Kolaborasi penulis Nissa Rengganis, fotografer Tony Handoko, dan seniman pantomim Wanggi Hoed menghasilkan buku bertajuk Bully. Peluncuran buku pada Sabtu, 3 Juni 2023 silam dirangkaikan dengan pameran yang masih berlangsung hingga 17 Juni 2023 mendatang.
Dalam pengantarnya, Nissa Rengganis menulis buku foto Bully lahir dari fenomena perundungan atau bullying yang ada di masyarakat.


Menurut Nissa, fenomena ini semacam “vicious circle” yang terus saja menular dan berulang. Sebab, mereka para korban bullying berpotensi jadi pelaku bully dengan mengembangkan keinginannya membalas dendam.
“Sialnya, meski sudah banyak program perihal #stopbullying, hingga detik ini masih ada saja laporan bullying. Tentu dengan banyak kasus yang kadang di luar akal sehat kita. Dampaknya pun melebar ke mana-mana,” tuturnya.


Sebagai infomasi, dalam data rilisan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang tahun 2022 setidaknya terdapat lebih dari 226 kasus kekerasan fisik dan psikis, termasuk perundungan yang jumlahnya terus meningkat hingga saat ini.
Tidak hanya itu, data riset yang pernah dirilis oleh Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018 juga menunjukkan bahwa sebanyak 41,1 persen siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan.


“Melalui buku ini, kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin kerap muncul dalam benak kita. Apakah bullying itu? Siapakah pelaku bullying? Siapakah korban bullying? Apakah Kamu korban bully atau Tukang Bully? Perlukah para pem-bully dibela? Serta pertanyaan-pertanyaan lainnya yang terus mengganggu,” kata Nissa.

Buku Bully ini berisi pertanyaan yang ditulis oleh Nissa, ditanggapi dengan adegan pantomim oleh Wanggi, untuk kemudian dieksekusi dengan seni fotografi oleh Tony.

Editor buku Bully, Wahyu Dhian Yudhistira menyebut, pameran ini menampilkan buku foto sebagai aktor utama. Audiens bisa merasakan pengalaman (mengapresiasi bentuk karya seni) yang berbeda tetapi dalam satu konten, yakni wacana menghentikan perundungan yang kerap terjadi.

“Project ini kelihatanya simpel, tetapi sebenarnya sulit. Penerjemahan ide membuat ketiganya berpikir lebih keras. Mereka menerima tantangan ini, dan hasilnya kelihatan seperti mudah,” katanya.

Selain itu, ia menganggap perundungan sebagai salah satu isu yang menjadi fokus bersama untuk disetop. Menurutnya, perundungan merupakan yang kurang diperhatikan walau punya dampak luar biasa secara fisik dan psikis.
“Mungkin, bisa jadi, ternyata kita adalah pelaku bully. Rata-rata pelaku bully itu pernah di-bully. Kita coba tingkatkan kesadaran ke arah sana,” ujarnya.***