Citra Petaka Bumi di Pameran Fotografi Kontemporer Land/Escape

Bandung Photography Triennale mengadakan program lanjutan dengan mengadakan pameran fotografi kontemporer dengan tema “Land/Escape”, di Galeri Pusat Kebudayaan, Bandung.

Karya-karya fotografi mengagumkan ditampilkan para seniman dari beragam latar belakang, merespons tema yang menitikberatkan pada isu lingkungan dan kerusakan ekosistem bumi.

Adapun seniman yang terlibat dalam pameran ini yakni Adi Rahmatullah, Albertus Vembrianto Waluya, Asep Saepuloh, lalu Djuli Pamungkas, Eka Noviana, Erzal Umamit, Fauzan Rafli, Feri Arifianto, serta Gyaista Sampurno.

Adapula Huans Salva Caesarayudha, Michael Binuko, Ragil Joko, Rasyid Ridha, Reksi Muhammad Sidik, dan Wahyu Widyantono.

Karya pameran “Land/Escape,” di Galeri Pusat Kebudayaan, 11-21 Maret 2023. Foto: Bandung Photography Triennale.

Kurator Pameran “Land/Escape” Henrycus Napitsunargo menuturkan, kita telah memasuki era antroposen, bahwa kerusakan ekosistem bumi akibat dari intervensi manusia dan ciptaannya semakin mengkhawatirkan. Kehadiran beton dan aspal dalam volume besar sebagai pondasi kinerja mesin-mesin modern, telah mengakibatkan bumi dan penghuninya semakin sulit bernafas.

Modernisasi juga telah memicu amnesia kolektif terhadap aspek-aspek memori dan historis pada banyak ekosistem.

“Ketika kemajuan teknologi industri yang semakin tidak terbendung, masyarakat hari ini telah disodorkan sebuah dunia baru yang seakan mewujud antara dunia ide dan dunia material (dunia maya/virtual) seolah-olah menjadi fenomena baru yang lebih merdeka dan demokratis,” ujarnya.

Karya pameran “Land/Escape,” di Galeri Pusat Kebudayaan, 11-21 Maret 2023. Foto: Bandung Photography Triennale.

Ironisnya, kata dia, dunia maya justru banyak memicu praktik manipulasi yang mendegradasi nilai-nilai dunia ide maupun dunia material itu sendiri. Dunia maya telah mengurung dunia ide atau imajinasi personal dengan algoritma, dan memicu eksploitasi dunia material atau lingkungan tanpa berpikir dampaknya.

Bicara tentang media visual yang selalu berkelindan dengan perkembangan teknologi, fotografi bisa dibilang yang paling mendominasi sejak kelahirannya hingga hari ini.

Lahir di era revolusi industri, fotografi telah mendominasi cara pandang, cara melihat,

persepsi manusia dalam melihat dunia hingga saat ini. Dalam perjalanan sejarahnya pun fotografi selalu kontroversial, karena bersinggungan dengan banyak kepentingan dalam rangka provokasi dan agitasi.

Karya pameran “Land/Escape,” di Galeri Pusat Kebudayaan, 11-21 Maret 2023. Foto: Bandung Photography Triennale.

Citraan fotografi juga telah cukup lama menjadi perpanjangan tangan imperialisme dan kapitalisme, yang menjadi katalisator utama dalam membawa bumi mengalami era antroposen.

Dalam konteks habitusnya, citraan fotografi masih dianggap media evidensi yang paling sah, namun secara bersamaan citraan fotografi dapat dimanipulasi secara ekstrim sejak era digital yang dimulai pada periode tahun 90-an.

Sebuah kondisi yang paradoks sekaligus ironis. Kontroversi fotografi semakin terpolarisasi pada era digital dikarenakan masyarakat jarang diajak mengenal lebih jauh perihal habitus fotografi secara holistik.

“Namun hal tersebut justru menjadi tantangan baru bagi praktisi dan pemikir di dunia visual. Dalam hal ini kemampuan ‘melampaui paradoks’ merupakan modal dalam memproduksi maupun mengkonsumsi citraan fotografi dengan bijak,” tuturnya.

Karya pameran “Land/Escape,” di Galeri Pusat Kebudayaan, 11-21 Maret 2023. Foto: Bandung Photography Triennale.

Ia menjelaskan, seluruh karya pada pameran “Land/Escape” ini merupakan refleksi kesadaran atas relasi yang tercerai-berai antara manusia, lingkungan, dan entitas sekitarnya dengan berbagai pendekatan dalam berkarya baik narasi, maupun citraan visualnya.

Keragaman teknik, latar belakang individu, dan genre fotografi yang dihadirkan pada pameran ini juga merupakan representasi dari berbagai pendekatan praktek fotografi yang dielaborasi secara personal.

Melalui serpihan memori, pengalaman, dan makna yang dikolaborasikan dengan kepekaan rasa, setiap individu mencoba membangun relasinya kembali dengan dunia. “Karena sekecil apapun relasi dan narasi yang dijalin secara personal dalam sebuah karya, akan dipercaya sebagai dokumen fenomenologi yang murni,” ujarnya

Karya pameran “Land/Escape,” di Galeri Pusat Kebudayaan, 11-21 Maret 2023. Foto: Bandung Photography Triennale.

Alternatif Visual

Kurator Galeri Pusat Kebudayaan, Isa Perkasa mengatakan, alam yang ramah terhadap penghuninya disebabkan oleh ekosistem yang terjaga dengan baik. Namun keharmonisan ini tidak akan bertahan lama, jika ada perusakan alam.

Hal ini bisa terjadi jika eksploitasi manusia terhadap alam makin brutal seperti pembakaran hutan, alih fungsi lahan hutan, dan penambangan besar-besaran. Eksploitasi terhadap alam di bumi Indonesia mengancam manusia dan makhluk hidup lainnya.

Konflik manusia dengan satwa seringkali terjadi, seperti punahnya satwa liar yang dilindungi, ini disebabkan ekosistemnya terganggu.

Karya pameran “Land/Escape,” di Galeri Pusat Kebudayaan, 11-21 Maret 2023. Foto: Bandung Photography Triennale.

Ancaman lain adalah berupa bencana alam seperti banjir, tanah longsor, cuaca ekstrim, suhu bumi makin panas, hujan badai. Problematika ini menjadi sebuah bukti realitas bahwa kondisi alam sedang tidak baik-baik saja.

Pameran ini bukan sedang mengeksplorasi alam tapi bagaimana kita sebagai seniman sadar dan ikut menyuarakan keresahan publik untuk menawarkan solusi.

“Hal ini bisa menjadi bahan renungan kita, kerusakan tidak hanya di hutan belantara, tapi kini pembangunan kota yang sporadis dan tidak memperhatikan dampaknya berakibat kota menjadi hutan beton,” tuturnya.

Karya pameran “Land/Escape,” di Galeri Pusat Kebudayaan, 11-21 Maret 2023. Foto: Bandung Photography Triennale.

Belum lagi masalah sampah plastik yang berpotensi mengakibatkan banjir di kota-kota besar seperti di Bandung.

Pameran Bandung Photography Triennale ini yang bertema “Land/Escape” menggiring kita ke persoalan lingkungan: bercerita tentang tanah, air, udara dan api yang kita saksikan kini ialah sebagai dampak pertumbuhan globalitas kapitalis yang mengeksploitasi alam.

Para seniman fotografi merekam persoalan lingkungan tidak hanya tentang kerusakan lingkungan tetapi dengan bahasa perspektif fotografi masing-masing.

“Galeri Pusat Kebudayaan sangat beruntung menjadi bagian dari pameran “Land/Escape”

mengungkap penyadaran lingkungan yang sakit, penyadaran terhadap persoalan tanah, dan penyadaran terhadap air. Karya dari 15 seniman ini sangat beragam dengan tawaran alternatif visual yang sarat dengan makna tanah, air, udara, dan api. Kini fotografi seni sudah tidak lagi membahas perihal teknis karena teknologi kamera sudah sangat luar biasa canggih di era digital seperti yang kita saksikan di pameran ini,” ucap Isa.***

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Begin typing your search term above and press enter to search. Press ESC to cancel.

Back To Top