Grey Art Gallery kembali menggelar pameran. Kali ini ada 16 seniman terlibat dalam pameran bertajuk “To Paint,” di galeri yang berlokasi di Jalan Braga No. 47, Bandung itu.
Para seniman yang berpameran yakni Adytria Negara, Andina Calista Utami, Bagas Mahardika, Cecep M. Taufik, Eko Bambang Wisnu, Elia Yoesman, hazim M. Zakarsyi Hakim, Linna Oei, Prabu Perdana, Raina Luthfia, Salsabila Yasmin, Suvi Wahyudianto, Tamara M. Alamsyah, Teguh Indriana Pangestu, dan Wanti Amelia.
Sebagian besar karya pada pameran ini didominasi oleh gaya atau genre realis yang disebut memiliki kekuatan dalam menyampaikan sebuah kejadian tertentu yang dianggap penting oleh mata seniman.

Berbagai sudut pandang tersebut tumpah ruah. Ada sudut pandang personal, spiritualitas, gender, sampai ke isu ekologi. Kurator pameran, Vicent Rumahloine mengatakan, dalam pameran ini bisa ditemukan banyak hal yang menarik yang mewakilkan keresahan personal maupun komunal.
“Setiap seniman memiliki cara pandang yang menarik tentang apa yang terjadi di dalam dirinya ataupun di sekitarnya. Luangkan waktu untuk berjalan menelusuri satu per satu karya dalam pameran ini sambil menangkap tanda atau objek yang dilukis oleh mereka,” kata Vincent.

Memasuki area pameran, kita langsung disuguhkan karya Adytria Negara dengan judul “The Escapist”.
Meski tampak sederhana dengan menampilkan lukisan langit dan pola seperti keramik dan juga di sisi kiri terdapat objek saluran listrik (saklar), namun ia punya gagasan mendalam soal sesuatu yang aktual dan virtual.
Adytria menghadirkan kembali teknik dan konsep Trompe I’oeil yang menghadirkan objek secara realistik untuk memicu impresi kebendaan yang seolah nyata, namun benda tersebut ternyata hanya citra tiruan datar di atas kanvas.

Lalu ada Andina Calista yang tampil dengan gagasan gender-nya. Dalam karya “Liminality” dan “Vanit”’, ia menggambarkan bagaimana upaya membalikkan dan merebut kembali tubuh perempuan dan memanusiakannya.
Selanjutnya, Bagas Mahardika menyajikan karya “Mother. How Are You Today?” dengan menampilkan perspektif spiritualnya. Ia juga menangkap fenomena kala pandemi dan sesudah pandemi berlalu, saat dunia berhenti berputar dan kini kembali berputar. Ia merasa manusia seolah perlu berjalan lebih cepat untuk mengejar segala yang sebelumnya sempat tertinggal.
“Dialog antara manusia dan kekuatan yang lebih tinggi mulai pudar, setidaknya tentang bagaimana individu dapat meluangkan waktu untuk berkontemplasi atau merenungkan kembali peristiwa hidupnya melalui konsepsi agama,” kata Bagas, dalam catatan karyanya.

Masih seputar pandemi, Cecep M. Taufik hadir dengan karya “Under The Same Sky” dan “Just Another Day in Our Fine World”, yang mengisahkan bagaimana keadaan mati suri dunia selama pandemi dan bagaimana manusia menyikapi pandemi tersebut.
Sementara itu Raina Luthfia menyajikan konsep pandemi dengan pendekatan berbeda. Ia menyajikan visual cairan pembersih yang dekat dengan kita selama pandemi. Seperti sabun, atau sabun pembersih tangan, dan antiseptik dalam karyanya bertajuk “Di Ujung Asa”.

Tetapi di karya kedua, Raina menyajikan “Beradu dan Bercumbu” dengan menampilkan dua ekor kuda yang sedang bercinta dengan emoji di bagian alat vitalnya.
“Saya penasaran apa yang yang akan orang pikirkan saat melihat karya saya. Apakah muncul sugesti yang mengarah ke seksual? Apakah timbul rasa jenaka? Ataukah melihat dua ekor kuda dan emoji yang berdiri sendiri?” begitu ia menuliskan karyanya.

Ia menyebut dua aspek (kuda dan emoji) sebagai penggambaran dunia nyata yang telah dimanipulasi oleh dunia maya dengan mudahnya.
Selanjutnya, ada Tamara M. Alamsyah yang menghadirkan konsep mooi indie dalam karya yang bertajuk “mooi indie #3”.
Di sisi lain, tema keluarga dihadirkan oleh Clarissa Tifanny dan Eko Bambang Wisnu. Clarissa hadir dengan karya “Katanya Sih Sesuai Fengshui.png” dengan menghadirkan sembilan gambar ikan dengan satu ikan berwarna hitam, dibuat berbeda dengan delapan lainnya.

Sementara Eko Bambang hadir dengan karya “When Your Biscuits Fall Into The Hot Tea” dan “All Those Moment In Time Will Be Lost Like Tears In The Rain” yang keduanya menggambarkan kehangatan di ruang keluarga bersama orang-orang terkasih.
Selanjutnya ada Elia Yoesman yang menampilkan karya “Beatus Corvorum” dengan menampilkan objek raven hitam. Ia coba menyajikan perspektif spiritualitas dalam karyanya ini.
Juga ada Hazim M. Zakarsyi Hakim yang menampilkan karya “Seri Puspita: cosmos Bipinnatus” dengan pendekatan filosofis. Ia menulis bahwa setiap pelukis selalu menghadirkan realitas baru dari realita yang sudah ada sebelumnya.

Senada dengan Adytria, ia meminjam konsep Trompe I’oeil, di mana lukisan yang dibuatnya seolah “menipu” mata audiens.
Masih belum habis, ada Linna Oei yang tampil dengan karya “Papa-After Breakfast” di mana ia menyajikan karya photorealism sosok bapak yang sedang duduk memainkan gawai tablet-nya pada waktu sekitar pukul 9-10 pagi.
“Seorang Ayah yang lahir sebelum Indonesia merdeka, namun sekarang dapat menikmati layanan Wi-Fi untuk surfing internet yang dibelikan oleh anaknya di masa pensiun,’ demikian ungkapan Linna.

Potret setengah badan juga hadir dalam karya Suvi Wahyudianto dengan judul “Lelaki dan separuh malam”. Ia menuliskan tribut untuk penyair Cesar Vallejo pada karya ini. Juga ada Salsabila Yasmin yang hadir dengan karya “Your Own Gray (eigengrau)” yang juga terkesan puitis.
Terakhir, ada perspektif ekologi yang disajikan oleh Prabu Perdana, Teguh Pangestu dan Wanti Amelia lewat karyanya “Ending And Story #4” (Teguh), “Base G”, dan “Runaway” (Wanti), serta ‘Apocalypse Side Near Cikapundung’ dan “Memory of The City”.

Jika Teguh berfokus pada satu desa yakni Desa Sukarame dan isu pembangunan sumber listrik alternatif dan Wanti hadir dengan karya yang memotret fenomena di laut, maka Prabu hadir dengan imaji yang membuat kita membayangkan jika ekosistem kita kembali dikendalikan oleh alam, bukan lagi oleh ego manusia.

Sebagai penutup, Vincent Rumahloine menyatakan jika seni rupa dapat memberikan kontribusi luas kepada masyarakat, maka sudah saatnya kita membedah dan memahami karya seni walau dimulai dengan cara yang sederhana.
“Semoga melalui pameran ini kita bersama-sama dan juga para seniman yang terlibat dapat menemukan pertanyaan baru tentang kehidupan saat ini,” tutur Vincent.***