
Bersama Atap Class, sekelompok siswa SMKN 10 Bandung memproduksi film dokumenter “Sisir Guruh,” sebuah cerita di balik awal tersusunnya lingkungan musik independen yang diiringi rintisan ekonomi kreatif Kota Bandung, hingga terus bertumbuh merentang masa 30 tahun.
Sisir Guruh menghadirkan para pelaku yang mewakili sektor musik, subsektor ekonomi kreatif, hingga terciptanya ekosistem yang terus bersinergi. Di bawah arahan Atap Class, sineas muda ini menampilkan tiga babak penting yang menentukan masa depan eksistensi musik alternatif beserta sektor pendukung yang menopangnya.
Film ini menampilkan narasumber Koseng dari Spills Records, Dadan Ketu dari Riotic Records, Dendy Darman dari UNKL347, Vidi Nurhadi dari Maternal Disaster, dan Diannov Pamungkas dari DSSTR Records.
Pilihan sosok ini mewakili ekosistem musik Bandung dari ranah record label, merchandising, dan festival, yang menuturkan perjalanan jatuh-bangun, dinamika, transisi analog-digital, serta jalur rollercoaster yang dilintasi infrastruktur musik indie berbasis kolektif.
Produser Sisir Guruh, Iman “Kimung” Rahman mengatakan, produksi ini merupakan salah satu program magang siswa dan kolaborasi dari Divisi Atap Class, sebuah divisi di bawah naungan Atap Promotions.

Di awal, kelompok siswa ini diarahkan untuk mempertimbangkan produksi film dari lima elemen hasil penelitian Bandung Bawah Tanah yang telah dikerjakan Kimung: elemen record label, merchandising, gigs dan festival, media, dan kru.
Pilihan pun jatuh pada elemen record label, merchandising, serta gigs dan festival. Elemen ini menjadi isi dari tiga pendekatan dalam bagian film: sejarah, digital, dan pola baru yang merepresentasi kondisi terkini, setidaknya hingga perilisannya di 2022.
Film ini tersusun dari fragmen sejarah. Dibentuk tiga bagian yang mempermudah orang memahami kisah.
“Sepanjang 30 tahun perjalanan industri musik indie banyak sekali tonggak. Yang kita hadirkan tonggak penting dan mengubah wajah musik ini: Era fisik dan festival, era digital, pascasaparua dan teralih ke gigs gerilya, dan masuk ke zaman sekarang,” tutur Kimung.
Melengkapi saksi hidup yang turut menggerakkan periode sejarah ini, dibutuhkan model yang mewakili zamannya. Di masa awal dan pertengahan, ada Riotic dan Unkl, yang menjadi motor.
Di era selanjutnya, ada Maternal Disaster. Sementara dari sekian label rekaman yang menjadi punggung ekonomi musik alternatif ini ada Riotic, Spills, dan Disaster Records yang menjadi direpresentasikan Sisir Guruh.
“Untuk festival ada Riotic. Yang melewati era pertengahan dan peralihan dari Saparua ada Ripple The Show, gigs, studio show, mengaktivasi ruang yang ada. Pola event selanjutnya masih gigs, tetapi dikelola anak-anak yang lebih muda, seperti Disaster dan Maternal. Begitu kuat mereka membentuk ekosistem di awal ranah musik independen ada. Yang kita ciptakan itu. Termasuk peran media dan kru. Peran elemen-elemen ini terus bergulir hingga masa depan,” katanya.




Penutur Sejarah
Di film Sisir Guruh, Koseng dari Spill Records dipilih sebagai narasumber karena ia dinilai sebagai legenda hidup masa mula inisiasi pergerakan musik indie. Koseng sempat menjadi kru Pas Band, sebuah grup musik yang menjadi pembuka jalur eksistensi musik alternatif di kancah musik dalam negeri.
Kompetensinya di lingkup musik yang ditopang koleksi rilisan musisi melimpah yang ia miliki menjadikannya rujukan banyak pihak. Spill Records mampu bertahan dengan idealisme independen walaupun bertempur di tengah ekosistem musik nasional yang masih bergantung pada label rekaman mayor.
“Kalau di zaman itu, ngomongin record label jelas Spill Records. Ngobrolin sinergi kultur merchandise, records label, festival, kita mencari label yang melakukan hal itu. Spill salah satunya. Jarang orang memahami Koseng,” tutur Kimung.
Dadan Ketu menjadi wakil barudak Bandung yang ikut mengiringi bergulirnya festival-festival musik bawah tanah, terutama di masa awal GOR Saparua. Ia menghidupkan acara-acara “underground” lewat Hijau Enterprise.

Label rekaman yang dibangun Ketu tak hanya sebagai pelontar karya musik saja, tetapi juga ruang pertemuan pegiat musik indie lintas genre yang suatu saat mengaktivasi sisi-sisi penyokongnya seperti merchandise dan fesyen.
Maternal Disaster pun sama, punya pilar entitas bisnis fesyen, menggarap karya-karya segar dari band sekumpulan, hingga menggelar festival. Maka, salah satu founder Maternal Disaster, Vidi Nurhadi, diajak mengisi penuturan sejarah eksistensi mereka di film Sisir Guruh.
“Kalau pemilihan Dandy mah karena dia bapak kultur Indonesia. Dia kiprahnya luar biasa. Dia punya desain pergerakan yang bagus. Dari 347 dikembangkan ke infrastruktur lainnya, mengisiniasi (majalah) Ripple, menginisiasi Spill Records, juga punya visi kuat dalam kompleksitasnya ruang bisnis yang punya support ke komunitas,” kata Kimung.


Elemen Cetak Biru
Lima elemen yang disebut Kimung mulai dari record label, merchandising, gigs dan festival, media, dan kru, adalah cetak biru yang menggulirkan ekosistem musik.
Saat ini, kata Kimung, yang membedakannya hanyalah wajah-wajah baru yang melanjutkan legasi. Keberadaan Maternal Disaster dan Disaster Records, serta komunitas-komunitas kecil nan solid lainnya menjadi satu contoh berlanjutnya regenerasi.
Skala acara pun ikut tereduksi. Para pegiat acara tak lagi mendirikan acara besar layaknya festival, tetapi menginisiasi gigs kecil dan kebanyakan dilangsungkan secara gerilya.
Kimung mengamati ada hal-hal yang dinilai penting oleh komunitas dan para penikmatnya terutama soal mengapresiasi karya secara intim.
Saat ini para penggemar musik sudah akrab dengan media sosial dan mudah menjangkau banyak kalangan dari manapun sehingga tak menyulitkan dalam upaya menghadirkan audiens.

Ia melihat ada kecenderungan mewarisi ideologi yang ada di awal 2000an dalam pergerakan ekosistem musik saat ini. Maternal Disaster melanjutkan apa yang terbentuk dari Saparua, atau memang Bandung tidak lagi kondusif karena dipicu perizinan sulit.
Apalagi jika dihadapkan dengan pilihan alternatif ruang yang optimal. Tragedi Sabtu Kelabu di Gedung AACC pada 2008 tentu menjadi pertimbangan generasi selepasnya. Itu kenapa film Sisir Guruh juga menyuguhkan berbagai respons dari kendala-kendala yang ditemui sepanjang perjalanan ekosistem musik ini.
“Dari berbagai hambatan itu, kawan-kawan ini bisa memperbaiki berbagai hal. Setidaknya kita menemukan pergerakan ideal tanpa harus memaksakan berbagai hal. Kalau kata Dendy di film ini, ‘natural aja, organik. Independen mah enggak ada istilah kurang atau berlebih. Semuanya selalu cukup’. Saya berani ngomong film ini bagus karena ini bukan bikinan saya. Ini total diciptakan anak-anak SMKN 10 Bandung tersebut. Di Atap Class, mereka jadi belajar promo, distribusi,” tutur Kimung.
Screening perdana film Sisir Guruh digelar di Atap Promotions pada 8 Desember 2022. Pada screening kedua yang dilangsungkan di Auditorium Bandung Creative Hub, Rabu, 18 Desember 2022, undangan yang hadir lebih banyak.

Siswi SMKN 10 Bandung yang menjadi Manajer Produksi Sisir Guruh, Celia Thirza Ratnadewi, merasa terhormat dengan sambutan baik dari para penonton. Mereka banyak menerima tawaran pasang layar penayangan Sisir Guruh.
“Respons dari screening cukup baik. Ada beberapa orang nawarin screening lebih luas. Kebanyakan dari perguruan tinggi. Kita setuju biar orang makin kenal. Cuma kita takutnya bentrok sama jadwal kegiatan sekolah karena kita kelas XII. Lagi siap-siap Ujian Sekolah dan Ujian Kompetensi,” katanya.
Celia mengaku bangga bisa mengerjakan produksi film ini. Apalagi di tengah kesibukan para narasumber. Mereka meriset awal dari ragam media termasuk Youtube.
“Kita mendalami dulu pengetahuan buat kita sendiri. Karena footage hasil foto dan video lama, beda kualitas lumayan effort. Mindai foto poster, di-scan satu-satu untuk jadi bentuk foto. Beda banget pas kita nyari kebutuhan arsip footage dari tahun 2000 ke atas itu udah banyak di Youtube dan media. Secara kualitas sudah lebih baik karena kan era Saparua warnanya kurang tajam,” ujar Celia.

Para siswa ini juga sempat mengikuti lokakarya sebelumnya. Celia mengakui bahwa pertemuan mereka dengan para narasumber membuka perspektif baru terkait materi-materi yang akan menjadi proyek di masa mendatang.
“Kita ketemu orang hebat, sibuk, kita masuk agenda mereka itu kebanggan. Bisa ngobrol, bisa tahu secara langsung dari sudut pandang mereka juga. Ceritanya yang patut diangkat. Untuk masukin ceritanya dari jangka waktu 30 tahun di dalam situ enggak cuma ekosistem musik doang, banyak yang diceritakan. Orang mesti tahu ekosistem musik berjalan di kehidupan sehari-hari, sampai sekarang,” katanya.
Siswa SMKN 10 Bandung lainnya yang terlibat sebagai camera person, Asep Ginanjar, juga menyerap pengalaman serupa.
“Sejarah ini cukup jauh sama kita (siswa). Untuk film ini pasti kita amaze. Kalau secara perasaan secara kualitas beda amaze juga. Kualitas gambar patah-patah, tetapi momennya yang enggak terulang. Kita ngerasain banget awal sejarah terbentuknya ekonomi kreatif ini. Beruntung kita cari footage dan arsip banyak dibantu Pak Kimung sebagai mentor. Beliau dan Atap punya arsip melimpah dan bisa dimanfaatkan,” katanya.

Mereka berencana memuat karya Sisir Guruh ini ke berbagai layanan tayangan digital. Tetapi sebelumnya, mereka ingin mendaftarkan karya ini ke berbagai festival.
Kimung menambahkan, Atap Class sebagai ruang eksperimen selalu mencoba membangun kemungkinan baru: bagaimana proses produksi dipercayakan pada mereka yang bisa sebangun dalam visi dan misi Atap Class.
“Dan mereka bukan dilihat siswanya, tetapi effort mereka dalam belajar. Effort mereka dalam mengejar. Mencoba mendekatkan diri pada objek yang mereka target. Itu patut kita apresiasi sebagai salah satu optimisme baru,” ujarnya.
Sejak 2012 Atap Class bergerak melakukan penelitian Bandung Bawah Tanah. Makanya berbagai kolaborasi sinergi dengan siapaun pasti akan mengarah ke sana, terutama di ranah publikasi penelitian.
“Ruang-ruang kayak gini banyak, tetap masih ada. Bukan cuma Atap Class. Extreme Moshpit sedang berbenah regenerasi. Dendy didukung anak muda. Ubernoize dari Ujungberung, ini masih berlanjut. Regenerasi ini sampai sekarang masih bergulir,” tutur Kimung.

Data Kru Sisir Guruh
- Celia Thirza Ratnadewi
TTL : Bandung, 8 November 2004
Posisi di Sisir Guruh : Production Manager
Prestasi :
- Juara 2 Tingkat Provinsi FLS2N Film Dokumenter Pendek “Silih ;”
Karya :
- Project Feature “Phosphene”
Penata Artistik
- Event “Gelar Cinema 10”
Scheduler
- Project Podcast “Bicara Pelajar”
Art Director
- Project Film Pendek Dokumenter “Silih ;”
Production Manager
- Lomba Piala Gubernur Film Pendek Fiksi “Sudut”
Production Manager
- Project Praktek Kerja Lapangan Film Dokumenter “Sisir Guruh”
Production Manager
- Event Screening “Sisir Guruh”
Show Director
- Asep Ginanjar
TTL : Bandung, 13 Agustus 2003
Posisi di Sisir Guruh : Camera Person
Karya :
- Film Pendek – “Tatangkalan” (2020)
- Film Pendek – “Bunga Tidur” (2022)
- Visual Poem – “Aku Benci Jarak” (2021)
- Visual Poem – “Aku” (2021)
- Film Pendek – “Ketua Murid ” (2019)
Prestasi :
- “Juara 1” Klungkung Film Festival Bali 2020
- “Juara 1” Short Video Competition Bangkesbangpol Jabar 2020.
- “Juara 1 Tingkat Nasional” UNJ Short Movie Festival Jakarta 2022.
- “Juara Tingkat Nasional Film Favorite 1” Lawet Muda Film Festival Kebumen 2022.
- “Penata Kamera Terbaik” Lawet Muda Film Festival Kebumen 2022.
- “Penata Kamera Terbaik” JOFA Film Festival Yogyakarta 2022.
- “Special Mention Jury Awarads” UNEFF Film Festival Jember 2022.
- “Special Achievment, Film Peduli Kekerasan Terhadap Anak” FFP Jogja 2022.
Nominated for :
– Nominasi “Sutradara Terbaik” Festival Film Purwakarta 2022.
– Nominasi “Scriptwriter Terbaik” Festival Film Purwakarta 2022.
– Nominasi “Penata Kamera Terbaik” Festival Film Purwakarta 2022.
– Nominasi “Sutradara Terbaik” FFPN Surabaya 2022.
– Nominasi “Editor Terbaik” FFPN Surabaya 2022.
– “5 FILM TERBAIK” Indonesian Student Movie Awards, Depok 2022.
– “8 Film Terbaik” UNIKU Film Festival Kuningan 2022.
– Nominasi “Film Terbaik” UNEFF JEMBER 2022.
– Nominasi “Film Terbaik” FFPJ YOGYAKARTA 2022.
Karya :
- A

- Khayra Amalia Putri
TTL : 29 Agustus 2004
Posisi di Sisir Guruh : Scriptwriter
Prestasi :
- Juara 1 FISS UNPAS Film Fiksi pendek
Karya
- Project WEBSERIES “A Journey Between Us” Ancipa.studio & disparbudjabar
Tim Manajemen Produksi
- Project Film Pendek “Sareupna”
Assistant Director
- Project Film “Hirap”
Assistant Director
- Project Film “Ucing Sumput”
Scriptwriter dan Assistant Director
- Project Film Dokumenter “SISIR GURUH”
Scriptwriter
- Project Podcast “Bicara Pelajar”
Pengarah Acara

- Nur Ilham Kurnia Putra
TTL : Bandung 03 agustus 2006
Posisi di Sisir Guruh : Unit produksi
Karya :
- Short movie “Tidak Sedang Apa – Apa”
- Film Fiksi Pendek “Bunga Tidur”
- Short movie “Pertemanan Kenyamanan”
- Alin Zahirnisa Aulia
TTL : Bandung, 27 april 2005
Posisi di Sisir Guruh : Asisten Scriptwriter
Karya :
- Project Podcast “Bicara Pelajar”
- Project Film Pendek FLS2N “Ucing Sumput”
- Naufal Ruliff Favian Rafif
TTL : Bandung 12 januari 2005
Posisi di Sisir Guruh : Soundman
Karya :
- Short movie visual poem “MUDITA”
- Tia Karlina
TTL : Bandung, 3 juli 2004
Posisi di Sisir Guruh : Pengarah Artistik
Karya :
– Short movie visual poem ” MUDITA”

- Alfin Nugraha
TTL : Kuningan, 10 januari 2005
Posisi di Sisir Guruh : Director Of Photography
– Short movie visual poem
- Farizanni Putra Sofandi
TTL : Bandung, 23 Desember 2004
Posisi di Sisir Guruh : Director & Editor
Karya :
- Imbesil
Editor
- Tatangkalan
Assistant Director
- Hari Senin Pagi
Assistant Director dan Scriptwriter
- Alpin Plin Plan
Director
- Menyisir Seni Sisingaan Di Mega Pakuan
Editor
- Amarah Terarah
Director, Scriptwriter, Editor
- Hirap
Editor
- Project Screening “Montage Of Two Swans”
Humas dan Desain Grafis
- Gelar Cinema 10
Humas
- Aturan Tak Terlihat
Behind The Scene dan Bestboy
- It’s (Not) Okay
Director, Scriptwriter, Editor
- Ucing Sumput
Art Director, Editor, Behind The Scene
- Habibah Septi Ayu Lestari
TTL : Bandung, 24 September 2004
Posisi di Sisir Guruh : Asst. Director
Karya :
– Hari Senin Pagi
– Alpin Plin Plan
– Bungan Tidur.***