Film Tara dan Preserving The Seke: Sesak Air di Kolam Urban

Indeks dan Forum Film Jawa Barat memutar film Tara dan Preserving The Seke dalam program Film Purnama Special Edition, di Auditorium Bandung Creative Hub, Jumat, 17 Februari 2023 lalu.

Film Preserving The Seke yang disutradarai Irwan Zabonx mengungkap nasib séké di Gedong Cai Tjibadak yang dikepung bangunan. Film ini diisi narasi sejarah mata air di Bandung oleh budayawan Hawe Setiawan. Film ini didukung adegan melukis oleh seniman Isa Perkasa, Dody Kiwari membacakan puisi tentang air, dan musisi kenamaan Bandung, Ferry Curtis yang melantunkan lagu, juga tentang air.

Cuplikan film Tara. Foto: Fufi Film/Volker Sattel.

Preserving The Seke

Film ini menampilkan suasana Gedong Cai Tjibadak sebagai infrastruktur pengolah air bersih warga Bandung warisan pemerintah kolonial. Hawe menjelaskan keberadaan sumber mata air dari sisi sejarah dan perkembangannya kini.

Bagi warga Tatar Sunda, sumber mata air yang dinamai séké sempat dianggap sakral sampai-sampai disetarakan dengan cai nyusu (ASI).

“Bagaimana sumber air sama pentingnya dengan air susu yang menjadikan sumber kehidupan banyak orang. Di Tatar Sunda banyak nama daerah seperti sékéjolang, sékéjati, séképanjang. Bisa jadi dulunya ada hulu air. Tetapi semakin ke sini hanya menyisakan namanya saja,” tutur Hawe, dalam film itu.

Arah kamera pun melambung ke udara dan menampilkan kawasan hutan kota pelindung Gedong Cai TJibadak yang terdesak bangunan beton di sekelilingnya. Saat ini fungsi sejumlah séké di Kota Bandung masih tersisa, meski tak semaksimal masa lampau.

Melihat perkembangan kota dan industri properti Kota Bandung yang mengganas, nasib kawasan hutan kota di Kecamatan Cidadap ini cukup mengkhawatirkan. Perlu ada gerakan dari masyarakat untuk menjaga séké-séké tersisa demi memenuhi kebutuhan dasar manusia hingga masa mendatang.

Tara

Film Tara dibuka dalam suasana gelap. Sekelompok kecil warga melarung mangkuk berisi lilin menyala di permukaan sungai Tara yang tenang, sambil mengucap harap.

Dalam suasana lain, tua-muda berenang di sungai di bawah panas terik. Tampak dari kejauhan suasana pelabuhan.

Seorang tua mengisahkan momen-momen kuda pacu dibawa ke sungai itu supaya otot-otot menguat dan siap tanding. Saking bersihnya, banyak orang tak kuatir meminum air sungai itu.

Kota kecil yang dinamai Taranto, di Italia Selatan itu memiliki lanskap indah. Sebagai kota pelabuhan, kota ini melegenda dengan sejarah pendudukan sejak zaman Sparta, Romawi, hingga Napoleon.

Cuplikan film Tara. Foto: Fufi Film/Volker Sattel.

Di tengah siang, pabrik baja mengeluarkan asap dari cerobongnya. Sekumpulan keluarga piknik di sungai yang tak jauh dari tembok industri.

Dua wanita berenang dalam, menyusuri sungai Tara. Kamera berhenti menatap dasar sungai yang seolah bergolak. Di beberapa titik berdekatan, ada sesuatu seperti air terdorong angin yang berusaha menyembul meski tertahan permukaan pasir.

Kakek tua bercerita tentang lumpur di dasar sungai yang biasa dijadikan bahan luluran tubuh. Banyak orang percaya lumpur itu berkhasiat baik bagi kulit. Kakek ini percaya sungai Tara penuh keajaiban.

Bahkan, sungai ini dipercaya mampu menyembuhkan penyakit kronis. Sungai ini juga dijuluki “sungai keledai”. Dari cerita rakyat setempat, prajurit di era Benito Mussolini membuang keledai pengangkut logistik ke sungai Tara karena sakit yang tak tertolong.

Seminggu kemudian, warga menemukan seekor keledai sehat yang sedang lahap memakan rumput di tempat yang sama. Warga mempercayai keledai itu adalah keledai prajurit yang sempat kritis.

Cuplikan film Tara. Foto: Fufi Film/Volker Sattel.

Sebuah arsip video mempertontonkan masa-masa awal pabrik baja skala nasional di kawasan itu. Pohon-pohon zaitun ditebang, lahan dibersihkan, ternak disingkirkan. Mesin berseliweran, dinamit demi dinamit diledakkan.

Dalam sebuah apartemen di tengah kota, dua pria paruh baya berbincang serius. Mereka menunjuk alat-alat raksasa di pabrik baja kota mereka layaknya sedang membangun neraka.

Warga pekerja pabrik baja mulai bimbang atas masa depan mereka dan keluarga. Mereka meyakini pabrik itu dalam berperan untuk meracuni diri dan keluarga sendiri. Tetapi yang mereka prioritaskan tetaplah menyediakan “roti” buat anak-anak mereka.

Pemilik pabrik mengancam bakal memecat pekerja yang mempertanyakan dampak pabrik bagi lingkungan sekitar. Banyak yang menuruti instruksi demi keberlanjutan membayar sejumlah hutang yang menjerat.

Anak-anak yang bermain di lapangan apartemen membenci perusahaan baja, ILVA yang luasnya dianggap sudah sebesar kota mereka. Bagi mereka, ILVA telah merusak alam. Tak ada yang bisa menutup pabrik itu. Bahkan, kata mereka, Yesus pun takkan mampu.

Foto: Indeks Bandung.

Diskusi

Pemutaran kedua film ini dilanjut dengan diskusi yang menghadirkan Irwan Zabonk, Francesca Bertin, dan Gorivana Ageza (Ica), dengan dipandu moderator Rizki Lazuardi dari Indeks. Irwan merupakan ketua Forum Film Jawa Barat yang juga mengajar di Universitas Widyatama

Francesca Bertin merupakan mahasiswi HFBK University of Fine Arts Hamburg yang tengah menjalani residensi di Indeks, Bandung. Ica aktif di komunitas film, Bahasinema dan seorang pengajar filsafat di Universitas Katolik Parahyangan.

Irwan Zabonk menceritakan, persiapan film Preserving The Seke tergolong mepet. Tetapi itu tak menyurutkan produksi karena banyak pula film yang dipersiapkan tetapi tidak berujung maksimal.

Sejak awal dibuat, kata Irwan, produksi film ini tak menargetkan respons tinggi. Sampai akhirnya Preserving The Seke mendapat penghargaan dari Mahanttan Film Festival.

“Kita dari awal enggak berpikir dapat apresiasi. Yang penting bentuk advokasi dari sineas untuk mempertahankan séké untuk mengiringi perjuangan komunitas CAI. Séké ini begitu penting itu kenapa di Sunda artinya mata air dan air nyusu (ASI),” tutur Irwan.

Cuplikan film Tara. Foto: Fufi Film/Volker Sattel.

Francesca Bertin menuturkan, kecantikan kota Taranto sempat termasyhur. Hingga akhirnya industri baja gigantik dibangun pada pertengahan 60-an. Pada 10 tahun lalu, muncul skandal polusi akibat tingginya kadar dioksin di dalam kota hasil pembakaran dalam proses pengolahan baja.

Polusi udara ini berpotensi menyebabkan kanker, keguguran, hingga beragam penyakit. Kecantikan kota hilang, wisata terhenti, sebagian warga mengungsi.

Hewan ternak sempat dilarang berada di radius puluhan kilometer karena ditemukan reaksi polusi yang masuk ke tubuh binatang. Sungai dicek berkala dan ditemukan tercemar. Padahal, kota ini dikenal dengan populasi kerangnya. Ia dan rekannya Volker Sattel sempat kesulitan dengan berbagai izin pengambilan gambar, terutama di wilayah otoritas pemerintahan dan pabrik baja.

Proses wawancara warga setelah 10 tahun skandal juga tak mudah karena masyarakat cukup jenuh dengan pertanyaan yang sama.

Setelah skandal melampaui satu dekade, pabrik masih berjalan karena kepentingan perekonomian negara.

Cuplikan film Tara. Foto: Fufi Film/Volker Sattel.

Francesca mengakui bahwa dirinya bukanlah aktivis lingkungan. Ia dan rekannya hanya memberikan ruang bagi orang untuk memperlihatkan kehidupan sehari-hari mereka, di Taranto.

Film memantik pertukaran perspektif, dan mencapai tujuan film yang ingin ia bagikan kepada penonton. Oleh karena itu, narasi yang muncul dari petikan wawancara orang pertama hadir antara yang berseberangan dan yang masih mencari harapan.

“Tara banyak objek, orang, sungai, ritme kota yang mencari jawaban. Ini memang tujuan dari filmnya. Kami ingin mencari tahu di dalam kota yang terkena polusi. Kami melihat banyak perasaan emosional, seperti di awal ada lilin dilarung di sungai. Seperti tradisi kuno, ini memang melekat di warga. Tradisi di sungai hanya dari warga pinggiran sungai. Tetapi tetap dilestarikan,” ujarnya.

Francesca merasakan bangkitnya kepedulian warga pada sungai yang melarut bersama keyakinan dan menguat sebagai harapan agar kondisi sungai dan lingkungan sekitarnya semakin pulih.

“Perhatikan tempat, sejarah. Film ini tetang memelihara sekelilingmu, ekosistem, makhluk hidup. Film ini berjalan perlahan dengan narasi klasikan, mencoba membuka dan memahami tentang tempat ini. Saya berharap orang mendapat perjalanan baru: tentang isu global ini kita berada ruang perjuangan yang sama,” ucapnya.

Foto: Indeks Bandung.

Dalam catatan Ica, kedua film dokumenter ini menyajikan pendekatan dan teknik berbeda. Preserving The Seke tentu familiar dengan pendekatan film-film dokumenter serupa khas Indonesia.

Preserving The Seke menampilkan banyak pertunjukan seni untuk mendukung narasi yang disampaikan Kang Hawe. Sedangkan film Tara yang tampil dengan warna tone sinematik hangat begitu mengalir memadukan pernyataan dari warga Taranto, tetapi dengan gambaran sungai, pabrik, serta suasana kota yang tidak secara eksplisit mewakili dialog tersebut.

“Kalau enggak dikasih tahu Tara ini dokumenter, mungkin bisa dianggap fiksi, ataukah hybrid yang menggabungkan fiksi dengan fakta. Menurutku pendekatan film ini menyadarkan sekaligus berpikir ulang sebetulnya apa sih fiksi dan fakta dalam dokumenter?

Film dokumenter dihadirkan sebagai medium realitas. Tetapi yang dipotret tidak sama dengan kenyataannya. Pengalaman yang menarik ketika dokumenter yang, di saat yang sama terhanyut layaknya film fiksi,” tutur Ica.

Ketua panitia Film Purnama Poedji Irawan mengatakan, Film Purnama ini merupakan satu produk Forum Film Jawa Barat. FFJB biasanya memutar film indie dari komunitas film di wilayah Jawa Barat. Kali ini lain spesial karena kehadiran film Tara hasil produksi Italia-Jerman.

Baik Tara maupun Preserving The Seke telah memenangi festival internasional.

“Dua film ini sama-sama tentang lingkungan dan sungai. Yang membuat kami senang karena dalam acara ini pegiat lingkungan juga ikut hadir,” ujarnya.

Indeks

Diinisiasi pada Februari 2020, Indeks memiliki tiga tujuan utama: melacak kembali perkembangan ekosistem seni rupa di Bandung, mengisi peran sebagai pusat penelitian independen dan platform pengarsipan crowd-sourced, serta memupuk dialog dan mendorong pertukaran pengetahuan di antara para praktisi seni rupa. Fokus Indeks adalah pada arsip dan perpustakaan, penelitian dan pengembangan, residensi seniman, program film dan gambar bergerak.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: