Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Kristen Maranatha memberikan penghormatan khusus kepada mendiang Tjutju Widjaya, lewat pameran “Homage to Tjutju Widjaya,” di Universitas Kristen Maranatha, Bandung, 24-26 Januari 2023.
Tjutju Widjaya wafat pada 3 Desember 2022, di Bandung. Dalam pengabdian terakhirnya di bidang pendidikan, Bu Tjutju adalah dosen luar biasa mata kuliah Chinese Caligraphy dan Chinese Painting, di FSRD Universitas Kristen Maranatha.
Ketua Penyelenggara “Homage to Tjutju Widjaya” Wawan Suryana menuturkan, perempuan pemegang gelar doktor di bidang seni rupa itu dinilai menjadi inspirasi bagi banyak kalangan. Banyak teman-teman Bu Tjutju yang semangat ikut pameran ini. Ada 40 karya turut bergabung.

Wawan telah mengenal Bu Tjutju selama 20 tahun, sejak masa Maranatha Art Design Center (MADC), di Cihampelas. Tjutju Widjaya menyelesaikan program D3 di MADC dalam usia sekitar 50 tahun dan melanjutkan program sarjana di Maranatha.
“Buat Maranatha, tentu Bu Tjutju sumber inspirasi buat semua. Tidak hanya seni rupa. Karena di usia senja, masih mau sekolah. Sampai jadi pembicaraan, ‘Masa kalah dengan Bu Tjutju, usia 80 masih mau kejar S3?’” kata Wawan, yang juga Dosen Seni Murni, Studio, dan Praktik Seni di Prodi Seni Murni FSRD Universitas Maranatha itu.
Bagi Wawan, Bu Tjutju dikenal sebagai orang dengan kerja keras luar biasa. Ia juga baik dalam membangun jejaring. Banyak cerita baik karena begitu terbuka orangnya. Bu Tjutju selalu semringah, mudah berbaur, dan bikin orang bahagia.
“Jadi kalau dia sudah pengen melukis harimau, harus jadi, meski terbata-bata. Ya wajar karena usia dan banyak faktor. Yang saya salut kemauan keras dia, pengen serba bisa kalau melukis itu. Semangatnya yang patut ditiru teman-teman itu,” tutur Wawan.

Ketua Prodi Seni Murni FSRD Universitas Kristen Maranatha, Ismet Zainal Effendi mengatakan, selain sebagai orang tua, Tjutju bagi dia adalah mahasiswanya.
“Jadi pertama saya mengajar di Maranatha, beliau S1 itu saya yang membimbing seni rupa murni. Beliau alumni pertama sekitar 2007,” ujarnya.
Bu Tjutju santer sebagai sosok yang semangat, dengan keinginan kuat untuk terus berkarya karena memang kompeten dalam berkarya.
“Bukan hanya berkarya, beliau sangat fokus dalam pendidikan. Itu ditunjukkan dengan beliau setelah lulus S1 dilanjutkan ke S3 dalam usia senja menjelang 80an. Itu menjadi inspirasi tentu saja,” katanya.

Bu Tjutju juga termasuk yang berpemikiran maju. Terlihat dari karya yang terus memperlihatkan kemajuan dari waktu ke waktu. Tak heran ia menjadi salah satu maestro seni kaligrafi Cina di Indonesia yang menurut Ismet belum ada duanya.
“Saya sebagai teman, anak, sebagai dosen beliau, juga sebagai rekan kerja di Maranatha ini melihat Bu Tjutju ini patut sebagai contoh, idola, dan inspirasi terutama di seni rupa. Jadi homage ini adalah bentuk penghormatan terakhir bagi Bu Tjutju dari dosen Maranatha dan ITB, teman, mahasiswa, terhadap eksistensi Bu Tjutju selama ini terutama di rumah kami di Maranatha,” tuturnya.

Prof. Setiawan Sabana yang ikut pameran ini mengagumi semangat Bu Tjutju dalam berkarya.
“Dia kerjanya itu bukan main. Yang Namanya kuas, saya pernah ke rumahnya, kuasnya itu sebesar bedil. Besar. Bu Tjutju mah siga kana kuas kecil. Dia suka main ke rumah saya. Bertanya-tanya tentang seni. Berbagi seni tentang budaya Tionghoa. Bu Tjutju berkehidupan seni dengan dimensi kehidupan yang kental sekali. Itu kesan ringkas saya sama Bu Tjutju,” katanya.

Sandy Widjaya, adik dari Tjutju Widjaya, menaruh hormat kepada FSRD Universitas Kristen Maranatha serta teman-teman yang pernah mengenal mendiang Tjutju atas gelaran homage ini. Semasa hidup, ia mengenal Bu Tjutju sebagai ibu yang memanjakan semua keluarga, dan manusia yang tidak pernah berhenti mencoba.
“Saya mengucapkan terima kasih untuk Maranatha yang memberikan kesempatan kepada almarhumah. Almarhumah juga selalu senang mengajar di sini. Almarhumah sering bercerita banyak tentang Maranatha,” ujarnya.

Gelar Senja
Semangatnya dalam menekuni bidang seni rupa ditunjukkan dengan kegigihannya menjalani studi. Ia memulai program pendidikannya di jenjang D3 Maranatha Art Design Center, di usia sekitar 50an tahun.
Pada usia 67 tahun, Tjutju memperoleh gelar sarjana di bidang seni lukis dari Universitas Kristen Maranatha dan melanjutkan pendidikan magister dan doktoralnya di ITB pada tahun 2010 dan 2017.
Tjutju membuktikan bahwa usia senja bukanlah alasan untuk berhenti memperoleh ilmu. Ia berhasil memperoleh gelar doktoral pada usianya yang ke-79 tahun, pada 10 Desember 2020.
Ibu enam anak ini mengangkat tema disertasi berjudul Representasi Feminisme Kelenteng Perempuan dan Zhai Ji (Pendeta Perempuan) di Bandung. Dalam menempuh gelar doktoralnya, ia memperoleh bimbingan dari Prof. Dr. Setiawan Sabana MFA, Dr. Ira Adriati, M.Sn., dari ITB, serta Prof. Dr. Rudy Harjanto (Univ. Prof.Dr. Moestopo).

Sidang terbuka doktoral Tjutju Widjaja juga dihadiri oleh Prof. Dr. Yasraf Amir Piliang, MA. sebagai Ketua Sidang dan tiga penguji lainnya yaitu Dr. Andryanto Rikrik Kusmara, M.Sn., Dr. Nurdian Ichsan serta Dr. Ariessa Pandanwangi (Univ. Kristen Maranatha).
Tema disertasi Tjutju menjelaskan tentang kelenteng perempuan, Zhai Ji (pendeta perempuan), Buddhisme. Paling tidak ada 3 isu yang mengemuka dalam “Sumarah”; pertama, soal diaspora dan perpaduan budaya Tionghoa di Nusantara, atau Bandung tepatnya.
Kedua, isu perempuan dan gender. Ketiga, tentang lukisan kaligrafi dan abstrak. Secara menyeluruh, Tjutju Widjaja sebenarnya membuat seri karya abstrak, semi abstrak, juga kaligrafi.

Zhai Ji adalah pendeta perempuan, berbakti di Kelenteng Perempuan. Kelenteng ini khas, sebab menampung para perempuan, yang karena berbagai alasan terusir dari keluarga.
Riset Tjutju Widjaja lebih jauh mengungkapkan bahwa bagi mereka tidak ada lagi kebebasan untuk menjalani kehidupan “personal”, melainkan menjadi pelaksana ritual keagamaan dan mempraktikkan laku pelayanan tanpa pamrih.
Bagi Tjutju Widjaja, inilah yang luar biasa: terbuang dari keluarga justru tidak membuat para pendeta perempuan itu menjadi pendendam; sebaliknya mereka rela memberikan hidupnya jadi pelayan umat.

Meneruskan Warisan
Pemilik nama asli Lie Hui Tju itu telah mengenal kaligrafi Cina sejak kecil. Ia mulai fokus mengembangkan keilmuannya pada era 90an. Sejak menyelami kaligrafi, ia jadi keranjingan, dan tak pernah lepas lagi. Bagi dia kaligrafi adalah suatu kontemplasi untuk menenangkan jiwa.
Selain tergerak karena unsur estetikanya, kata Tjutju, seni kaligrafi mengikat penciptanya, melekat dalam jiwa. Saat memegang kuas, semua pikiran positif terkumpul, mawas diri, menetralkan gejolak pikiran dan emosi. Karena isinya, doa, puisi, idiom, sajak, hingga inspirasi, media ini mampu menghilangkan kebencian, kekesalan, depresi, dan bisa menjadi terapi jiwa.
“Kenapa tidak bosan dari kecil sampai tua? Karena tulisan ini yang bisa mengeluarkan isi hati, melalui tulisan, ada jiwa. Mewakili diri, ada spirit melalui sajak-sajak. Karena penulis kaligrafi itu dititikberatkan menulis sajak, dan tidak untuk ngomelin orang, tetapi untuk menuangkan perasaan kita. Maka ada yang bilang Mao Bi ini bisa mengeluarkan sesuatu zen,” ujar Tjutju, saat berbincang dengan mikrofon.id, Februari 2020.

Dengan media karya seni yang menyebarkan kebaikan ini, ia ingin terus mewariskan keilmuannya. Selain mahasiswa di kampus, Tjutju telah melihat banyak potensi dari murid yang ia ajar, termasuk dari siswa siswi Pesantren Daarul Inayah, Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
“Dalam ajaran Taoisme, kita harus menyontoh langit yang tidak berhenti memberikan segala sesuatu kepada kita. Dengan bumi yang terus memberikan kepada kita, kita juga harus berbuat bijak kepada sesama. Tuhan tak berhenti berbuat, manusia harus membangkitkan diri terus menerus. Bumi memberikan segala sesuatu, manusia harus berbuat bijak,” ucap Tjutju.***