Album ‘Tanpa Aku’ dan Perjalanan Panji Sakti Melepas Keakuan

Di tengah kesibukan mencipta lagu bagi Sony Music Publisher Malaysia, Panji Sakti mampu mewujudkan album keduanya yang diberi tajuk ‘Tanpa Aku’.

Dirilis di masa Ramadan bukan berarti ini proyek album religi. Panji memang memadatkan kesehariannya menggemari pengetahuan tentang tasawuf.

Dari sederet hits yang ia buat untuk banyak artis penyanyi, Panji masih menyempatkan diri menuangkan pikirannya ke dalam lagu yang bermuatan nilai sufistik.

Rasa lagu di dalam album ‘Tanpa Aku’ ini merupakan oleh-oleh yang ia dapatkan di kelas Serambi Suluk, sebuah kelas kajian awal  bagi seorang pejalan (salik). Panji dikenal aktif mengikuti kelas Serambi Suluk Tarekat Qudusiyah.

Tanpa Aku

Panji Sakti memadatkan album ini dengan nomor ‘Dia Danau’, ‘Tanpa Aku’, ‘Malam Ini’, ditambah tiga lagu musikalisasi puisi ‘Kepada Noor’ (karya Moch. Syarip Hidayat), ‘Sangen’ (karya Soni F.M.), dan ‘Wahai Air Mata Yang Berlinang’ (terjemahan puisi karya Maulana Jalaluddin Rumi).

Di dalam album ini juga hadir lagu-lagu yang sudah rilis duluan sebagai single yakni ‘Fragmen Perahu’, ‘Inti Lambung’, dan ‘Ruang Menuju’.

Judul album kali ini diambil dari salah satu judul lagu: ‘Tanpa Aku’. Lagu ini diapresiasi bisa mewakili sebagian besar tema lagu-lagu Panji Sakti dalam kantung album ini. Lirik lagu ‘Tanpa Aku’ bicara tentang cita-cita tinggi para pejalan yang ingin terus belajar dan dituntun agar bisa meniadakan keakuan dalam diri.

“Melepaskan keakuan itu cita-cita tertinggi para pejalan. Jadi kalau Tuhan itu, cahaya Ilahiah itu, akan masuk ke diri hambanya kalau sudah tidak ada penghalangnya. Kadang yang menghalangi kita sendiri,” tutur mantan mahasiswa Seni Rupa UPI itu.

‘Tanpa Aku’ ia ciptakan di awal Ramadan 2020. Ketika itu, Panji dan istrinya tengah bertengkar. Lalu mereka memutuskan untuk tidur. Sebelum sahur, ia mendapati tiga bait yang ia sendiri tak mengerti artinya. Bait itu sudah menemukan nada dan melodi lagunya.

Bait itu tertulis, “demi kekeringan yang melanda kampung halamanku, beri aku benih yang tumbuh di jari manis-Mu”.

Bagi pria kelahiran Bandung, 13 Januari 1976 itu, ternyata kalimat “kampung halaman” itu banyak ia temukan di ayat Al-Quran. Bisa memang betul-betul kampung, atau menganologikan tubuh sendiri sebagai kampung halaman, atau alam-alam berikutnya setelah alam dunia ini.

“Jari manis itu simbol berakad, seperti saat kita menikah. Cincin menikah dipasangkan di jari manis. Jadi, mungkin, jari manis di bait itu bermakna ‘berakadlah dengan Allah, apapun niatannya’. Tiap melakukan hal apapun ada doanya.  Jadi memang apapun yang kita lakukan harus berakad dengan Allah,” tuturnya.

Inti Lambung

Dari hasil analisis layanan streaming musik Spotify, nomor ‘Inti Lambung’ diminati paling tinggi di antara single lainnya. Dalam lagu berdurasi 1 menit 59 detik itu Panji nyaris tak menyelipkan syair kiasan.

Dalam sebuah mimpi, ia kedatangan ‘seseorang’ yang membelah perutnya. Tetapi ia tak menolak saat lelaki itu membisiki lambungnya. Lagu ini mengingatkan manusia bahwa lambung menjadi tempat hawa nafsu berkelindan.

“Syahwat itu kan numpuknya di lambung. Semua urusan ada di perut. Orang jadi pengen kaya, pengen kenyang, urusannya cuma makan. Makanya disebut inti lambung, hawa nafsu numpuknya di situ. Bahkan ada yang menyebut ‘jika hawa nafsu diwujudkan, bentuknya lebih mengerikan dari iblis’. Wallahualam,” kata Panji.

Dialirkan dengan musik pop balada, lagu-lagu di Album ‘Tanpa Aku’ didominasi oleh alat-alat musik akustik, biola, cello, flute, hingga kontra bas. Instrumen ini disokong oleh Kontjo Lawas Ensamble, Andriana Betot (gitar), Aditto (gitar), Jiwaku Hendra J.P. (piano), Ardi (gitar), dan diaransemen oleh Tantan Nugraha dan Hendra J.P.

Khusus nomor ‘Malam Ini’ dibantu co-songwriter Utami Isharyani. Rekaman dilakukan Garputala Music Studio, mixing dan mastering di Tralala Studio, dan dirilis label Sony Music Indonesia. Semua lagu di album ‘Tanpa Aku’ sudah masuk layanan streaming musik digital.

Artwork Istimewa

Urusan sampul album, Panji ingin sesuatu yang spesial. Ia menghubungi seniman kenamaan yang dikenal fasih dengan gaya realis, R.E. Hartanto.

Dari beberapa karya, ia tertarik dengan karya Tanto berjudul ‘Limbo, Variasi No.2’. Karya ini menampilkan seekor kuda dengan latar surealis yang dilukis dengan cat minyak terbaik, dari teknik cetak ultrachrome di atas kertas Hahnemühle William Turner 190 gsm.

“Karena judul albumnya ‘Tanpa Aku’, jadi kuda yang diam itu kayak kuda yang takluk, kuda yang menyerah, kuda yang mau manut. Bulan itu cahayanya ada di belakang kuda. Tetapi bayangan kudanya berlawanan dengan sinar bulan. Seolah ‘ada’ pencahayaan yang lebih kuat. Saya mengartikannya cahaya itu datangnya dari Si Pengamat Kuda ini,” tutur Panji.

Puisi

Belakangan ini, Panji mulai asik bergelut bersama puisi. Bagi ayah 4 anak ini, puisi itu lebih musikal dari musik itu sendiri. Meski telah mencipta banyak lagu hits bagi sederet artis, tadinya ia berpikir akan mudah jika menulis puisi. Lagu sudah banyak, rilis sudah banyak, tetapi ternyata tidak sesederhana itu.

“Makomnya puisi itu kayak ada di atas seni musik. Karena di dalam puisi ada bunyi, musiknya, gambar, ada tekstur. Kalau bikin lagu harus disiplin sama suku kata yang harus tepat, rima harus berimbang dengan bunyi musiknya. Kalau puisi tuh seperti lebih bebas, tidak terikat, bisa menuliskan apa saja. Kalau di lagu aku harus manut pada ketukan, emosi. Kalau puisi enggak ikut pola itu. Meskipun ada emosinya, tetapi emosinya lebih liar dari emosi dalam musik,” tuturnya.

Meskipun dibacakan pelan, puisi itu bisa terasa liar. Dengan berbisik saja bisa terasa sangat liar. Ia baru mengenal penyair sufi Jalaludin Rumi pada 2015. Panji betul-betul membaca dan memahami puisi Rumi baru pada 2021, itupun hanya dua puisi.

Sejak mulai dipertemukan dengan karya ‘Ketika Aku Mati’ dan ‘Wahai Air Mata Yang Berlinang’, Panji memulai proyek musikalisasi terjemahan puisi itu. Kumpulan puisi yang ia buat bakal menjadi buku. Sudah ada penerbit yang siap menyokong karya terhimpun ini.

“Karena aku sedikit paham. Karya Rumi itu sinkron dengan apa yang saya pahami selama ini. Jadi, ada rasa malu di situ. Rumi merasa malu. Ia pernah merindukan surga, dan dia malu. Malu minta surga kepada Allah. Kalau ada dialog ‘Kenapa menginginkan surga, kenapa enggak menginginkan Allah aja?’,” tutur Panji.

Teknik Mencipta

Dalam pola penciptaan lagu, Panji sungguh peduli dengan pemilihan diksi. Meskipun metafora, ungkapannya harus tetap logis.

Lagu-lagu ciptaannya muncul hanya dari dialog antarteman untuk memvalidasi kritikan atas lagu yang ia tawarkan. Dari diskusi kecil itu banyak ilmu yang ia dapat.

“Saya juga beberapa kali ikut belajar membedah naskah drama. Meskipun bukan anggota teater, saya suka ikut. Naskah diterjemahkan oleh sutradara, mengkritik, membahas, membawanya ke arah pentas. Dari masukan itu saya dapat ilmu. Diskusi tentang sastra juga kadang nimbrung,” katanya.

Bersama kecermatan menggunakan ilmu bahasa ini yang membuat Panji dilirik sebagai mentor lagu karya anak-anak Recvolution, sebuah program pendampingan talenta musisi yang digelar Komunitas Musisi Mengaji (Komuji).

Panji juga aktif berkegiatan bersama Balai Bahasa, dan kerap ditunjuk sebagai juri. Salah satunya dalam program Musikalisasi Puisi tingkat SMA, SMK, dan sederajat, se-Jawa Barat

“Bahasa itu perangkat komunikasi paling purba. Sebelum kita sepakat atas suatu objek, orang sudah berbahasa. Bahasa itu ada bunyinya. Bahkan sesuatu yang tidak tampak ada bahasanya menjadi tampak. Kitab suci menggambarkan surga dan neraka yang tidak tampak. Tetapi penggambaran di kitab suci jelas,” katanya.

Karya di Negeri Tetangga

Karier sebagai penulis lagu tak beriringan dengan jalur Panji sebagai pelantun lagu. Ia mulai menyanyi juga karena ketidaksengajaan.

Saat itu, sebuah PH di Malaysia meminta Panji membuatkan soundtrack sinetron religi. Ditawarkanlah lagu ‘Jiwaku Sekuntum Bunga Kemboja’. Akan tetapi, usulan Panji agar lagu itu dinyanyikan artis pria Malaysia malah ditolak karena waktu perilisan sinetron terlalu mepet.

“Dia bilang ‘tak ada masa’. Lalu dia pilih saya. Pada 2015 saya bikin lagu itu dan sinetronnya dimulai 2016. Itu single pertama saya, tanpa direncanakan,” katanya.

Panji Sakti telah menulis lagu secara profesional sejak 2006 bersama KRU Music Publisher Sdn. Bhd.. Selepas dari KRU, Panji Sakti dikontrak oleh Sony Music Publisher Malaysia sejak 2009 hingga sekarang. Ada lebih dari 70 lagu yang ia tulis beredar di dunia musik. Hampir setiap tahun selalu ada hits yang dia tulis untuk artis label Sony Music Malaysia.

Dari sederet karyanya di negeri serumpun, tentu ada nomor yang mencapai hits. Di antaranya lagu “Lelaki Seperti Aku” yang dibawakan Alif Satar. Bahkan, lagu berjudul “Jangan Ganggu Pacarku” pernah menyabet “Best Song Singapore” pada gelaran Anugerah Planet Muzik 2013 lalu.

Pada 2017, lagu “Kasmaran” yang dipopulerkan penyanyi Brunei, Jaz Hayat menembus hits di Indonesia, langganan diputar di radio-radio atau panggung hiburan dan di acara music di pesta pernikahan. Pada akhir 2019, akhirnya Panji Sakti menciptakan single sendiri berjudul “Aku Sudah Tahu”, menyusul kesuksesan karyanya lewat single “Jiwaku Sekuntum Bunga Kemboja” saat menjadi soundtrack sebuah sinetron di Malaysia.

“Aku Sudah Tahu” menggeliat berkat penampilan musik yang akustik dan minimalis sesuai ciri khas karya di banyak lagu yang ia ciptakan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

%d blogger menyukai ini: