
MIKROFON.ID – Berupaya mengangkat beragam persoalan di Kota Bandung, 11 perupa menggelar pameran “Proyek Shifting Spaces”, di Orbital Dago, Bandung, mulai 26 Februari-14 Maret 2021.
“Proyek Shifting Spaces” mengajak 11 perupa asal Kota Bandung dengan beragam latar belakang dan praktik kekaryaan.
Mereka yakni Agung Eko Sutrisno dan Aura Arian, Condro Priyoaji, Delpi Suhariyanto, Fefia Suh, GURU, Marten Bayuaji, serta Widi Wardani dan Rainda Satrya.
Para perupa menghasilkan sejumlah 7 karya yang dipamerkan dalam rangkaian Proyek Shifting Spaces, dengan bentuk respons dan bahasan yang berbeda-beda.
Masing-masing dari perupa memilih satu permasalahan di Kota Bandung yang kemudian menjadi fokus bahasan dalam karyanya.

Melalui pengantar pameran, para perupa menerka bahwa masa depan akan menyebut fragmen kisah hari ini menjadi salah satu babak krisis terburuk sepanjang sejarah manusia modern.
Selain krisis fiskal, pandemi benar-benar membuat ruang mutlak bergeser dalam jangka waktu yang cukup lama. Pertemuan fisik atau apapun yang dilakukan di ruang publik dilarang.
Seketika, hari ini kesadaran ruang antarmanusia menjadi berjarak. Namun, dari lubang pintu isolasi mandiri, kita dapat mengintip kenyataan yang selama ini luput kita sadari.
Hari ini revolusi besar terjadi. Sementara, dalam setiap prakondisinya, perpindahan yang sangat cepat selalu menyebabkan krisis, dan kita kini berada di depan pintu masuknya.
Isolasi yang mengekang ruang gerak manusia membuat perubahan itu menjadi seketika. Pertemuan dalam segala bentuknya, termasuk pameran, dijalankan di dalam ruang maya.
Akan tetapi, keadaan ini tidak lantas dihadapi semua orang yang terdampak. Kata kunci ruang publik hari ini adalah ‘akses’; ‘ketimpangan’ adalah antonimnya.
Perebutan pengaruh kapital dalam keseharian kita saat ini dibahasakan oleh algoritma. Jejak kita dalam dunia digital dicuri diam-diam, dan dimodifikasi menjadi setumpuk daftar sponsor belanja.

Respons Seniman
Shifting Spaces hadir dengan maksud menanggapinya. Interaksi para seniman dengan “ruang”-nya masing-masing hadir dalam ruang pamer ini. Sejak dalam proses pendekatan wacana, para seniman menjalani proses lokakarya singkat serta memakai metode flaneur yang dipopulerkan oleh Walter Benjamin untuk mendekati subjek.
Dengan memosisikan diri sebagai pejalan kaki, para seniman mendekati ruang dalam proses meditatif, aktif, atau pun interaktif. Mulai dari menggugat polusi warna-cahaya, kooptasi ruang, serta artikulasi lainnya, para seniman seolah mengorkestrasikan hak atas ruang.
Hari ini, kesadaran kita dalam ruang virtual yang dibangun oleh sehimpun bilangan ini seperti menghadirkan kembali diktum Galileo Galilei bahwa “Matematika adalah bahasa yang digunakan Tuhan untuk menuliskan semesta.”
Dengan kata lain, kehadiran para seniman di ruang publik hari ini bukanlah merayakan ruang melainkan menggugat kesadaran mereka terhadapnya. Kita diajak untuk sadar bahwa sebenarnya di luar pintu isolasi mandiri, ruang gerak kita juga terbatas.

Berikut ini profil perupa Shifting Spaces:
- Agung Eko Sutrisno dan Aura Arian
Agung eko sutrisno, seniman media baru yang memanfaatkan performance art dalam praktiknya. Eko tinggal dan berkarya di Kota Bandung, mengambil program studi seni patung di ISBI Bandung.
Eko mendirikan prfrmnc.rar, sebuah kolektif yang berkonsentrasi pada laboratorium dan wacana performance art di Bandung. Ia juga Anggota Forum Seni Pertunjukan Bandung (BPAF) sebagai Scenographer, dan anggota dari Kapital Space, sebuah kolektif yang berdiri pada tahun 2020 di Ciburial, Bandung.
Aura Arian merpakan fotografer yang tinggal dan berkarya di Kota Bandung. Ia mengambil program studi Televisi dan film di ISBI Bandung. Dalam praktik penciptaan karya fotografi Aura memfokuskan diri pada isu-isu kemanusiaan, agrikultur dan eksplorasi lanskap realitas kaum urban. Bagi Aura, foto merupakan wadah untuk membagikan Da-sein dan Mitda-sein manusia.
- Condro Prioaji
Condro Priyoaji lahir di Jember pada tanggal 31 Desember 1993 dan sekarang sedang tinggal dan berkarya di Bandung. Condro sedang tertarik dengan fenomena warna yang terjadi di kehidupan sehari-hari.
Ketertarikan akan fenomena warna ini muncul dari kebiasaannya berkarya dengan media lukis dari saat ketika masih duduk di bangku perkuliahan. Berkarya menurut dia adalah sebagai wadah untuk ekspresi, eksistensi atau hanya untuk sekedar kabur sejenak dari kesibukan sehari-hari.

- Delpi Suhariyanto
Delpi Suhariyanto adalah seniman seni media yang aktif berkarya di Bandung. Sebelumnya ia kerap bereksperimen dengan performans bunyi dan cata kerja site-specific. Delpi menyelesaikan studinya di Studio Seni Intermedia FSRD ITB dan saat ini aktif menjalankan Yayasan PIAS di Bandung serta merintis ruang bernama Kapital Spaces di daerah Ciburial, Bandung.
- Fefia Suh
Fefia Suh Lahir di Jakarta, menyelesaikan studinya di salah satu perguruan tinggi Bandung mengambil jurusan seni rupa, studio keramik 2016. Kecenderungan karyanya berasal dari pengalaman-pengalaman yang ditangkap semasa bepergian ke berbagai tempat.
Tinggal di perkotaan membuat bepergian ke destinasi alam menjadi lebih membekas dan memberikan pengalaman baru bagi Fefia dan karyanya.

- GURU
GURU adalah grup musik asal Bandung yang terdiri dari para pendidik dengan beragam praktik, Mira Rizki, Bayu P. Pratama, Fahma Rosmansyah, dan Gazza Ryandika. Band ini memanifestasikan penampilan situasional dan suara yang dihasilkan sebagai praktik bermusik mereka, baik dalam bentuk suara tonal atau atonal. Mereka menyatakan diri mereka sebagai ‘band situasional’.
- Marten Bayuaji
Lahir di Jepara, Maret 1992, Marten memulai studi seni rupa di Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2010, dan pada 2018 menempuh program pascasarjana di FSRD ITB. Dalam praktiknya Marten banyak terinspirasi oleh alam, entah secara bentuk fisikalnya atau gagasannya.
Marten sering bekerja menggunakan berbagai macam media, merespons suatu lanskap alam atau sebuah framing ruang tertentu. Sering kali karya outdoornya bersifat ephemeral, suatu kondisi ketika Marten mempertanyakan kembali bagaimana posisi manusia terhadap lingkungan alamnya, apakah baik ataukah buruk.
Kini Marten sedang tertarik untuk mempelajari alam dalam antroposentrisme. Menurutnya menilik kembali kepada hal yang paling mendasar tentang bagaimana cara pandang kita manusia kepada alam adalah sangat penting.
- Widi Wardani dan Rainda Satrya
Widi dan Rainda adalah perupa muda asal Bandung, mereka memulai kebersamaannya sejak sekolah menengah atas. Gagasan dan ide kekaryaan Widi dan Rainda memiliki kesamaan dalam suatu hal, kesamaan ini tentunya melalui lika-liku panjang antar dua insan muda ini.
Widi dalam menggagas ide berkarya selalu menceritakan tentang keseimbangan dalam hidup, kemudian Rainda selalu menguatkan ide berkarya Widi, karena Rainda senang menulis dan Widi senang membuat onar.***