Dusx: Single Dissemination of Plague dan Transisi Karakter Grindcore

Unit grindcore asal Bandung, Dusx, mengenalkan single terbarunya, “Dissemination Of Plague.”

Single ini menjadi tonggak transisi karakter grinding baru Dusx dibanding karya-karya sebelumnya, seperti EP Toxicious Anthropoid (2020). Selain menebalkan ambiens dan eksplorasi aransemen dengan tambahan instrumen bas, bentukan musik Dusx bakal cenderung makin brutal seturut hadirnya vokalis baru, Diki dengan karakter bawaan death metalnya.

Tommy, Diki, dan Cepie bercerita banyak soal proses produksi, awal terbentuknya Dusx, hingga persiapan tur Asia Tenggara.

Dissemination Of Plague ini merupakan karya terbaru dengan line up band yang berbeda dari EP sebelumnya. Sejak dibentuk pada 2019 oleh Tommy, Dusx pernah diisi Usenk, Syafri, dan Jims Adrian.

Kini mereka berkekuatan Tommy eks Godless Symptoms (gitar), Diki dari Oblivium (vokal), dan Cepie yang pernah di Fermau dan That Enemy (drum). Sedangkan sektor bas diisi additional, Aul.

Pergantian posisi vokal dan penambahan instrumen bas membuat mereka bisa lebih eksploratif dalam aransemen lagu.

Sound gitar dibuat lebih kasar. Masuk Diki jadi berubah, dia beda karakter karena basic death metal, ada growl-nya,” kata Tommy.

Dissemination Of Plague memunculkan kombinasi pengaruh brutal death metal, grindcore, dan black metal. Kecepatan grinding riff, agresifitas bomb-blasting drum, dan sokongan segar dari vokal bergarau ini mengingatkan pada komposisi yang kental ditampilkan Benighted, band grindcore asal Perancis.

Foto: Dusx.

Namun, “penyambutan” Diki di Dusx tak mulus begitu saja. Masuk di akhir 2021, karakter vokal Diki sempat dikhawatirkan bakal dihantui sisa pengaruh Syafri yang telah “membentuk” khas Dusx dalam EP Toxicious Anthropoid.

Tetapi Tommy malah terpuaskan karena asupan baru vokal ini yang menjadikan Dusx tak memurnikan diri sebagai grindcore. Apalagi setelah beberapa kali latihan, dan manggung perdana di Klub Racun pada 2022, Dusx yang cenderung mengarah pada deathgrind makin direspons baik oleh komunitas.

“Diki masuk akhir 2021. Datang ke studio langsung rekam ‘Naked Apes’ (track dari EP). Bisa masuk, tetapi masih harus diolah lagi. Dicoba jalan. Beberapa kali latihan. Pure grind enggak. Ada death metalnya juga. Ada growlnya, cocok. Cuma dieksplor di bagian scream. Dengan masuknya Diki lagu ke depan basenya basic-nya Dissemination ini. Ini Dusx yang baru. Nanti yang bakal diproduksi berpatokan sama ini,” kata Tommy.

Baca Juga :   Boij Ramaikan Lagu Anak Lewat Jalur Punk
Foto: Dusx.

Soal isian bas pada nomor-nomor Dusx juga sempat menjadikan para personel “durhaka” pada sound engineer mereka yang juga personel band Forgotten, Toteng. Dusx bersikukuh untuk tidak memasukkan porsi bas di dalam EP Toxicious Anthropoid mereka.

Tetapi Toteng, yang dengan pengalamannya menangani banyak band bertahun-tahun mendesak mereka memutuskan sebaliknya supaya ambiens suara yang dihasilkan lebih kompak dan tebal. Toteng akhirnya menyanggupi keinginan barudak Dusx. Hingga suatu saat seusai produksi EP rampung, giliran Dusx yang menyerah dan akan menambah instrumen bas di dalam lagu-lagu selanjutnya.

“Sempat debat sama Toteng soal bas. Secara sound supaya lebih penuh ke body musik. Kita waktu itu menolak dengan ngeles-nya ‘ini mah grindcore’. Dan supaya cepet beres juga. Beres EP, kita yang nyerah. Kita pakai bas,” kata Tommy tertawa, menceritakan perdebatan yang sebenarnya tak serius-serius amat.

Foto: Dusx.

Kisruh Pandemi

“Dissemination Of Plague” mewakili khaotis yang dialami para personel selama pandemi. Dengan grindcore, lagu berdurasi 1 menit ini mampu merangkum kekacauan sosial selama tiga tahun pandemi.

Diki menambahkan, aransemen single Dissemination of Plague ini memang dirancang sederhana agar langsung mengena ke intinya.

“Grinding ini meluapkan keresahan, kebingungan. Saya merasa dengan durasi segitu sudah cukup meluapkan yang ada. Kalau panjang lagi takutnya enggak kena intiya. Sebenarnya lagunya panjang, liriknya panjang. Pas dipikir-pikir lagi malah monoton. Akhirnya bisa jadi enggak klimaks,” kata Diki.

Foto: Dusx.

Tommy menceritakan, “Dissemination Of Plague” bercerita tentang penyebaran wabah yang sangat masif di seluruh dunia yang terjadi kurang lebih 3 tahun lamanya: ketika semua orang terancam nyawanya karena wabah yang mematikan, tak bisa bergerak bebas, ketika adu argumen akan konspirasi pun bermunculan.

Baca Juga :   Muda Mudi dari Erratic Moody: Cara Lain Gambarkan Cinta

Aspek yang terakhir disebut ini yang menggerakkan Dusx menuliskan karyanya. Tommy mengatakan, pandemi yang menerjang ternyata tak melulu soal kesehatan fisik. Yang lebih besar dialami orang sekelilingnya yakni arus deras multipersepsi dan memengaruhi kesehatan mental.

“Dari wabah timbul banyak persepsi. Kita salah satu orang yang bersepsi. Dengar kiri ngomong apa, kanan ngomong apa, pusing. Selama wabah kita enggak bisa bergerak bebas. Mau percaya persepsi yang mana. Kita dibuat bingung sama wabah ini. Ada wabahnya, karena kita alumni. Tetapi yang menyebabkan wabah ini murni memang dari wabah ini atau ada yang mengendalikan di belakangnya?” ucap Tommy.

Wacana yang dimunculkan dari lagu ini diterjemahkan dengan baik oleh illustrator Lucky “Lukita” lewat artwork bagi single ini. Artwork yang dikabarkan tuntas dalam tempo yang tidak terlalu lama ini menonjolkan detail yang cukup istimewa; refleksi cahaya pada bola mata, lumuran reaksi kimia dengan cairan tubuh yang menyelimuti tengkorak, hingga posisi syringe yang telah habis menyuntikkan cairan.

Latar bernada seni cetak menonjolkan objek utama serupa tangan menyerahkan kepala yang dipasrahkan untuk dijejali rentetan vaksin: cukup familiar dengan kenyataan yang harus dialami manusia dalam beberapa tahun ke belakang.

Foto: Dusx.

Tur Asia

Lagu ini mereka selesaikan aransemennya setelah pulang tur dari Pulau Bali tahun lalu. Rencana Dusx selanjutnya yakni menjalani Tur Dissemination Of Plague ke beberapa negara di Asia Tenggara pada bulan Juni 2023.

“Konsep kita santai aja, enggak ngejar padat manggung. Makanya sekarang ngejarnya tur. Udah fixed Bali, Malaysia, Thailand, mulai Juni. Tur promo single dan EP. Udah beres itu kita kejar target lagi antara EP atau album,” ujar Tommy.

Untuk persiapan tur Asia Tenggara ini, mereka akan menyiapkan sejumlah merchandise. Keyakinan ini mereka respons dari sambutan baik saat tur di Bali. Mereka sempat tak menyangka sambutan baik buat band yang dinilai masih baru ini.

“Dissemination Of Plague” ini juga telah tersedia musik videonya di kanal Youtube Dusx di Youtube. Video ini mereka produksi dengan konsep live recording.

Baca Juga :   Single “Try To Find You” Tandai Kembalinya Parahyena di 2023

Rencananya Dusx juga akan merekam ulang EP mereka secara live untuk dirilis Freehead Label dalam bentuk vinyl 7”.

Grindcore

Dalam perjalanan mereka, para personel Dusx memantau berkurangnya intensitas panggung grindcore, setidaknya di seputaran Bandung Raya. Kini, dengan hype lumayan naik, komunitas grindcore sudah meramaikan kembali dengan membuat private gigs.

Dusx saat ini terbentuk dari pengaruh musik yang lumayan berbeda warna. Tommy asyik dengan grind, death, atau heavy metal sejenis Misery Index, Benighted, atau In Flames. Sedangkan Diki menyukai Napalm Death atau Rotten Sound, dan Cepie di selingkar Pantera, Slipknot, atau Lamb Of God.

“Grind sebenarnya second choice. Saya besar dulu dari melodic, pop punk, 2007-2014. Makanya ngefans Travis Barker(Blink 182/Transplants). Dulu kuliah seni musik di Unpas. Ada beberapa pengaruh skripsi bikin tentang metal. Lumayan buat materi kuliah seputaran metal, progresif metal. Akhirnya bikin karya metal dituntut skill-nya. Wasasan tentang metal juga dapat dari riset. Akhirnya enjoy juga di dunia permetalan,” kata Cepie.

Foto: Dusx.

Makanya membentuk Dusx, Tommy nyaris tak lepas dari pengaruh grindcore. Bahkan sedari awal hingga keluar dari Godless Symptoms. Awalnya pun ia cabut dari Godless Symptoms karena ingin menekuni profesi sound engineer di studio miliknya, Valhalla.

“Iseng-iseng cari alat buat di studio Valhalla. Liat ada ampli gitar kecil, enakeun. Saya bilang istri ampli ini buat jaga-jaga aja kalau ada yang mau rekaman. Ternyata tangan malah gatel ngulik-ngulik gitar itu, terus bikin-bikin musik dan akhirnya pengen bikin musik yang geber,” kata Tommy.

Pada 2019, ia mengajak Cepie untuk bergabung. Beberapa latihan membuat mereka klop.

“Selama enam bulan latihan intens. Ipeng masuk dua bulan, masuk Agustus 2020 langsung EP. Kirim submit ke label. Setelah berkomunikasi dengan beberapa label, enggak disangka Disaster Records cocok, langsung gas akhir 2020,” ujar Tommy.***

Posts created 399

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top