saat sudah sesuai dengan perasaan seniman. Seniman merasa citraan yang terbentuk mewakili emosinya, mewakili watak, dan apa yang ia cari. Dalam kekaryaan Sunaryo, karya mewakili upayanya dalam mencari keselarasan, keimbangan.

Keimbangan juga berhubungan dengan penggunaan material. Pada bagian pertama pameran, keimbangan dijelajahi melalui pemanfaatan material dasar kertas. Di lingkup ini seluruh karya berpijak pada watak kertas.

Keimbangan selalu dicari Sunaryo, walaupun komposisi warna, bidang, bentuk, citraan, tekstur dan gemaris pada karya bisa saja tidak beraturan, saling tumpang tindih. Keimbangan dalam karya Sunaryo ini terletak pada prosesnya. Bila ia belum merasa karyanya selesai, maka karya akan terus diolah sampai mendapat kesan yang ia inginkan.

Karya Meditation (2007) Sunaryo, dalam Pameran Puisi Kertas & Refleksi, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 1 Maret-24 Juli 2022. Foto: SSAS.

Riset STPI

Patok karier penting Sunaryo berikutnya terbentuk saat mengikuti program residensi di Singapore Tyler Print Institute (STPI), pada 2007. STPI merupakan Lembaga yang bergerak dalam produksi, pengembangan teknologi dan publikasi karya-karya seni cetak grafis dan kertas.

Seniman yang melakukan residensi diminta untuk berkolaborasi dengan ahli pembuat kertas dan cetak di STPI. Dalam kesempatan di STPI, Sunaryo tidak hanya menggunakan material kertas, tetapi juga cat, bilah bambu, benang, kain, atau kayu. Sunaryo tanggap dengan berbagai jenis kertas; baik kertas buatan tangan khusus yang tersedia di STPI, atau daluwang, maupun kertas lain.

“Di STPI itu muncul brainstorming, diskusi panjang yang intensif. Hasilnya ini kertas khusus yang dibuat di STPI. Kertas yang tidak bisa didapatkan di tempat lain. Dalam situasi seperti itu Sunaryo tetap bereksplorasi dengan caranya yang khas. Salah satu kekhasannya sidik jari yang dieksplorasi dengan karya cetak yang beragam. Termasuk teknik assemblage. Kertas tidak menjadi sesuatu yang datar. Ada volume yang keluar dan kertas bertemu dengan bambu, material yang kontras,” kata Heru.

 Dari kertas yang dihasilkan Sunaryo di masa residensi itu, muncul kesan dari cara dirinya menyikapi karya berbasis kertas, yang menjadikan karya-karya STPI penting. Karya-karya STPI menempati porsi terbesar pada bagian satu dari gelaran Pameran Puisi Kertas & Refleksi serta Pameran Merumuskan Asal ini.

Pada bagian satu ini pula ditampilkan sebuah fragmen dari “Lawangkala”, yaitu lukisan “Mendung Bergumam”. Lawangkala adalah pameran tunggal Sunaryo untuk menandai ulang tahun SSAS ke-20 pada 2018.

Kala itu, Seri Lawangkala dilengkapi instalasi gigantik, multimedia, mengajak pengunjung seperti masuk ke lorong waktu. Karya Mendung Bergumam yang kali ini kembali ditampilkan menunjukkan tafsir khas Sunaryo mengenai kertas. Instalasi Lawangkala itu didampingi dengan sejumlah lukisan dengan kanvasnya bertekstur handmade paper.

Karya Ufuk Sentani (1977) Sunaryo, dalam Pameran Puisi Kertas & Refleksi, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 1 Maret-24 Juli 2022. Foto: SSAS.

Refleksi

Kurator Agung Hujatnikajennong memilah pembabakan kekaryaan Sunaryo menjadi tiga. Pertama, “Fase Awal” (1969- 1973), terdiri dari karya-karya patung yang dipengaruhi secara kuat oleh bahasa estetik ‘Mazhab Bandung’. Kedua “Fase Decenta” (1973-1983), yang terdiri dari lukisan, patung dan cetak grafis yang berangkat dari pengolahan khazanah bahasa visual Nusantara. Ketiga “Pasca-Decenta” (1984-sekarang), yang dicirikan oleh karya-karya dengan keragaman pendekatan tema, medium dan material.

Selepas Fase Decenta, karya Sunaryo ditandai oleh keragaman. Selain menakar medium dan material, penting pula mempertimbangkan teknik. Teknik yang tidak sekadar perkara cara atau bentuk saja, melainkan juga sekaligus perkara isi, atau substansi. Bagi seniman, perlakuan mereka pada material memperlihatkan soal teknik sekaligus bahasa simbolik.

Istilah assemblage dalam khazanah sejarah seni rupa mendekatkan arti dengan istilah rakitan atau hasil dari kegiatan rakit-merakit. Pada banyak karyanya, Sunaryo menunjukkan kepiawaian dalam memadukan material yang berbeda-beda, bahkan kontras.

Sunaryo lebih menyukai sesuatu yang alami. Batu sebagai batu, kayu sebagai kayu. Warna kapur, warna tanah, warna arang. Dalam karya-karyanya, material alam dan buatan kemudian berpadu; dirakit, kontras sekaligus berimbang.

Sunaryo meriset panjang tentang ragam material, baik yang alami maupun buatan. Perakitan yang ia terapkan berpijak pada watak material. Salah satu watak yang banyak dijelajahi Sunaryo adalah refleksi.

Bersama sifat refleksi, pengertian material yang secara harfiah bermakna memantulkan atau mencerminkan diselaraskan dengan arti konotatif yang merujuk pada pengertian merenungkan. Baik material alami seperti air ataupun material buatan, seperti cermin, kristal, stainless steel dengan sifat memantulkannya, dipadukan oleh Sunaryo dengan berbagai material lain.

Secara harfiah, penggunaan material reflektif membuat pemirsa berkaca, memandang pantulan dirinya dan ruang tempatnya mengada. Pada bagian ini, pengunjung diajak bercermin. Cermin dapat digunakan untuk menelisik baik ihwal fisik maupun ihwal kedalaman diri. Cermin untuk melihat jagat alit maupun jagat besar.

Secara metaforik, refleksi membuat kita semua memandang dimensi yang berbeda-beda, bukan hanya kenyataan hidup kita yaitu “dunia luar”, melainkan juga “dunia dalam” diri.

Suasana Pameran Puisi Kertas & Refleksi, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 1 Maret-24 Juli 2022. Foto: SSAS.

Fase Decenta

Sebelum terlibat riset bersama pakar kertas di STPI, salah satu titik penting penjelajahan medium kertas Sunaryo didapatnya saat aktif di Studio Decenta (Design Center Association). Studio ini didirikan di Bandung pada 1973, bersama sejumlah eksponen seperti AD. Pirous, G. Sidharta, T. Sutanto, Priyanto Sunarto.

Decenta begitu aktif di era 80-an. Kerjanya ragam dan banyak, termasuk karya di kubah Masjid Istiqlal. Elemen estetis garapan Decenta yang menempel di dalam dan luar ruangan memang dirancang untuk menjadi bagian integral dengan ruangan tersebut.

Satu hal yang khas dari “Fase Decenta” adalah penjelajahan seni grafis, dan penggalian budaya visual tradisi Nusantara. Ketika mengeksplorasi karya dua dimensi sewaktu masih di Decenta, Sunaryo menemukan tentang garis dan teknik kolasi. Pada mulanya ia mengolah garis berdasarkan suatu desain dan rasio.

Setelah bersinggungan dengan corak pada karya-karya seni tradisi Irian (Papua), Maluku, juga Aborigin, ia merasakan getaran-getaran: Bahwa suku-suku itu membuat corak-corak tersebut dengan dikendalikan oleh intuisi yang diwariskan dari para leluhurnya.

Sunaryo merasakan kecocokan di sini. Waktu melihat garis-garis dan warna pada seni-seni tradisi, Sunaryo langsung tertarik pada kekhasannya, seperti pada warna tanah yang dihadirkannya.

Dari eksplorasi terhadap seni grafis, Sunaryo mendapat pengalaman dalam membuat kolasi, yaitu untuk menghadirkan kesan massa pada citraan. Di dalam karya grafis yang dibuatnya terdapat blok-blok yang sifatnya dan idenya diambil dari teknik kolasi.

Pada blok-blok yang terkesan masif itu, Sunaryo menorehkan garis-garis supaya tidak terkesan terlalu masif. Di satu sisi ia melihat suatu massa masif yang ia suka, tapi di sisi lain ia juga punya keinginan untuk merusak itu.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam berkarya selalu ada kontradiksi atau konflik dalam diri Sunaryo. Ada greget yang muncul untuk “merusak” suatu visual yang tertata. Mengolah, menambah, bahkan mereduksinya, sehingga muncul citraan baru yang mengejutkannya.

Pameran Karya

Karya Sunaryo dalam Pameran Puisi Kertas & Refleksi, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 1 Maret-24 Juli 2022. Foto: SSAS.

STPI

Karya Sunaryo dari periode STPI pada pameran kali ini terwakili oleh karya berjudul Black Sun, Deep Voice of Mine 2, Deep Voice of Mine 3, Meditation, Reflection 1, Somewhere Out There 1, Poetry of Inner Dream 2, Poetry of Inner Dream 3, dan Mystery of Life.

Karya-karya yang dikerjakan Sunaryo saat residensi di STPI, dipamerkan pertama kali pada pameran tunggal ‘Poetry of Inner Dreams’ di STPI, 29 Maret-26 April 2008. Pada 28 Februari-15 Maret 2009 karya-karya Periode STPI juga dipamerkan di SSAS dengan tajuk Puisi Lubuk Mimpi.

Bicara tentang keragaman pada karya Sunaryo, maka hal itu juga berarti keragaman teknik. Tidak hanya teknik cetak, seperti serigrafi atau etsa, tapi juga paduan dengan drawing, kolasi, guratan, jahitan, rakitan, dan lukis. Dalam program residensi di STPI, Sunaryo berkolaborasi dengan pakar pembuat kertas Richard Hungerford dan chief printer Eitaro Ogawa.

Kertas yang digunakan adalah kertas yang dibuat khusus di STPI. Jika kertas dipandang sebagai medium dwimatra, maka Sunaryo menggunakan ragam teknik pada bidang datarnya.

Visualnya sangat kaya. Paduan bermacam unsur: pola batik, pola garis, noktah, bentuk, warna, tekstur, simbol, tulisan, dan lain-lain. Sunaryo juga menggunakan teknik embos dan kolasi, yang menghasilkan relief pada kertas. Kertas jadi tidak berhenti hanya sebagai bidang datar. Lebih lanjut, Sunaryo memadukan kertas dengan teknik rakitan, membuat kertas tidak lagi datar. Kertas bertemu bambu, tumbuh meruang.

Dilihat dari coraknya, Sunaryo tetap terinspirasi oleh warna dan gemaris. Karya-karya STPI banyak menghadirkan pola menyerupai sidik jari. Gemaris pada telapak tangan; terdapat komposisi garis tumpang tindih, berbentuk lurus, melengkung, maupun bercabang. Dalam hal ini Sunaryo menganggap sidik jari mewakili identitas khas masing-masing individu, karena sidik jari tiap- tiap orang berbeda-beda.

Karya Sejuta Mata (1999) Sunaryo, dalam Pameran Puisi Kertas & Refleksi, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 1 Maret-24 Juli 2022. Foto: SSAS.

Sejuta Mata (1999)

Instalasi kaca; arang dan cat akrilik pada kanvas 315 x 230 x 315.

Karya ini dipamerkan pertama kali pada Pameran Seni Rupa Nusantara ‘Kontraksi: Pascatradisionalisme’, di Galeri Nasional Indonesia, 23 April-12 Mei 2019.

“Seringkali kita tidak sadar jika sedang terperangkap. Di tengah kecanggihan teknologi informasi dan pengintaian, kita makin dikelilingi oleh subjek-subjek yang anonim, intimidatif dan makin punya kuasa. Manusia adalah makhluk yang rentan di tengah konsekuensi-konsekuensi yang tak terduga, ironis dan menakutkan oleh kehadiran teknologi baru,” tutur Sunaryo.

Sunaryo mengerjakan karya ini dalam waktu satu bulan selama Maret 2019. Idenya berasal dari keresahannya terhadap sisi lain kemajuan teknologi, yakni penghilangan privasi dan pemunculan gesekan antarmanusia. “Teknologi seperti mata yang selalu mengawasi kita”, ujar Sunaryo.

Pengunjung dibolehkan mengalami karya terbaik ini dengan memasukinya, karena efek dari cermin itu akan terasa kalau berada di dalamnya.

Karya Rumah Kaca (1998) Sunaryo, dalam Pameran Puisi Kertas & Refleksi, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 1 Maret-24 Juli 2022. Foto: SSAS.

Rumah Kaca (1998)

Kotak kaca, batu kali, batu kerikil 246,5 x 221 x 243,5 cm.

Karya ini merupakan instalasi tapak-khas, koleksi permanen di halaman Ruang A SSAS. Karya telah hadir sejak tahun pertama SSAS diresmikan. Peresmian SSAS pada 5 September 1998 dipenuhi oleh pertimbangan mengenai krisis multidimensi bagi Bangsa Indonesia di tengah tahun penuh pergolakan.

Sejak kegiatan pertama SSAS, keterhubungan antara karya seni dengan kenyataan di luar sana, tampil mengemuka. Secara lebih khusus pada karya ini, material kaca sengaja dibiarkan transparan guna menunjukan keterhubungan karya dengan sekelilingnya. Hubungan antara karya dan lingkungan dikemukakan dengan lugas, sesuai watak material.

Karya Kehilangan Kenyamanan di Kampungku (2019) Sunaryo, dalam Pameran Puisi Kertas & Refleksi, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 1 Maret-24 Juli 2022. Foto: SSAS.

Kehilangan Kenyamanan di Kampungku (2019)

Cat akrilik, arang, lembaran emas, serbuk marmer, serat alam, ranting bambu, resin, stainless steel, pada kanvas 80 x 180 x 6,5 cm (diptych).

Karya ini mendapat penghargaan The Philip Morris Group Companies Indonesia Award 1995.

Karya ‘Kehilangan Kenyamanan di Kampungku’ merefleksikan hilangnya keharmonisan sebuah kampung saat teknologi atau pembangunan menghujani kampung tersebut. Terkadang perkembangan teknologi atau pembangunan memberikan dampak yang kurang baik bagi lingkungan sekitarnya sehingga warga tidak lagi merasa nyaman menjalani kehidupan sehari-hari mereka.

Teknologi disimbolkan dengan penggunaan stainless steel yang penempatannya memberi kesan mendesak tata rupa lansekap yang temaram, yang disimbolkan dengan penggunaan serat alam. Simbol dari teknologi atau pembangunan ini, seperti ‘menggangu’ komposisi serat alam yang sudah tertata di bidang kanvas. Nuansa alami dari warna tanah langsung dipertemukan secara kontras dengan stainless steel.

Karya Passage to Wot Batu (2014) Sunaryo, dalam Pameran Puisi Kertas & Refleksi, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 1 Maret-24 Juli 2022. Foto: SSAS.

Passage to Wot Batu (2014)

Batu marmer, kristal, air, lampu LED warna putih, kristal kaca laser 3 dimensi 31 x 317,5 x 60 cm (karya), 19 x 10 x 10 cm (5 kubus kristal kaca).

Terpaut jarak waktu 22 tahun, karya ‘Passage to Wot Batu’ serta ‘Kayu, Batu dan Air’, secara ‘kebetulan’ berhubungan. Bukan hanya karena keduanya sama-sama menggunakan medium batu dan material yang reflektif, lebih dari itu karena keduanya berpijak pada pemikiran mengenai waktu dan (perjalanan) kehidupan.

Karya ‘Kayu, Batu dan Air’ menampilkan 6 bongkah batu di dalam ceruk pada balok kayu. Baik batu maupun kayu tampil dengan watak alaminya. Ceruk tempat batu ditempatkan dibuat dengan kedalaman berbeda sehingga ada irama tinggi rendah yang teratur. Perbedaan tinggi rendah kemudian disapu dengan gurat dan garis merah yang secara mencolok menghubungkan semua batu dan semua ceruk.

Garis merah, mengingatkan pada istilah ‘benang merah’. Hal ini serupa pengingat tentang perjalanan hidup. Dalam hidup, ada tonggak-tonggak tertentu yang bisa ditandai, sebagai pencapaian, ataupun peristiwa yang dianggap penting. Dari perspektif waktu, semua itu berjalan terus dengan irama yang tetap.

Pada karya ‘Passage to Wot Batu’ elemen pembentuk karya, batu, air dan kristal menunjukkan material alami yang berasal dari sumber yang sama, air. Hal ini memperlihatkan kekaryaan Sunaryo yang makin berorientasi pada alam, secara material maupun filosofis. 5 cerukan pada lempengan batu ini diisi dengan air dan kristal yang menampilkan potret diri Sunaryo secara repetitif.

Karya Kayu, Batu, dan Air (1992) Sunaryo dalam Pameran Puisi Kertas & Refleksi, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 1 Maret-24 Juli 2022. Foto: SSAS.

Kayu, Batu dan Air (1992)

Kayu, batu kali, air, cat akrilik 19 x 196,8 x 46,3cm.

Kembali pada ‘tonggak’. Di karya ini, ihwal ‘tonggak’ lebih merujuk ke dalam diri, diwakili oleh potret diri sang seniman. Karya ini terhubung dengan karya instalasi lingkungan “Wot Batu”. Wot Batu adalah wujud keharuan Sunaryo bahwa kehidupan kita hanyalah bagian amat kecil dari sebuah proses maha besar di jagat raya ini.

Sunaryo. Foto: Selasar Sunaryo Art Space.

Sekilas Sunaryo

Setelah lulus dari Studio Seni Patung, Departemen Seni Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB, Bandung, Sunaryo mengajar di almamaternya hingga 2008. Ia memulai kariernya sebagai seniman pada akhir dasawarsa 60-an. Pada 1975 Sunaryo meneruskan studinya di Carrara, Italia, untuk mendalami teknik pahat marmer.

Sunaryo beberapa kali menggelar pameran tunggal antara lain ‘A Stage of Metamorphosis’, CP Artspace, Washington DC, Amerika Serikat (2001), ‘Poetry of Inner Dreams’, Singapore Tyler Print Institute, Singapura (2007); ‘Aestuarium’, Equator Art Projects, Singapura (2014) dan terakhir ‘Lawangkala’, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2018). Selain itu, masih banyak pameran bersama yang diikutinya, di Indonesia maupun mancanegara.

Pengakuan terhadap kapasitas artistik Sunaryo terlihat ketika ia beberapa kali ditunjuk sebagai direktur artistik untuk kegiatan-kegiatan besar, misalnya untuk paviliun Indonesia di forum World Expo 1985 di Tsukuba, Jepang dan 1986 di Vancouver, Kanada. Karya-karya Sunaryo juga berwujud monumen urban yang berdiri di beberapa kota di Indonesia, antara lain Monumen Bandung Lautan Api (Bandung), Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (Bandung), Patung Soekarno-Hatta di Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Jakarta) dan Patung Jenderal Sudirman (Jakarta).

Sepanjang karirnya ia telah memperoleh berbagai penghargaan dalam berbagai kompetisi seni di dalam maupun di luar negeri, di antaranya ‘Lukisan Terbaik’ dalam Lomba Lukis The Philip Morris Group of Companies Indonesian Art Awards (1994) dan ‘Honourable Mention’ dalam The Philip Morris Group of Companies Asean Art Awards (1995).

Atas dedikasinya dalam dunia kesenian Sunaryo memperoleh beberapa penghargaan antara lain ‘Life Achievement Awards’ dari Art Stage Jakarta (2017); ‘Chevalier dans l’ordre des arts et lettres’ dari Republik Perancis (2017), ‘Lifetime Achievement Awards’ dari Yayasan Biennale Jogja (2017) dan Penghargaan dari Akademi Jakarta (2017).

Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) didirikan dan dikelola Sunaryo sejak 1998. Pada 2015 Sunaryo menyelesaikan proyek artistik terbesar, dan mungkin terpenting, sepanjang hidupnya yang disebut Wot Batu. Dalam Wot Batu, puluhan batu vulkanik berukuran besar ditata, ditatah, dipotong, digerinda, dipahat, dikawinkan dengan lempeng dan bilah-bilah besi, aliran air, kobaran api, angin, pohon, rumput, perdu dan dinding-dinding beton.

Tak ketinggalan, proyeksi gambar bergerak dan bunyi-bunyian digital, yang semuanya membentuk konstelasi simbol dan makna spiritual dan transendental. Sunaryo membuka Wot Batu untuk publik yang ingin menikmati instalasi seni sebagai ‘situs’ untuk perenungan dan kontemplasi.

Suasana Pameran Puisi Kertas & Refleksi, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, 1 Maret-24 Juli 2022. Foto: SSAS.

Fungsi Edukasi Selasar

Menghuni Ruang A dan B di Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) pameran karya-karya Sunaryo ini menandai sejumlah tonggak perkembangan kekaryaan sang seniman, sekaligus perwujudan misi dari lembaga seni tersebut.

Selasar Sunaryo dirancang sebagai semi-museum. Secara fungsi, Selasar memamerkan koleksi karya Sunaryo untuk tujuan-tujuan edukatif.

Dalam rentang 50 tahun karir kesenimanannya, kekaryaan Sunaryo menjelajahi ragam genre dan media, mulai dari seni patung, seni grafis, lukisan, drawing, instalasi, seni kinetik, seni lingkungan, performans, bebunyian, dan lain-lain.

Karya Sunaryo tersebar bukan hanya di ruang-ruang pribadi, melainkan juga ruang publik; skala kecil maupun monumental; maka, menampilkan kekaryaan Sunaryo artinya memilah, titik tekan atau fokus mana yang hendak ditampilkan pada satu kesempatan.

Pameran ini berbarengan dengan digelarnya Pameran Merumuskan Asal di Selasar Sunaryo Art Space. Artikel terkait Pameran Merumuskan Asal bisa diakses melalui tautan berikut: Pameran Merumuskan Asal.

Untuk mengakses galeri foto karya-karya Pameran Puisi & Kertas bisa melalui link berikut: Galeri Foto Pameran Puisi & Kertas.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: