Everything In Between: Mendorong Esensi “Bermain” dalam Proses Kreasi

Sembilan mahasiswa Magister Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung melangsungkan pameran Everything In Between, di Bosscha Space, Bandung, 19-26 Mei 2023.

Mereka yakni Afida Rahmati, Angling Sagaran, Chandra Maulana, Kenny Hartarto, Nayera Subaih, Shofia Ajiba, Veronika Dheta, Wahyu Permadi, serta Yeni Fatmawati.

Pameran ini menampilkan karya-karya dari sembilan seniman, dengan beragam media dan teknik, diantaranya; lukisan, drawing, keramik, video, sound art, dan instalasi yang memperlihatkan adanya pemantik hingga menghasilkan sebuah pemahaman mengenai realitas baru dalam setiap karyanya.

Dalam pameran ini, para seniman mendorong esensi “bermain” dalam proses kreasinya: karena sejatinya proses berkarya adalah aktivitas yang menyenangkan sehingga membuat larut tenggelam saat memproduksi karya.

Afida Rahmati

Sebelum menjalani program Magister di FSRD ITB, Afida Rahmati menempuh pendidikan seni rupa tingkat sarjana di Universitas Telkom. Dalam praktik artistiknya, Afida mempunyai ketertarikan terhadap proses kerja eksploratif dengan memanfaatkan benda-benda temuan melalui medium seni lukis dan instalasi, juga bidang tata panggung dalam seni pertunjukan. Karya-karyanya mengeksplorasi hal terdekat, seputar jejak-jejak ingatan dalam peristiwa keseharian.

Everyday Tales of The Pattern, 2023, Fabric, Resin, and Epoclay Variable Dimension karya Afida Rahmati. Foto: Dok. Panitia Pameran Everything In Between.

Dalam pameran ini, ia menampilkan karya “Everyday Tales of The Pattern.” Berbagai kain lap yang mengeras dalam campuran resin dan epoclay terpasang di dinding, bersama nama-nama hari di setiap karyanya.

Afida menuangkan suasana kegiatan domestik yang terjadi dalam rumah tangga sebagai sebuah kegiatan keseharian repetitif, dilakukan karena sebuah tujuan, untuk hidup dan saling menghidupi.

Memasak, mencuci, menanam sampai beribadah adalah beberapa proses yang biasanya dijalani dalam sebuah keluarga. 

Dalam karya Everyday Tales of The Pattern, Afida mengumpulkan cerita keseharian dari banyak lap bekas yang biasa digunakan oleh Ibu rumah tangga. Dengan memperhatikan posisi, kerutan, kotoran dan lubang- lubang yang menahun dipelihara oleh lap tersebut, Afida menemukan sebuah jejak-jejak aktivitas yang bernarasi.

Angling Sagaran

Lulusan sarjana Program Studi Film Penyutradaraan, Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta, ini terbiasa membuat film-film bercerita. Dalam pameran ini, ia membuat karya video art yang belum pernah dibuatnya.

Pecah Telor, 2023, video aspek rasio 16:9, Media TV LED 60 Inch, karya Angling Sagaran. Foto: Dok. Panitia Pameran Everything In Between.

Dengan karya “Pecah Telor” yang ditayangkan di TV LED 60 Inch, Angling mencoba menyampaikan sebuah ide pokok dalam mencipta, tanpa adanya aktor dan faktor pendukung film lainnya.

Untuk pertama kalinya membuat video art yang melibatkan sebuah benda (makanan) yang setiap hari dikonsumsi untuk menghasilkan energi, yang dipercaya sedari kecil menambah kekuatan fisik dan kecerdasan.

Telur yang pecah adalah sebuah metafor bahwa untuk pertama kali berkarya lewat sebuah video art, sebuah penanda dimulainya “wahana bermain” baru dalam proses berkaryanya.

Chandra Maulana

Chandra memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Ekonomi dari Universitas Padjajaran. Ia menempuh pengalaman otodidak dalam berkarya seni rupa. Dalam praktik berkeseniannya, Chandra menggunakan lukisan sebagai medium utamanya.

Praktik melukis tidak hanya terbatas pada teknis, tapi juga wacana dan wawasan kebudayan serta praktik-praktik yang berhubungan dengan kegiatan seni rupa lainnya seperti arsitektur.

Saat ini ia tertarik dengan tema-tema yang berhubungan dengan pengalaman spiritual yang dialaminya sebagai pemantik dalam gagasan berkaryanya.

Ephemeral #01 dan Ephemeral #02, 2023, Plat Besi, Resin, Duco 185 x 168 cm, karya Chandra Maulana. Foto: Dok. Panitia Pameran Everything In Between.

Karya “Ephemeral #01” dan “Ephemeral #02” merujuk pada hal-hal yang ada atau terjadi hanya untuk jangka waktu singkat dan tidak diharapkan berlangsung lama.

Sebuah kata tentang ketidakkekalan, yang menunjukkan bahwa subjek atau pengalaman bersifat sementara dan pada akhirnya akan memudar atau menghilang.

Dalam konteks yang lebih luas, tren, mode, atau fenomena budaya tertentu dapat dianggap fana jika mendapatkan popularitas untuk waktu yang singkat dan kemudian menghilang.

Ephemerality dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk alam, pengalaman manusia, seni, dan teknologi. Ini berfungsi sebagai pengingat akan sifat fana dari keberadaan dan mendorong kita untuk “menghargai saat ini dan merangkul perubahan,” sekaligus pemicu syukur dengan sukacita dari yang kita miliki selama hidup di dunia, yang juga tak kekal.

Impermanence, 2023, Plate Alumunium, Resin dan Cat Duco 105 x 205 cm, karya Chandra Maulana. Foto: Dok. Panitia Pameran Everything In Between.

Di karya “Impermanence” mengungkap konsep ketidakkekalan yang dapat memiliki implikasi mendalam tentang cara kita memandang dan terlibat dengan dunia. Cara pandang ini juga mengajarkan kita untuk tidak melekat pada benda atau menjadi terlalu terikat, karena perlekatan pada fenomena yang tidak kekal dapat menyebabkan penderitaan.

Dengan menerima dan merangkul ketidakkekalan, kita dapat menumbuhkan rasa keterpisahan, keseimbangan batin, dan penerimaan terhadap sifat kehidupan yang selalu berubah.

Singkatnya, ketidakkekalan adalah konsep yang mendorong kita untuk hidup dengan penuh perhatian, menghargai saat ini, dan melepaskan kemelekatan pada fenomena yang tidak kekal.

Transitory, 2023, Plat besi, Alumunium , Tembaga, Resin, Duco 125 x 195 cm, karya Chandra Maulana. Foto: Dok. Panitia Pameran Everything In Between.

“Transitory” menjadi sebuah kata sifat yang menggambarkan sesuatu sebagai sementara atau lewat. Ini menunjukkan bahwa kondisi, keadaan, atau situasi tertentu tidak permanen dan diperkirakan akan berubah atau berakhir di beberapa titik.

Istilah “sementara” sering digunakan untuk menunjukkan fase sementara atau transisi antara dua keadaan yang lebih stabil atau bertahan lama. Istilah “sementara” digunakan untuk menggambarkan fluktuasi jangka pendek atau perubahan dalam arti yang lebih luas.

“Sementara” juga bisa merujuk pada emosi sesaat, momen yang berlalu, atau pengalaman sementara yang tidak dimaksudkan untuk bertahan.

Kenny Hartarto

Lulusan sarjana dari Program Studi Desain Produk, Fakultas Industri Kreatif, Universitas Surabaya, ini fokus pada karya-karya dua dimensional, atau lebih spesifik pada drawing di atas kertas atau kanvas.

Altarku Altarmu, 2023, Ballpoint on Paper 1807 cm x 77 cm, karya Kenny Hartarto. Foto: Dok. Panitia Pameran Everything In Between.

Melalui drawing di karya “Altarku Altarmu”, Kenny menyuguhkan pengalaman personal. Ia menilai kehidupan suatu kelompok sosial dapat berjalan karena adanya tradisi yang berasal dari gagasan, norma dan nilai yang dianggap baik serta disepakati bersama untuk menjadi dasar dalam berperilaku.

Dikatakan tradisi karena hal ini dilakukan secara turun temurun, dari generasi ke generasi; hingga dapat menjadi sebuah identitas kelompok atau individu.

Karya ini bercerita tentang pengalaman mempertanyakan hilangnya tradisi sembahyang leluhur keluarga Ibu yang merupakan keluarga Peranakan Tionghoa di Parakan, Temanggung.

Hilangnya tradisi ini menjadi salah satu faktor yang menimbulkan pertanyaan yang mengarah pada keraguan atas identitas etnis diri. Dari hal tersebut, Kenny mempelajari dan mengenal lebih dalam atas tradisi sembahyang ini serta para leluhur dari garis Ibu yang belum dikenal sebelumnya.

Karya “Altarku Altarmu” adalah sebagian hasil dari proses riset yang dilakukan. Kenny mengadaptasi tata letak altar leluhur milik keluarga Tjan Hoa Sing (Kakek), untuk kemudian diolah lebih lanjut menjadi karya seni instalasi drawing. Drawing dengan media ballpoint dengan garis-garis yang diciptakan di atas kertas menjadi sebuah representasi dari ekspresi bakti Kenny kepada leluhurnya.

Nayera Subaih

Nayera merupakan seniman keramik Mesir kelahiran Riyadh, Arab Saudi. Ia menyelesaikan pascasarjana dalam studi seni keramik di Helwan University, untuk kemudian merampungkan sarjana di ITB, dan dilanjutkan saat ini di Magister FSRD ITB.

Assembling the Shards of Identity, 2023, Glazed Stoneware and Golden Threads. Variable Dimension, karya Nayera Subaih. Foto: Dok. Panitia Pameran Everything In Between.

“Assembling the Shards of Identity” menampilkan kerumitan jejaring benang yang mewakili kehidupannya. Perjalanan ini memang beberapa kali dihadapkan pada hal rumit, meski tak sedikit melintasi masa-masa senang.

Masa yang menyiratkan baik-buruk, susah-senang, hingga rintangan dan pencapaian rupanya saling berjumpa di beberapa peristiwa. Temuan-temuan yang saling berkaitan, berjulur, menguntai, menjadi hal yang ia syukuri dalam hidup.

Shofia Ajiba

Shofia Ajiba menempuh pendidikan seni rupa dan desain tingkat sarjana di Universitas Sebelas Maret. Dalam praktik berkeseniannya, Ajiba menggunakan media spesifik yaitu benang dan teknik sulam.

Saat ini, Ajiba mencoba menggunakan sulam sebagai teknik yang ia pinjam untuk merealisasikan topik psikologis yang ia alami, termasuk pada karya instalasi sulam yang ia beri judul “Pulang” di pameran ini.

Bagi Ajiba, perpisahan ditandai dengan terlepasnya segala hal yang tadinya menyatu dan tidak melulu mengenai dua orang yang tadinya bersatu kemudian berpisah. Kegagalan seseorang dalam menahan amarahnya juga satu di antara jutaan contoh sebuah perpisahan, yaitu perpisahan dengan akal budi.

Meski begitu, terlepas dari bentuk perpisahan apa yang muncul, perpisahan melahirkan luka yang tidak karuan. Alih-alih segera sembuh, luka perpisahan tersebut justru makin datang- pergi bahkan bersemayam hingga membangun pondasi kuat.

Kunjungan yang sering luka lakukan pada manusia melahirkan keakraban dan menjadikan luka sangat familiar dan mampu dikatakan sebagai rumah.

Pulang, 2023, Sulam Instalasi, karya Shofia Ajiba. Foto: Dok. Panitia Pameran Everything In Between.

Bagi Shofia, sulam mampu menawarkan kesempatan untuk proses perbaikan atas sebuah “luka” di atas kain melalui hasil ragam hias yang ia lahirkan. Namun demikian, menutup luka dengan ragam hias dirasa naif karena otentik dengan kepalsuan atas penyembuhan.

Luka di atas kain tidak benar-benar sembuh, melainkan hanya ditutup. Maka mengapa harus ditutup dengan hiasan apabila sama saja melahirkan tanda dan ingatan kalau dibalik ragam hias hasil sulam tadinya ada sebuah perpisahan antar serat kain?

Alih alih menutup lubang di atas kain dengan keindahan hasil sulam, Ajiba mencoba merusak sistem naif yang sewajarnya ditawarkan teknik sulam. Ia menggantinya dengan kejujuran atas rusaknya perpisahan serat dan menunjukkan bekas luka secara berani; karena tugas terbaik luka adalah untuk jadi membekas yang sepatutnya dijadikan pembelajaran, bukan ditutup. Berdasarkan pengalaman pribadi, seniman mencoba merusak tatanan naif atas percobaan menutup luka perpisahan dengan keindahan.

Veronika Dheta Kristami

Veronika Dheta Kristami sebelumnya menjalani pendidikan desain interior tingkat sarjana di Universitas Kristen Maranatha. Dheta menekuni praktik melukis tidak hanya terbatas pada teknis, tetapi juga wacana dan wawasan moral kehidupan manusia.

Saat ini, Dheta mencoba mengangkat pikiran bawah sadar dengan perumpamaan ruang kosong yang ramai, di mana struktur antropologi manusia tidak hanya memiliki jasad, tapi juga jiwa dan akal.

Apocalypse dan Apocalypse, 2023, Oil and Acrylic on Canvas 105 x 205 cm, karya Veronika Dheta. Foto: Dok. Panitia Pameran Everything In Between.

Karya seri “Apocalypse dan  Apocalypse” ini menuangkan masa di mana ada saatnya seorang manusia merasakan jatuh yang teramat dalam. Terkadang kondisi ini membuat manusia hingga tidak dapat melihat matahari, atau bahkan mempertanyakan Tuhannya sendiri; tahap ketika manusia seperti mengalami keruntuhan hebat dari apa yang telah dibangunnya selama ini.

Kondisi ini layaknya kehancuran kiamat, namun di sisi lain akan terjadi perubahan ataupun penyingkapan besar bahwa jalan yang selama ini dilalui harus disudahi dan manusia harus mencari jalan baru yang lebih baik.

Pada karya ini digambarkan manusia yang seperti mati namun tidak benar-benar mati. Situasi di mana manusia ada di titik paling dalam, dan bagaimana cara dia menghadapi masalah yang ada akan menentukan kesehatan mentalnya: apakah seorang manusia memilih menjadi penyintas, atau larut menjadi korban dan mengalami kesakitan yang terlalu dalam.

Wahyu Permadi

Wahyu Permadi merupakan lulusan sarjana dari Program Studi Seni Rupa, Fakultas Industri Kreatif, Telkom University. Dalam proses penciptaan karyanya di program ini, Wahyu fokus pada karya instalasi bebunyian yang lebih spesifik pada eksplorasi hubungan antara suara/bunyi, ruang, dan waktu.

Tetap Berisik, Sound System Installation, 2023, Speaker Monitor, Kayu, Digital Media Player, Pita Kaset, CD, Phonograph, Digital MP3, Lampu Kilat Variable Dimension, karya Wahyu Permadi. Foto: Dok. Panitia Pameran Everything In Between.

Wahyu menyusun karya “Tetap Berisik” dari bagian besar instalasi tata suara; mulai speaker monitor, digital media player, pita kaset, CD, phonograph, digital MP3, hingga lampu pemancar kilat di ruang instalasi serba gelap.

Lewat karya ini Wahyu ingin mengembalikan nasib rilisan fisik musik ke tahtanya. Dalam perkembangan penyebaran musik di Indonesia, perspektif digital mendominasi perspektif analog yang berdampak kepada pergeseran nilai keabadian rekaman bunyi.

Artefak atau wujud fisik dari rekaman bunyi semakin terabaikan. Dalam karya ini, ketidaksetujuan terhadap persepektif digital diekspresikan kepada penghadiran artefak dari rekaman bunyi digital tersebut.

Alih-alih meninggalkan digital, pada karya ini memanfaatkan kekuasaan bunyi melalui rekaman mixtape digital yang berdurasi 31 menit 49 detik yang memainkan nomor-nomor terbaik dari diskografi komunitas hiphop, Defbloc.

Rekaman ini diputar melalui digital media player dan diteruskan ke sound system di mana bunyi berperan sebagai elemen yang menarik perhatian.

Bunyi adalah sebuah kehidupan. Tanpa adanya bebunyian, merupakan pertanda munculnya sebuah kematian. Karya ini menangkap fenomena imortalitas bunyi berupa budaya melestarikan rilisan fisik yang diperlihatkan oleh kolektif musisi hip-hop “Defbloc”, serta menghadirkan diskografi rilisan fisik mereka sebagai artefak imortalitas bunyi.

Wahyu menggambarkan perubahan kondisi yang terabaikan menjadi situasi di mana ia mengglorifikasi sebuah rilisan fisik berupa pemberian penghargaan, kemewahan serta status sosial yang tinggi. Dengan mengubah suatu hal yang awalnya kontradiktif menjadi suatu hal yang saling ketergantungan, mencerminkan bagaimana persepektif yang disampaikan karya ini merespons fenomena digitalisasi dalam penyebaran musik di Indonesia.

Yeni Fatmawati

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Padjajaran, Bandung ini adalah seorang pegiat seni yang sedari kecil tertarik dengan dunia seni dan budaya, mulai dari tarian tradisional, menulis puisi hingga melukis dan mematung.

Yeni telah mengikuti berbagai pameran seni baik di dalam maupun luar negeri (Jepang). Yeni juga mendirikan Papatong Artspace sebagai wahana agar dapat berkontribusi bagi pelaku seni budaya. Di tengah pendidikan Pascasarjana Program Studi Seni Rupa, ITB, saat ini Yeni mengeksplorasi seni lukis abstrak ekspresionis yang dilatarbelakangi pengalaman personal.

Amor Fati, 2023, Acrylic, Pouring Medium on Canvas 100×100 3# panel, karya Yeni Fatmawati. Foto: Dok. Panitia Pameran Everything In Between.

Dalam karya “Amor Fati” ini, ia menggulirkan arti mencintai suatu keadaan atau realitas dan kepastian dalam bentuk perayaan terhadap abstraksi-abstraksi ruang imajiner. Di dalamnya berkecamuk ekspresi atas luapan perasaan emosi dan segala hal yang menyertai cinta itu sendiri.

Di dalam proses kehidupannya, manusia mengalami pertemuan-perpisahan juga keberadaan-kehilangan sebagai bagian dari proses kehidupan. Namun, penderitaan atas rasa kehilangan, kesedihan atas pengalaman menyakitkan dan segala bentuk kekecewaan seringkali berkecamuk dalam hati dan pikiran tatkala peristiwa itu baru saja dialami.

Sebagai seniman yang mengalami beragam peristiwa tersebut, upaya untuk merepresentasi perasaan itu adalah motif dari proses karya “Amor Fati: ini.

Perenungan atas penderitaan yang dialami diluapkan dalam ekspresi karya abstrak. Selain menjadi bentuk representasi pengalaman, upaya mencipta karya seni dirasa ideal untuk mengalihkan rasa penderitaan itu menjadi motivasi atau bentuk upaya penyikapan positif.

Destiny, 2023, Acrylic, Pouring Medium on Canvas 240×120 cm, karya Yeni Fatmawati. Foto: Dok. Panitia Pameran Everything In Between.

Di karya “Destiny,” Yeni menggambarkan kehendak yang pasti. Bentuk-bentuk yang dihasilkan dari cipratan cat atau sapuan kuas dan ledakan ekspresi dalam karya ini mewakili bentuk-bentuk alami dari “kehendak” cat itu sendiri. Seperti daun yang gugur, bahwa setiap coretan dan sapuan memiliki takdirnya sendiri. Itulah penggambaran atas kehendak yang pasti.

The Lost Entity, 2023, Acrylic, oil pastel, charcoal on canvas 300×160 cm, karya Yeni Fatmawati. Foto: Dok. Panitia Pameran Everything In Between.

Karya “The Lost Entity” merupakan penggambaran atas jeda atau ruang kontemplasi yang membaur sekaligus tercerai atas rasa kehilangan sesuatu atau seseorang.

Transient, 2023, Acrylic on Canvas, Calligraphy Ink & Variegated Flake 40×40 cm 6# panel, karya Yeni Fatmawati. Foto: Dok. Panitia Pameran Everything In Between.

Sedangkan karya “Transient” menyampaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, penggambaran atas kilatan-kilatan yang bersifat sementara dan tidak abadi bersifat sekilas, hanya sementara dan semua ditakdirkan oleh waktu.

Everything In Between

Melalui catatan Hilmy Fadiansyah, Hazim MZH, Ica Mangadil, sebagai Tim Kurator, pameran ini boleh jadi sebagai pengingat hal yang sering luput disadari sebagai manusia seutuhnya, yakni menjalankan perangai sebagai seorang ludens: makhluk yang berpikir, menciptakan dan bermain.

Kata terakhir yang ditulis akan digarisbawahi sebagai pijakan dari pameran ini, karena seniman memaknai setiap pengalaman dengan berproses serta menciptakan karya melalui berbagai kemungkinan.

Dari kemungkinan-kemungkinan tersebut terciptalah hasil buah pemikiran baru. Dalam hal seni, ini dapat dijadikan layaknya seperti wahana bermain: sebuah media untuk menunjukkan pengalaman yang berguna dalam menuangkan maupun mengkritisi sesuatu dengan caranya masing-masing.

Kata bermain dalam hal ini berarti sebuah tindakan memainkan (mencari) sebuah formula yang tepat dalam proses kreasi. Mengutip Johan Huizinga, bahwa bermain (playing) adalah latihan untuk belajar, berpikir atau bekerja. Bukan hanya sekedar aktivitas mengisi waktu luang.

Sebagai seorang seniman, sejatinya proses berkarya adalah aktivitas yang menyenangkan sehingga membuat larut tenggelam saat memproduksi karya. Terlebih untuk memulai proses kreasi dibutuhkan sebuah dorongan “bermain” untuk merangsang keingintahuan dalam menciptakan sebuah karya seni yang mutakhir.

Pada prosesnya, seniman mengerahkan seluruh inderanya dan melahirkan karya dari hasil pengamatan juga terjemahannya terhadap pengalaman-pengalaman yang mendekatkan pada “kebenaran”.

Sebagai seorang ludens, sejatinya ke sembilan seniman ini berupaya untuk mencari makna sampai pada titik ragam eksplorasi yang dapat terus dikembangkan lebih jauh.

Uraian wacana dan proses kreasi seniman yang dipaparkan merupakan perwujudan dari tema yang diusung, yakni “Everything in Between”, karena ada hal yang tak kasat mata di antara seniman dan karyanya, yaitu kemungkinan- kemungkinan dalam hal “bermain” pada proses kreasi untuk memantik pembacaan baru atas terciptanya sebuah karya.

Proses Studi

Dekan FSRD ITB, A. Rikrik Kusmara menuturkan, pameran kali ini merupakan karya-karya yang diproduksi dalam rangkaian proses studi lanjut pasca sarjana seni rupa. Target pertama karya-karya ini merupakan sebuah proses; proses yang betul-betul disadari dan diantisipasi oleh pesertanya sebagai bagian yang fokusnya, tujuan dan sasarannya ditetapkan oleh masing masing.

“Jadi bukan hasil akhir yang utama, namun bagaimana sang kreator menyadari proses ekplorasi dan elaborasinya,” ujarnya.

Target kedua adalah bagaimana para kreator dapat menstrukturkan informasi atau aspek pengetahuan dari apa yang dikerjakannya. Kemampuan menjelaskan metode artistiknya menjadi hal penting menjadi pengetahuan seni. Rikrik menambahkan, target ketiga yang tidak kalah penting adalah menggelar pameran, atau istilah di pendidikan seni sering disebut publikasi karya ini ke ruang publik.

Pameran atau publikasi karya ini sebuah proses yang wajib dilakukan oleh kreator peserta program magister seni rupa dalam konteks di luar proses artistinya, yaitu mengalami secara aktif inisiatif “mempertemukan” karya dan juga berbagai prosesnya kepada publik.

Proses ini tidak kalah penting dengan proses artistik di studio, karena proses pameran ini memerlukan leadership yang kuat dari seorang kreator menempatkan dirinya dalam sebuah dinamika kebudayaan yang dinamis.

“Publikasi karya hemat kami bukanlah pameran sebagai ritual menunjukkan hasil akhir semata kepada publik, tapi juga menyadari signifikansi seni dalam  meningkatkan’ pemahaman publik bahwa banyak cara pandang unik dalam merespons berbagai dimensi kehidupan, dan lebih jauh lagi meningkatkan kualitas kemanusiaan,” tutur Rikrik.***

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top